26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Semangat Tebu Preman dan Bibir Terkatup

Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN

WAKTU saya duduk-duduk santai di bawah pohon besar bersama seluruh karyawan inti di halaman Pabrik Gula (PG) Kwala Madu, Langkat, Sumatera Utara, Jumat sore lalu, tiba-tiba angin sangat kencang menerjang kawasan itu. Debu, pasir, dan dedaunan kering ikut menimpa kami. Sebagian debu masuk hidung, mata, dan mulut yang lagi terbuka.

Omong-omong serius menjelang malam ke-21 bulan puasa sore itu terhenti seketika.

Masing-masing sibuk mengucek mata, membersihkan rambut, dan meludah dari mulut yang kering. “Ini memang lagi musim angin. Angin bahorok,” ujar GM PG Kwala Madu sambil gaber-gaber. Setelah angin reda, omong-omong diteruskan. Sambil waswas akan datangnya bahorok berikutnya.

Angin kencang seperti itu langsung menjadi topik “tadarus Ramadan” yang hangat di bawah pohon sore itu. Juga tentang panjangnya musim hujan di situ. Sebuah tantangan berat yang harus diatasi. Sulit sekali menanam tebu di iklim seperti itu. PG Kwala Madu selalu sulit mengejar prestasi pabrik-pabrik gula di Jawa.
“Tanahnya memang tidak cocok untuk tebu,” ujar Dirut PTPN II Bhatara Moeda Nasution yang mendampingi saya. Karena itu, Belanda dulu hanya mau bikin pabrik gula di Jawa.

“Tanaman tebu memerlukan iklim yang teratur. Perlu batas yang tegas antara musim hujan dan musim kemarau dan harus ada waktu yang nyaris tanpa hujan sama sekali selama empat bulan terus-menerus,” ujar Dr Aris Toharisman saat saya telepon dari bawah pohon di Langkat itu. Dr Aris adalah direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur.

Tapi, pabrik gula ini sudah telanjur ada. Kapasitasnya terlalu besar untuk ditutup: 4.000 tcd (ton tebu per hari). Waktu itu pemerintah Orde Baru memang berambisi untuk swasembada gula. Banyak pabrik baru didirikan. Di Sulsel 3 pabrik, di Sumut 2, dan di Kalsel 1. Yang di Sulsel didirikan di Takalar, Bone, dan Camming. Ketika tiga pabrik ini mengalami kesulitan yang panjang, orang menyebutnya terkena TBC, sesuai dengan huruf pertama nama tiga lokasi itu.
Alhamdulillah, sejak tahun lalu yang dua pabrik (TB) sudah membaik, tinggal yang C yang masih batuk-batuk. Ini karena lahan tebunya tidak cukup lagi lantaran diduduki masyarakat di awal reformasi dulu.

Tentang satu pabrik yang di Kalsel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sudah wafat. Pabriknya sudah jadi besi tua dan di atas kuburannya kini ditanam sawit. Sudah tidak bisa dihidupkan. Mayatnya pun di dalam kuburnya sudah tinggal tulang-belulang.

Sedangkan dua yang di Sumut, ya itu tadi. Jadi sumber kerugian besar yang berkepanjangan. Tapi, saya bertekad untuk tidak menutupnya. Terutama yang di Kwala Madu. Tahun lalu perbaikan manajemen sudah mulai menunjukkan hasil. Untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir bisa mencapai rendemen 7. Tapi, untuk lebih dari itu, harus dicari jenis tebu yang cocok.

Saya masih yakin ilmu pengetahuan yang kini sudah begitu majunya akan bisa mengatasinya. Tantangannya memang sangat besar dan banyak, tapi justru di situlah asyiknya. Ilmu pengetahuan, disiplin tinggi, dan kerja keras harus jadi solusi.

