26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sayang Ibu demi Gerakan Satu Juta Sambungan

Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN

INILAH kampanye yang bukan untuk pemilu. Inilah kampanye untuk menyiapkan Indonesia masa depan: gerakan sayang ibu. Targetnya memenangkan hati ibu-ibu untuk mau menerima aliran gas alam ke dapur-dapur di rumah mereka. Melalui pipa. Bukan melalui tabung.

Juru kampanye yang satu ini bukan tokoh-tokoh nasional, melainkan ibu-ibu dari sebuah RT di Jakarta Timur. Yakni RT 09 RW 12 Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan Duren Sawit.   Hari itu, Rabu lalu, di RT tersebut dideklarasikan dua gerakan. Yang pertama “gerakan sayang ibu” tadi. Yang kedua “gerakan satu juta sambungan”. Yang mendeklarasikan adalah Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk Hendi Prio Santoso.

Dalam waktu dua tahun ini, kata Hendi, PGN akan menyambungkan satu juta sambungan baru langsung ke dapur-dapur rumah penduduk. Ini tentu sebuah ambisi yang besar dari PGN. Tapi bukan tidak realistis. Apalagi, program ini memang sangat strategis. Yang terabaikan oleh PGN sepanjang sejarah hidupnya sejak zaman Belanda.

Selama ini PGN memang menjadi perusahaan besar dengan laba yang besar, namun perannya di masyarakat belum dirasakan langsung secara luas. PGN masih dikenal sebagai BUMN yang terlalu asyik sebagai pedagang gas. Belum sebagai pelayan masyarakat secara masif. Bayangkan, dalam umurnya yang sudah begitu tua, PGN baru memiliki sekitar 100.000 sambungan. Bandingkan dengan PLN yang sudah memiliki lebih dari 50 juta sambungan.

Kini PGN punya tekad yang bukan main-main. Tekad pengabdian yang sangat besar. Tiba-tiba dalam dua tahun ke depan PGN akan langsung melakukan satu juta sambungan. Saya yakin Hendi mampu mewujudkannya.

Saya memang memiliki permintaan khusus kepada direksi PGN. Yakni agar pemakaian gas alam produksi Indonesia bisa dialirkan ke sebanyak mungkin masyarakat. Seperti di banyak negara maju. Sebenarnya memang agak aneh kalau rumah-rumah mewah pun masih menggunakan gas elpiji. Dengan segala keruwetan distribusinya.

Program memasyarakatkan elpiji sendiri saya akui sangat sukses. Berhasil membuat penduduk yang dulunya menggunakan minyak tanah, yang sangat mahal itu, beralih ke elpiji. Masyarakat bisa berhemat, negara juga diuntungkan. Subsidi minyak tanah berkurang. Tapi, keberhasilan program elpiji itu tidak boleh meninabobokan kita. Harus ada gerakan berikutnya: beralih ke gas alam.

Gas alam adalah produk dalam negeri. Seharusnya lebih banyak digunakan untuk bangsa sendiri. Aneh kalau kita ekspor gas alam, tapi impor elpiji dan BBM. Ke depan gas alam haruslah sebanyak mungkin diprogramkan untuk menggantikan BBM dan elpiji.

Kita mestinya menangis meraung-raung memikirkan besarnya impor BBM. Kini dan lebih-lebih masa depan. Produksi minyak mentah kita turun terus. Cadangan minyak mentah kita memang tidak besar lagi. Berarti impor BBM kita akan terus membengkak.

Sementara itu, produksi gas kita terus meningkat. Cadangan gas kita juga masih besar. Jelaslah akal sehat harus mengatakan: mari kita beralih ke bahan bakar yang berbasis gas alam. Ibu-ibu Duren Sawit sudah merasakan sendiri “alangkah serbalebihnya” gas alam dibanding elpiji.

