Manufacturing Hope
[table delimiter=”:”]
Telah lahir: BUMN Multinational Corporation.
Tanggal lahir: 12 November 2012.
Nama bayi: PT Semen Gresik (Persero) Tbk.
[/table]
Maka, PT Semen Gresik yang sebentar lagi bernama PT Semen Indonesia itu resmi menjadi perusahaan BUMN pertama yang berstatus multinasional. Hari itu Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto menandatangani perjanjian pembelian sebuah pabrik semen di Vietnam.
Nama pabrik semen itu, Thang Long (berarti: Naga Terbang), sangat terkenal di Vietnam. Thang Long termasuk salah satu pabrik semen terbesar dan termodern di sana. Kapasitasnya 2,3 juta ton, lebih besar daripada pabrik semen Baturaja di Sumsel. Mesin-mesinnya buatan Eropa dan masih tergolong baru: mulai beroperasi tahun 2008.
Dengan pembelian itu, PT Semen Gresik yang baru saja menggeser posisi Siam Cement (Thailand) sebagai pabrik semen terbesar di Asia Tenggara kian kukuh di depan. Dua bulan lalu, dengan mulai beroperasinya Unit 4 Tuban dan Unit 5 Tonasa, PT Semen Gresik memang sudah menggeser posisi Siam Cement sebagai yang terbesar di ASEAN. Kini dengan membeli pabrik semen di Vietnam itu, posisi nomor satu Semen Gresik kian tidak terkejar. Apalagi grup ini masih berencana membangun pabrik baru di Rembang dan menambah pabrik baru di Padang.
Duta Besar Vietnam untuk Indonesia yang hadir dalam acara di Kementerian BUMN itu menyebut perkawinan PT Semen Gresik dan Thang Long itu sebagai langkah memperkukuh ASEAN. Juga sebagai wujud komitmen dua kepala negara untuk mening katkan hubungan ekonomi dua negara.
Saya menambahkan sedikit humor: perkawinan itu mengulangi peristiwa hampir seribu tahun lalu. Yakni ketika raja Majapahit mengawini putri Champa. Lokasi pabrik semen Thang Long itu memang dekat ibu kota Hanoi, tapi salah satu unitnya berada di dekat kota kecil Champa.
Vu Van Thian, CEO grup perusahaan yang membawahkan pabrik semen itu, merasa cocok kawin dengan Semen Gresik. Meski lidah Vietnamnya begitu sulit mengucapkan kata “Semen Gresik” atau kata “Dwi Soetjipto”, rangkulannya yang erat saat perjanjian itu ditandatangani menunjukkan kesungguhannya dalam berpartner.
Saya sangat iba melihat begitu susahnya Vu Van Thian mengucapkan kata-kata yang khas Indonesia dalam sambutannya. Karena itu, saya minta padanya agar dicarikan nama Vietnam untuk Dwi Soetjipto. Ini biasa dilakukan oleh orang-orang di Tiongkok untuk memudahkan memanggil nama-nama partner mereka. Nama Dahlan Iskan, misalnya, tidak dikenal di antara teman-teman saya di Tiongkok. Mereka memberi nama saya: Yu Shi Gan.
Saya juga berpesan kepada Vu Vi Tho (nama Vietnam untuk Dwi Soetjipto) agar membuka restoran Indonesia kecil-kecilan di dekat pabrik itu. Setidaknya agar bisa membuat orang-orang Vietnam mulai terbiasa “menikmati rendang, kepala ikan, nasi goreng, atau sejumlah makanan Indonesia lain yang punya potensi menginternasional. Ini juga bermaksud menyeimbangkan agar jangan hanya kita yang mendadak menyukai pho (baca: fe), mi Vietnam yang tiba-tiba menyebar ke setiap mal besar kita itu.
Dengan kemampuan PT Semen Gresik, terutama di bidang engineering-nya, pabrik di Vietnam itu bisa terus diperbesar dan diperbesar. Bahkan bisa jadi merembet ke negara-negara tetangga Vietnam.
Di samping PT Semen Gresik, tahun depan PT Timah (Persero) Tbk di bawah Dirut Sukrisno juga mengikuti jejak Vu Vi Tho. PT Timah baru saja selesai melakukan langkah cerdasnya: mengusahakan penguasaan tambang timah (bauksit) di Myanmar. Maka, mulai tahun depan, PT Timah sudah beroperasi di Myanmar.
