Oleh: Dahlan Iskan
Yang agak mendesak kelihatannya merdeka dari ketidakpastian. Terutama ketidakpastian akan ke mana ekonomi ini. Dan akan berapa lama?
Ini agak berbeda dengan krisis 1998. Saat itu rupiah juga anjlok tapi beberapa komoditi menikmatinyan dengan gegap gempita. Bahkan orang luar Jawa sampai ada yang bilang krisis ini (saat itu) lebih lama lebih baik. Ekonomi bergerak di sektor tertentu. Lalu banyak orang berbondong pindah ke sektor tersebut.
Tapi saat ini semua komoditi apes. Semua. Orang yang masih punya modal pun tidak bisa pindah haluan. Apalagi dengan kurs yang belum menentu, pemilik modal pun akan bersikap tunggu dulu. Sementara menunggu itulah mereka beralih ke dolar.
Reshuffle kabinet pekan lalu memang satu langkah yang lebih baik. Nilai kabinet bisa naik dari 6 menjadi 7,5. Satu kenaikan nilai yang cukup tinggi. Tapi untuk persoalan sebesar ini masih perlu kabinet Mungkin saja nilai 7,5 itu akan bisa naik menjadi 8 atau 8,5 manakala kinerja mereka ternyata lebih bagus dari yang kita bayangkan. Agar fair baiknya kita beri kesempatan yang cukup bagi mereka untuk bekerja sebaik-baiknya. Jangan diganggu-ganggu.
Sebaliknya nilai 7,5 tersebut ternyata ketinggian kalau kinerja yang diberikan tidak memadai.
Sementara kita menanti kepastian itu orang akan membaca pertanda-pertanda. Orang akan melihat sinyal-sinyal.
Pertanda pertama adalah kompak atau tidak. Solid atau rentan. Ini akan terlihat dari efektif-tidaknya fungsi para Menko yang baru.
Kedua, pro pasar atau emosional nasionalisme sempit. Atau kombinasi yang serasi-terencana-harmoni antara pro pasar dan nasionalisme longgar. Inilah yang disebut arah ekonomi.
Pelaku ekonomi ingin melihat arah itu. Boleh saja ke utara. Atau ke selatan. Silakan. Suka-suka. Tapi arahnya harus bisa dibaca. Agar yang akan bergerak ini tahu mau diajak bergerak ke mana.
Arah itu tidak boleh zig-zag. Tidak boleh berbelok-belok. Agar yang mau ikut bergerak ini tidak terguncang-guncang. Artinya harus ada stabilitas. Harus ada ketenangan. Harus ada ketenteraman. Barulah mereka mau berinvestasi.
Misalnya, seorang pengusaha ternak tiba-tiba didatangi pejabat. Sang pejabat memaksa agar si peternak menjual harga sapinya lebih murah. Agar media bisa memberitakannya bahwa sang pejabat terlihat sudah memikirkan rakyat. Yang seperti ini adalah pertanda-pertanda anti pasar. Di mata seorang ekonom ini pertanda yang membahayakan. Investor sangat takut dengan pertanda seperti itu.
Minggu lalu, dalam satu minggu saja kita membaca lebih dari lima pertanda yang anti pasar seperti itu. Apakah kita akan diarahkan ke pola anti pasar? Kita belum tahu. Karena di lain pihak tetap ada keinginan menarik investasi asing sebesar-besarnya. Yang berarti pertanda pro pasar.
Demikian pula di bidang perpajakan. Awalnya pembangunan akan digerakkan dengan cara menggenjot pendapatan pajak. Itu betul sekali. Tapi rencana yang bagus itu dibuat di saat gairah ekonomi masih tinggi. Bagaimana dengan kenyataan bahwa ekonomi ternyata begini lesu?
Tanpa koordinasi yang baik bisa jadi sektor pajak tetap digenjot seperti yang sudah telanjur digariskan. Tapi pihak pajak menemukan sapi yang susunya mau diperah itu ternyata lagi sakit. Tanpa ada perintah pembatalan mereka akan tetap memerah susu dari sapi yang sakit itu. Sakit sekali.
Sinyal di bidang perpajakan ini juga dibaca negatif oleh pelaku ekonomi.
Sebaiknya kita bersabar selama sebulan ke depan khusus untuk membaca pertanda-pertanda itu. Terutama pertanda-pertanda dari dua Menko bidang ekonomi. Apakah mereka itu anti pasar seperti yang dikesankan selama ini. Atau mereka justru penyelamat keadaan yang sulit ini. Kesabaran membaca pertanda-pertanda itu perlu.
Sabar adalah harta kita yang paling berharga yang kita miliki saat ini. Kalau sudah bisa sabar 10 bulan kenapa tidak bisa sabar sebulan lagi. Atau dua bulan.
Orang yang berhasil membelanjakan kesabarannya adalah orang yang merdeka! (*)