“Harganya lebih murah. Kami bisa lebih hemat 30 persen,” ujar Bu Santina, bu RT di Malaka Jaya, hari itu. “Kami juga tidak pernah khawatir kehabisan gas,” tambahnya.

Berdasar pengalaman itulah, PGN akan melancarkan kampanye khusus. Temanya pun akan lebih fokus ke ibu-ibu. PGN sudah menemukan kata kuncinya: “kampanye sayang ibu”. Dengan tema itu, ibu-ibu akan bergegas merayu suami mereka untuk minta beralih ke gas alam. Rasanya, dengan rayuan ibu-ibu itu, kalau suami mereka benar-benar menyayangi sang istri, peralihan tersebut akan lancar.

Memang tidak mudah menyukseskan gerakan satu juta sambungan ini. Membangun jaringan gas alam lebih sulit daripada membangun jaringan listrik. Pipa gas itu harus ditanam di dalam tanah. Izin menanam pipa gas tidak sederhana. Tapi, sekali infrastruktur gas alam ini terbangun, banyaklah masalah yang bisa diatasi. Termasuk masalah padatnya lalu lintas distribusi gas elpiji.

Gema kampanye ini segera meluas. Ibu-ibu wilayah Halim sudah menghendaki penyambungan gas alam. Ada 6.000 rumah yang merasa siap disambungkan. Silakan PGN melayani mereka. Kalau perlu mencarikan pinjaman bank untuk biaya penyambungan pertama.

Setiap rumah memang perlu mengeluarkan uang untuk membangun pipa sekitar Rp 5 juta. Tapi, nilai itu akan lunas dalam tiga tahun dari selisih harga elpiji dan biaya langganan bulanan gas alam. Pasti banyak bank yang mau menyalurkan dananya ke sektor ini.

Saya akan memberikan dukungan maksimal kepada program strategis PGN ini. Termasuk menerobos berbagai hambatannya. Misalnya di Semarang dan beberapa kota sekitarnya. PGN akan membangun jaringan pipa distribusi gas alam ke rumah-rumah penduduk. Tapi, izinnya ada di tangan PT Rekayasa Industri (Rekind). Waktu tender dulu PGN kalah. Rekind nomor 1, PGN nomor 2.

Tapi, Rekind tidak kunjung membangun jaringan itu. Padahal, sudah lima tahun izin ada di kantongnya. Maka, Rekind akan saya minta mundur. Kebetulan perusahaan itu adalah anak perusahaan BUMN. Saya sudah hubungi direksi holding-nya. Sudah disanggupi. Rekind saya minta fokus pada bisnis utamanya: engineering.

Rekind harus menjadi perusahaan engineering kebanggaan bangsa. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, tinggal Rekind-lah perusahaan engineering kelas dunia yang masih dimiliki bangsa ini. Dua perusahaan lainnya sudah jatuh ke tangan asing. Untuk tender-tender internasional EPC dan engineering, praktis Indonesia hanya diwakili Rekind. Karena itu tidak boleh lengah. Proyek-proyeknya harus selesai tepat waktu.

BUMN sendiri sering melakukan tender internasional. Seperti Pertamina untuk proyek-proyek besarnya. Juga PLN, Pelindo, Angkasa Pura, dan yang lainnya. Kalau reputasi Rekind di kelas internasional merosot, proyek-proyek itu akan jatuh ke perusahaan luar negeri. Maka, saya minta Rekind mundur dari bisnis distribusi gas alam. Dengan demikian, jaringan distribusi gas alam di Semarang itu otomatis akan digantikan PGN, yang sudah lebih siap membangunnya. Rekind kalau perlu mengakuisisi perusahaan sejenis di Eropa. Sebagai “kuda sembrani” untuk memenangi tender-tender internasional di Indonesia.