Ini juga menunjukkan bahwa tidak hanya perusahaan asing yang bisa menambang di Indonesia, tapi perusahaan Indonesia juga bisa menambang di luar negeri.
PT Timah yang mengalami kesulitan menghadapi penjarahan tambangnya di Bangka Belitung memang harus berpikir keras dan tidak mudah menyerah. Penegak hukum betul-betul tidak bisa diandalkan untuk pengamanan aset PT Timah di Babel.
Bagaimana bisa, produksi timah gelap dari lahan PT Timah lebih besar dari produksi PT Timah sendiri. Ini mirip dengan tidak berfungsinya penegak hukum di Sumsel yang membiarkan terjadinya pencurian minyak mentah Pertamina secara masif, terbuka, terang-terangan, di mana-mana, dengan menggunakan teknologi kelas berat.
Di tengah persoalan dalam negeri yang berat itu, PT Timah tetap harus mengambil peran sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional.
Demikian juga PT Antam (Persero) Tbk. Harus mempercepat langkahnya untuk membangun pabrik alumina di Kalbar. Tahun depan PT Inalum di Sumut sudah kembali ke tangan pemerintah Indonesia. Siapa yang akan menjadi pemasok bahan baku untuk Inalum” Selama 40 tahun di tangan Jepang, tentu Jepanglah yang memikirkan pasokan untuk Inalum. Tapi, begitu kembali ke pemerintah Indonesia, harus ada yang menggantikannya. Kebetulan, Antam sudah berencana membangun pusat peleburan alumina di Kalbar.
Di samping Semen Gresik dan PT Timah, beberapa BUMN besar juga didorong untuk terus mengembangkan sayap. Kalau dulu kita dikenal sebagai suka menjual BUMN, kini berubah total: giliran BUMN yang beli, beli, beli.
Dulu, setelah krisis, negara kita memang miskin dan lemah. Menggaji pegawai negeri saja hampir-hampir tidak mampu. Pemerintah di waktu itu memilih menjual beberapa BUMN. Itulah yang menimbulkan kesan jual, jual, jual. Tapi, kejadian di masa lalu itu tidak perlu terus-menerus disesali. Kita tidak boleh terlalu larut dalam penyesalan. “Apa yang telah terjadi di masa lalu harus jadi pendorong semangat untuk memperbaiki masa depan.
Yang penting, kita tidak lagi mengulangi cara jual, jual, jual itu.
Tahun depan PT Telkom (Persero ) Tbk juga mulai “membeli”. PT Telkom melakukan ekspansi ke luar negeri: Timor Leste. Selama ini telekomunikasi Timor Leste dikuasai perusahaan Portugal. Tahun depan PT Telkom mulai beroperasi di Timor Leste. Tekad direksi Telkom tidak kecil: menguasai pasar telekomunikasi negara tetangga itu.
PT Telkom, sebagaimana dikemukakan Dirutnya, Arief Yahya, punya kemampuan untuk itu. Kemampuan manajerial, peralatan, maupun pendanaan.
Telkom yang kemampuan keuangannya melonjak tahun ini juga sedang menyiapkan langkah ke beberapa negara tetangga, namun belum perlu disebut di sini.
Dua bank besar kita (Bank Mandiri dan BRI) sebenarnya juga sangat mampu beli, beli, beli. Namun, di dunia perbankan aturannya amat ketat. Cabang Bank Mandiri di Singapura, misalnya, tetap masih dilarang menjadi bank umum yang bergerak ke ritel. Padahal, bank-bank milik Singapura di Indonesia begitu bebasnya.
Begitu juga di Malaysia. Begitu banyak larangan untuk bank kita di sana. Padahal, bank-bank Malaysia di Indonesia menikmati longgarnya aturan kita.
Saya yakin, kalau mendapat perlakuan yang sama di Singapura dan Malaysia, Bank Mandiri, BRI, dan juga BNI bisa segera jadi jagoan kita di Asia Tenggara.
Tahun depan memang akan menjadi tahun politik. Dunia politik akan bergejolak. Tapi, BUMN tidak boleh terpengaruh, apalagi terseret dan larut ke dalamnya.
Di tahun depan yang bakal kian panas itu, BUMN harus tetap berada di jalur moto ini: kerja, kerja, kerja! (*)