Tahun lalu saya sudah meningkatkan anggaran penelitian tebu menjadi Rp5 miliar dari sebelumnya, selama bertahun-tahun, hanya Rp1 miliar. Tahun ini saya minta ditingkatkan lagi menjadi Rp10 miliar. Ahlinya cukup memadai. Ada lima doktor di situ. Di bawah Dr Aris yang selalu lulus cum laude di tiga jenjang pendidikan tingginya. S1-nya IPB jurusan tanah; S2-nya di NSW, Australia, bidang bioteknologi; dan S3-nya di Ulm, Jerman, di bidang teknologi pangan.

Putra kelahiran Kuningan tahun 1966 ini memang baru saya terjunkan memimpin tim riset ini 2012 lalu. Intinya: harus ditemukan bibit tebu jenis “preman Medan”. Jangan sekali-kali menanam tebu biasa. Jenis tebunya harus yang sekaligus tahan atas semua persoalan yang panjang ini: tahan angin (batang harus kaku), tahan hujan, tahan hama penggerek batang raksasa, tahan hama penggerek batang garis-garis, tahan penyakit daun hangus, penyakit busuk batang, penyakit pembuluh luka api, dan banyak lagi.

Tidak ada penyakit tebu yang lebih banyak daripada di Medan ini. Mengatasinya pun amat sulit. Ibarat komplikasi penyakit, obatnya harus saling bertentangan. Ini ibarat sakit gula komplikasi dengan liver. Yang satu jangan minum gula, yang satu lagi perlu banyak gula. 

Tapi, sekali lagi saya masih yakin ilmu pengetahuan bisa mencarikan jalan keluar. Dr Aris sudah punya kesimpulan. “Tebunya harus dari jenis tebu liar,” katanya. Yakni perkawinan antara tebu yang baik dan rumput liar sejenis gelagah. Varietas itu sudah dilahirkan di laboratorium P3GI dengan kombinasi lebih dari 20 jenis. Semuanya lagi diuji coba di Kwala Madu.

Mana di antara 20 kombinasi itu yang cocok ditanam di Medan baru akan diketahui dua bulan lagi. Kini tanaman uji coba itu baru berumur empat bulan. Kesimpulan baru bisa dibuat setelah tanaman berumur enam bulan. Semoga berkah Lailatul Qadar bisa sampai ke tanaman tebu.

Jumat-Sabtu-Minggu kemarin saya memang ke Medan, Pangkalan Susu, Langkat, Jember, Lumajang, dan Surabaya. PLTU Pangkalan Susu yang sangat besar itu, baik ukurannya (2 x 200 mw), lebih-lebih persoalannya, alhamdulillah sudah memasuki tahap uji coba. Saat saya berkunjung ke situ, turbin unit 2 sedang diuji. Beberapa jam kemudian saya mendapat laporan, turbinnya sudah berhasil diputar maksimal: 3.000 rpm. Ada harapan besar krisis listrik di Medan berakhir di 100 hari terakhir kabinet Presiden SBY.

Hari itu, setelah Jumatan di Masjid Tuan Guru Basilam, ke PG Kwala Madu, dan ke Pesantren Syekh Marbun Medan, saya langsung ke Surabaya, Jember, dan Lumajang. Di Surabaya tahun ini PT SIER (Persero) kembali menjadi tuan rumah khataman Alquran oleh 1.500 hufaz (orang-orang yang hafal Alquran 30 juz).
Di Jember saya ke PG Semboro. Pabrik gula ini tidak hanya berhasil bangkit, tapi juga bisa menghasilkan kristal terbaik. Lalu syukuran di Pesantren Bustanil Ilmu Al Gozali yang berambisi menjadi “Pondok Gontor di Timur”.

Setelah Duhuran di rumah Rais Syuriah NU Jember KH Muhyiddin Abdusshomad, saya ke Lumajang untuk meninjau PG Jatiroto. Di sinilah saya harus menjawab pertanyaan sulit para petani tebu: mengapa di saat petani lagi sangat bergairah, kok gula rafinasi impor membanjiri pasar secara massif?
Saya tertegun menghadapi pertanyaan itu. Lama saya terdiam. Tidak ada kekuatan di bibir saya untuk membuka mulut. (*)

Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN

WAKTU saya duduk-duduk santai di bawah pohon besar bersama seluruh karyawan inti di halaman Pabrik Gula (PG) Kwala Madu, Langkat, Sumatera Utara, Jumat sore lalu, tiba-tiba angin sangat kencang menerjang kawasan itu. Debu, pasir, dan dedaunan kering ikut menimpa kami. Sebagian debu masuk hidung, mata, dan mulut yang lagi terbuka.