Gas alam adalah masa depan energi kendaraan dan rumah tangga kita. Langkah mewujudkannya memerlukan kerja cepat. Das des… Set set wuet! (*)

Oleh: Dahlan Iskan, Menteri BUMN

INILAH kampanye yang bukan untuk pemilu. Inilah kampanye untuk menyiapkan Indonesia masa depan: gerakan sayang ibu. Targetnya memenangkan hati ibu-ibu untuk mau menerima aliran gas alam ke dapur-dapur di rumah mereka. Melalui pipa. Bukan melalui tabung.

Juru kampanye yang satu ini bukan tokoh-tokoh nasional, melainkan ibu-ibu dari sebuah RT di Jakarta Timur. Yakni RT 09 RW 12 Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan Duren Sawit.   Hari itu, Rabu lalu, di RT tersebut dideklarasikan dua gerakan. Yang pertama “gerakan sayang ibu” tadi. Yang kedua “gerakan satu juta sambungan”. Yang mendeklarasikan adalah Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk Hendi Prio Santoso.

Dalam waktu dua tahun ini, kata Hendi, PGN akan menyambungkan satu juta sambungan baru langsung ke dapur-dapur rumah penduduk. Ini tentu sebuah ambisi yang besar dari PGN. Tapi bukan tidak realistis. Apalagi, program ini memang sangat strategis. Yang terabaikan oleh PGN sepanjang sejarah hidupnya sejak zaman Belanda.

Selama ini PGN memang menjadi perusahaan besar dengan laba yang besar, namun perannya di masyarakat belum dirasakan langsung secara luas. PGN masih dikenal sebagai BUMN yang terlalu asyik sebagai pedagang gas. Belum sebagai pelayan masyarakat secara masif. Bayangkan, dalam umurnya yang sudah begitu tua, PGN baru memiliki sekitar 100.000 sambungan. Bandingkan dengan PLN yang sudah memiliki lebih dari 50 juta sambungan.

Kini PGN punya tekad yang bukan main-main. Tekad pengabdian yang sangat besar. Tiba-tiba dalam dua tahun ke depan PGN akan langsung melakukan satu juta sambungan. Saya yakin Hendi mampu mewujudkannya.

Saya memang memiliki permintaan khusus kepada direksi PGN. Yakni agar pemakaian gas alam produksi Indonesia bisa dialirkan ke sebanyak mungkin masyarakat. Seperti di banyak negara maju. Sebenarnya memang agak aneh kalau rumah-rumah mewah pun masih menggunakan gas elpiji. Dengan segala keruwetan distribusinya.

Program memasyarakatkan elpiji sendiri saya akui sangat sukses. Berhasil membuat penduduk yang dulunya menggunakan minyak tanah, yang sangat mahal itu, beralih ke elpiji. Masyarakat bisa berhemat, negara juga diuntungkan. Subsidi minyak tanah berkurang. Tapi, keberhasilan program elpiji itu tidak boleh meninabobokan kita. Harus ada gerakan berikutnya: beralih ke gas alam.

Gas alam adalah produk dalam negeri. Seharusnya lebih banyak digunakan untuk bangsa sendiri. Aneh kalau kita ekspor gas alam, tapi impor elpiji dan BBM. Ke depan gas alam haruslah sebanyak mungkin diprogramkan untuk menggantikan BBM dan elpiji.

Kita mestinya menangis meraung-raung memikirkan besarnya impor BBM. Kini dan lebih-lebih masa depan. Produksi minyak mentah kita turun terus. Cadangan minyak mentah kita memang tidak besar lagi. Berarti impor BBM kita akan terus membengkak.

Sementara itu, produksi gas kita terus meningkat. Cadangan gas kita juga masih besar. Jelaslah akal sehat harus mengatakan: mari kita beralih ke bahan bakar yang berbasis gas alam. Ibu-ibu Duren Sawit sudah merasakan sendiri “alangkah serbalebihnya” gas alam dibanding elpiji.

