”Dengan pencapaian Anda sekarang ini, Anda adalah salah satu idola anak muda Indonesia,” ucap saya.
Bayangkan, dulu dia adalah anak desa dari pedalaman Tuban, Jatim, yang sangat miskin. Kini dia berhasil mencapai jabatan president director untuk sebuah perusahaan Jepang yang sangat besar.
Bahkan, ketika akan ditugaskan memimpin perusahaan Jepang di Indonesia pun, Suyoto berani mengajukan syarat begini: asal statusnya di Indonesia adalah ekspatriat Jepang yang ditempatkan di Indonesia. Bukan orang Indonesia yang menjadi direktur di perusahaan Jepang di Indonesia.
Syarat itu pun diterima pihak Jepang. Itu karena prestasi Dr Suyoto memang istimewa. Maka jadilah Dr Suyoto orang pertama dalam sejarah perusahaan Jepang: orang Indonesia yang ditugaskan ke Indonesia dalam statusnya sebagai orang asing.
Dalam status seperti itu, Suyoto bisa mendapat semua fasilitas yang diperoleh seorang presiden direktur asal Jepang. Termasuk bisa mendapatkan hak libur ”pulang” ke Tokyo bersama istrinya yang asli Jombang dan anak-anaknya.
Waktu tamat SMP, Suyoto hampir saja tidak bisa meneruskan ke SMA. Tidak ada SMA di dekat desanya. Juga tidak ada biaya untuk mengirimkannya ke Jatirogo, sebuah kota kecamatan yang ada SMA-nya. Untung kakek yang mengasuhnya (ayah Suyoto, Rais, meninggalkan istrinya merantau ke Kaltim) punya ide: menitipkan Suyoto ke Kiai Mawardi untuk bisa tinggal secara gratis di Pondok Pesantren NU Sugihan di dekat SMA Jatirogo.
Waktu SMA itu sebenarnya Suyoto naksir siswi tercantik di kelasnya. Kepada siswi itulah Suyoto sering pinjam buku. Yang kemudian membuatnya menjadi lulusan terbaik se-Kabupaten Tuban. Hanya, lantaran statusnya amat miskin, Suyoto tidak bernyali mengutarakan perasaannya.
Suyoto pun lantas merantau ke Surabaya. Karena sering juara di sekolah, dia diterima kuliah di Fakultas Teknik Elektro ITS Surabaya. Seorang dosen di situ, yang kebetulan memerlukan pembantu rumah tangga, bersedia menampung Suyoto sekalian jadi pembantu serabutan.