Omong-omong serius menjelang malam ke-21 bulan puasa sore itu terhenti seketika.

Masing-masing sibuk mengucek mata, membersihkan rambut, dan meludah dari mulut yang kering. “Ini memang lagi musim angin. Angin bahorok,” ujar GM PG Kwala Madu sambil gaber-gaber. Setelah angin reda, omong-omong diteruskan. Sambil waswas akan datangnya bahorok berikutnya.

Angin kencang seperti itu langsung menjadi topik “tadarus Ramadan” yang hangat di bawah pohon sore itu. Juga tentang panjangnya musim hujan di situ. Sebuah tantangan berat yang harus diatasi. Sulit sekali menanam tebu di iklim seperti itu. PG Kwala Madu selalu sulit mengejar prestasi pabrik-pabrik gula di Jawa.
“Tanahnya memang tidak cocok untuk tebu,” ujar Dirut PTPN II Bhatara Moeda Nasution yang mendampingi saya. Karena itu, Belanda dulu hanya mau bikin pabrik gula di Jawa.

“Tanaman tebu memerlukan iklim yang teratur. Perlu batas yang tegas antara musim hujan dan musim kemarau dan harus ada waktu yang nyaris tanpa hujan sama sekali selama empat bulan terus-menerus,” ujar Dr Aris Toharisman saat saya telepon dari bawah pohon di Langkat itu. Dr Aris adalah direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur.

Tapi, pabrik gula ini sudah telanjur ada. Kapasitasnya terlalu besar untuk ditutup: 4.000 tcd (ton tebu per hari). Waktu itu pemerintah Orde Baru memang berambisi untuk swasembada gula. Banyak pabrik baru didirikan. Di Sulsel 3 pabrik, di Sumut 2, dan di Kalsel 1. Yang di Sulsel didirikan di Takalar, Bone, dan Camming. Ketika tiga pabrik ini mengalami kesulitan yang panjang, orang menyebutnya terkena TBC, sesuai dengan huruf pertama nama tiga lokasi itu.
Alhamdulillah, sejak tahun lalu yang dua pabrik (TB) sudah membaik, tinggal yang C yang masih batuk-batuk. Ini karena lahan tebunya tidak cukup lagi lantaran diduduki masyarakat di awal reformasi dulu.

Tentang satu pabrik yang di Kalsel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sudah wafat. Pabriknya sudah jadi besi tua dan di atas kuburannya kini ditanam sawit. Sudah tidak bisa dihidupkan. Mayatnya pun di dalam kuburnya sudah tinggal tulang-belulang.

Sedangkan dua yang di Sumut, ya itu tadi. Jadi sumber kerugian besar yang berkepanjangan. Tapi, saya bertekad untuk tidak menutupnya. Terutama yang di Kwala Madu. Tahun lalu perbaikan manajemen sudah mulai menunjukkan hasil. Untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir bisa mencapai rendemen 7. Tapi, untuk lebih dari itu, harus dicari jenis tebu yang cocok.

Saya masih yakin ilmu pengetahuan yang kini sudah begitu majunya akan bisa mengatasinya. Tantangannya memang sangat besar dan banyak, tapi justru di situlah asyiknya. Ilmu pengetahuan, disiplin tinggi, dan kerja keras harus jadi solusi.