“Harganya lebih murah. Kami bisa lebih hemat 30 persen,” ujar Bu Santina, bu RT di Malaka Jaya, hari itu. “Kami juga tidak pernah khawatir kehabisan gas,” tambahnya.

Berdasar pengalaman itulah, PGN akan melancarkan kampanye khusus. Temanya pun akan lebih fokus ke ibu-ibu. PGN sudah menemukan kata kuncinya: “kampanye sayang ibu”. Dengan tema itu, ibu-ibu akan bergegas merayu suami mereka untuk minta beralih ke gas alam. Rasanya, dengan rayuan ibu-ibu itu, kalau suami mereka benar-benar menyayangi sang istri, peralihan tersebut akan lancar.

Memang tidak mudah menyukseskan gerakan satu juta sambungan ini. Membangun jaringan gas alam lebih sulit daripada membangun jaringan listrik. Pipa gas itu harus ditanam di dalam tanah. Izin menanam pipa gas tidak sederhana. Tapi, sekali infrastruktur gas alam ini terbangun, banyaklah masalah yang bisa diatasi. Termasuk masalah padatnya lalu lintas distribusi gas elpiji.

Gema kampanye ini segera meluas. Ibu-ibu wilayah Halim sudah menghendaki penyambungan gas alam. Ada 6.000 rumah yang merasa siap disambungkan. Silakan PGN melayani mereka. Kalau perlu mencarikan pinjaman bank untuk biaya penyambungan pertama.

Setiap rumah memang perlu mengeluarkan uang untuk membangun pipa sekitar Rp 5 juta. Tapi, nilai itu akan lunas dalam tiga tahun dari selisih harga elpiji dan biaya langganan bulanan gas alam. Pasti banyak bank yang mau menyalurkan dananya ke sektor ini.

Saya akan memberikan dukungan maksimal kepada program strategis PGN ini. Termasuk menerobos berbagai hambatannya. Misalnya di Semarang dan beberapa kota sekitarnya. PGN akan membangun jaringan pipa distribusi gas alam ke rumah-rumah penduduk. Tapi, izinnya ada di tangan PT Rekayasa Industri (Rekind). Waktu tender dulu PGN kalah. Rekind nomor 1, PGN nomor 2.

Tapi, Rekind tidak kunjung membangun jaringan itu. Padahal, sudah lima tahun izin ada di kantongnya. Maka, Rekind akan saya minta mundur. Kebetulan perusahaan itu adalah anak perusahaan BUMN. Saya sudah hubungi direksi holding-nya. Sudah disanggupi. Rekind saya minta fokus pada bisnis utamanya: engineering.

Rekind harus menjadi perusahaan engineering kebanggaan bangsa. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, tinggal Rekind-lah perusahaan engineering kelas dunia yang masih dimiliki bangsa ini. Dua perusahaan lainnya sudah jatuh ke tangan asing. Untuk tender-tender internasional EPC dan engineering, praktis Indonesia hanya diwakili Rekind. Karena itu tidak boleh lengah. Proyek-proyeknya harus selesai tepat waktu.

BUMN sendiri sering melakukan tender internasional. Seperti Pertamina untuk proyek-proyek besarnya. Juga PLN, Pelindo, Angkasa Pura, dan yang lainnya. Kalau reputasi Rekind di kelas internasional merosot, proyek-proyek itu akan jatuh ke perusahaan luar negeri. Maka, saya minta Rekind mundur dari bisnis distribusi gas alam. Dengan demikian, jaringan distribusi gas alam di Semarang itu otomatis akan digantikan PGN, yang sudah lebih siap membangunnya. Rekind kalau perlu mengakuisisi perusahaan sejenis di Eropa. Sebagai “kuda sembrani” untuk memenangi tender-tender internasional di Indonesia.

Gas alam adalah masa depan energi kendaraan dan rumah tangga kita. Langkah mewujudkannya memerlukan kerja cepat. Das des… Set set wuet! (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/