Semula, yang tidak satu ide pun ada yang di-invite. Tapi, biasanya leave. Terutama setelah melihat perkembangan topik yang dibahas. Atau dominasi kelompok pemikiran tertentu dari anggota tertentu. Dengan demikian, ada kecenderungan tiap grup membangun solidaritas di antara grup itu sendiri.
Kian lama kian mengental pula. Yang masuk sering kali info yang hanya didasarkan asumsi. Yang sudah dibumbui emosi. Saya mencatat betapa jauhnya jarak emosi yang terbangun di satu grup dengan grup lainnya. Dari kelompok yang ideologinya berbeda. Yang agamanya berbeda.
Saya ikut satu grup yang paling militan dari satu aliran. Tapi, saya juga ikut grup yang sangat liberal. Saya ikut grup yang sangat tradisionalis, tapi juga ikut grup yang sangat globalis.
Banyak kalimat hujatan, makian, dan emosian di satu grup. Tapi, kata-kata itu tidak membuat marah anggota grup. Mungkin karena anggota grupnya memang dari kelimpok yang sama. Bahkan, kata-kata keras itu lebih banyak didukung pula. Solidaritas di dalam grup itu terbangun dengan solidnya.
Saya membayangkan kalau saja anggota grup yang berbeda itu menjadi satu, alangkah serunya. Mungkin bukan hanya perang kata-kata. Bisa-bisa berlanjut ke perkelahian di jalan-jalan. Saking kerasnya.
Zaman dulu, suku-suku berkelompok sesama anggota suku. Di satu lokasi yang berbeda. Tidak ada komunikasi antarsuku. Sering terjadi perang suku. Kadang karena tidak ada komunikasi. Atau karena ego sukunya.
Itu semua hasil dari pembangunan soliditas solidaritas di dalam sukunya.
Kini, di zaman yang amat terbuka ini, ternyata bisa juga muncul gejala kembali ke kesukuan. Atau ke kelompokan. Suku juga dalam pengertian yang berbeda. Dengan isolasi berbentuk grup WA atau BBM atau Line.