SAYA hanya bisa mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika banyak pengusaha mengeluhkan lesunya ekonomi saat ini. ”Sangat lesu,” kata mereka.
”Jauh dari yang dulu kami bayangkan,” tambah mereka. Ada yang omzetnya turun sampai 40 persen. Banyak yang sudah melakukan PHK.
Tidak menyangka, begitu saya kembali dari sekolah di Amerika Serikat selama tiga bulan, saya harus menghadapi banyak pertanyaan dari para pengusaha seperti itu.
Tiba-tiba saya merasa bersalah ketika saya tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Misalnya: Sampai kapan kelesuan ekonomi ini akan berlangsung? Saya juga belum siap untuk menjawab pertanyaan ini: Masih akan lebih lesu atau akan tetap lesu atau kelesuan ini akan segera berakhir?
Jawaban saya satu-satunya adalah: Coba saya pikirnya dulu. Sudah tiga bulan saya tidak mengikuti perkembangan apa pun. Selama di Amerika, saya benar-benar puasa berita. Tidak mengikuti perkembangan di dalam negeri. Jawa Pos pun (online) tidak saya buka. Saya terus belajar dan belajar. Dan membaca buku. Sampai 16 buku saya lahap dalam tiga bulan. Sayang, tidak satu pun tentang ekonomi.
Membaca kelesuan ekonomi itu harus kita sikapi sebagai membaca huruf. Kelesuan itu kita ibaratkan garis yang menurun. Seperti memulai menulis huruf ”I”. Kalau masih terus menurun, berarti ”I”-nya masih akan panjang. Kalau kelesuan itu sudah sampai tahap paling lesu, garis itu berhenti.
Tidak bisa lebih lesu lagi. Lebih dari itu berarti mati.
Panjang-pendeknya ”I” bergantung lama atau sebentarnya masa kelesuan itu. Setelah kelesuan mencapai dasarnya, kemungkinan garis itu hanya satu: berbelok ke samping. Dari huruf ”I” menjadi huruf ”L”. Tetap lesu, tapi tidak akan lebih lesu lagi. Apakah ”L”-nya akan pendek atau akan menjadi ”L” panjang, tentu bergantung yang memegang pena.