Tahun lalu saya sudah meningkatkan anggaran penelitian tebu menjadi Rp5 miliar dari sebelumnya, selama bertahun-tahun, hanya Rp1 miliar. Tahun ini saya minta ditingkatkan lagi menjadi Rp10 miliar. Ahlinya cukup memadai. Ada lima doktor di situ. Di bawah Dr Aris yang selalu lulus cum laude di tiga jenjang pendidikan tingginya. S1-nya IPB jurusan tanah; S2-nya di NSW, Australia, bidang bioteknologi; dan S3-nya di Ulm, Jerman, di bidang teknologi pangan.

Putra kelahiran Kuningan tahun 1966 ini memang baru saya terjunkan memimpin tim riset ini 2012 lalu. Intinya: harus ditemukan bibit tebu jenis “preman Medan”. Jangan sekali-kali menanam tebu biasa. Jenis tebunya harus yang sekaligus tahan atas semua persoalan yang panjang ini: tahan angin (batang harus kaku), tahan hujan, tahan hama penggerek batang raksasa, tahan hama penggerek batang garis-garis, tahan penyakit daun hangus, penyakit busuk batang, penyakit pembuluh luka api, dan banyak lagi.

Tidak ada penyakit tebu yang lebih banyak daripada di Medan ini. Mengatasinya pun amat sulit. Ibarat komplikasi penyakit, obatnya harus saling bertentangan. Ini ibarat sakit gula komplikasi dengan liver. Yang satu jangan minum gula, yang satu lagi perlu banyak gula. 

Tapi, sekali lagi saya masih yakin ilmu pengetahuan bisa mencarikan jalan keluar. Dr Aris sudah punya kesimpulan. “Tebunya harus dari jenis tebu liar,” katanya. Yakni perkawinan antara tebu yang baik dan rumput liar sejenis gelagah. Varietas itu sudah dilahirkan di laboratorium P3GI dengan kombinasi lebih dari 20 jenis. Semuanya lagi diuji coba di Kwala Madu.

Mana di antara 20 kombinasi itu yang cocok ditanam di Medan baru akan diketahui dua bulan lagi. Kini tanaman uji coba itu baru berumur empat bulan. Kesimpulan baru bisa dibuat setelah tanaman berumur enam bulan. Semoga berkah Lailatul Qadar bisa sampai ke tanaman tebu.

Jumat-Sabtu-Minggu kemarin saya memang ke Medan, Pangkalan Susu, Langkat, Jember, Lumajang, dan Surabaya. PLTU Pangkalan Susu yang sangat besar itu, baik ukurannya (2 x 200 mw), lebih-lebih persoalannya, alhamdulillah sudah memasuki tahap uji coba. Saat saya berkunjung ke situ, turbin unit 2 sedang diuji. Beberapa jam kemudian saya mendapat laporan, turbinnya sudah berhasil diputar maksimal: 3.000 rpm. Ada harapan besar krisis listrik di Medan berakhir di 100 hari terakhir kabinet Presiden SBY.

Hari itu, setelah Jumatan di Masjid Tuan Guru Basilam, ke PG Kwala Madu, dan ke Pesantren Syekh Marbun Medan, saya langsung ke Surabaya, Jember, dan Lumajang. Di Surabaya tahun ini PT SIER (Persero) kembali menjadi tuan rumah khataman Alquran oleh 1.500 hufaz (orang-orang yang hafal Alquran 30 juz).
Di Jember saya ke PG Semboro. Pabrik gula ini tidak hanya berhasil bangkit, tapi juga bisa menghasilkan kristal terbaik. Lalu syukuran di Pesantren Bustanil Ilmu Al Gozali yang berambisi menjadi “Pondok Gontor di Timur”.

Setelah Duhuran di rumah Rais Syuriah NU Jember KH Muhyiddin Abdusshomad, saya ke Lumajang untuk meninjau PG Jatiroto. Di sinilah saya harus menjawab pertanyaan sulit para petani tebu: mengapa di saat petani lagi sangat bergairah, kok gula rafinasi impor membanjiri pasar secara massif?
Saya tertegun menghadapi pertanyaan itu. Lama saya terdiam. Tidak ada kekuatan di bibir saya untuk membuka mulut. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/