SUMUTPOS.CO – Obat-obatan palsu dan kualitas di bawah standar menjadi masalah serius di negara-negara berkembang. Keberadaannya berpotensi merugikan pasien yang sangat memerlukan perawatan medis.
Sebagian obat-obatan ini dianggap penting oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengobati infeksi di negara-negara berkembang, di antaranya antibiotik ciprofloxacin dan ceftriaxone.
Sayangnya, ahli kimia di negara-negara itu tidak punya peralatan mahal untuk menguji apakah sebuah pil asli.
Solusinya mungkin terletak pada pengujian sederhana menggunakan kertas.
Daripada membeli mesin berharga US$30 ribu, sekelompok ilmuwan mengembangkan kartu kertas seharga $1 untuk menguji obat yang diragukan dalam tiga menit untuk menentukan apakah obat tersebut berkhasiat atau kualitasnya di bawah standar. Tes itu tersedia dalam paket berisi 20 kartu kertas.
“Ini menyangkut isu-isu kebebasan dan keadilan. Jika orang membayar obat mereka berhak untuk mendapat obat. Jadi ini proyek yang kami kerjakan,” ujar ahli kimia Marya Lieberman dari University of Notre Dame di Indiana, yang membantu mengembangkan tes yang murah ini.
Lieberman mengatakan kartu itu bisa dipakai untuk menguji berbagai jenis obat-obatan.
Untuk menguji apakah sebuah obat asli, para peneliti menggerus sebuah pil, menempelkan serbuk pil itu pada 12 garis di kartu itu. Setiap garis mengandung tes untuk bahan yang lain.
Kartu itu kemudian dicelupkan ke air selama beberapa menit. Bahan kimia pada kartu itu akan bereaksi terhadap obat bubuk itu dan berubah menjadi warna tertentu yang dibandingkan dengan pola pil-pil berkualitas tinggi dari pembuat obat-obatan.
Proses itu memisahkan bahan aktif dari bahan tidak aktif bahkan bahan-bahan berbahaya seperti logam berat dari obat bubuk itu.
Sarah Bliese, mahasiswi Hamline University di Saint Paul, Minnesota membantu membuat kartu tes obat-obatan itu yang dipaparkan pada pertemuan tahunan Masyarakat Ahli Kimia Amerika.
Bliese mengatakan penting untuk mewaspadai obat-obatan palsu di setiap tingkat sistem layanan kesehatan.
“Obat-obatan itu merugikan pasien yang seharusnya mendapat obat-obatan yang asli. Hal ini berdampak pada pemberi layanan seperti para apoteker dan dokter yang menulis resep obat-obatan ini karena mulai mempertanyakan kepercayaan diri mereka dalam pengobatan. Berdampak pada para pembeli yang membeli obat dari pembuat obat-obatan karena mereka mulai mempertanyakan kualitas investasi yang dilakukan pada perusahaan farmasi ini,” ujarnya.
Meskipun kartu-kartu ini digunakan untuk menguji obat-obatan di bawah standar di negara-negara berkembang, Lieberman mengatakan mereka mungkin akhirnya akan menggunakannya untuk menguji integritas obat-obatan herbal dan suplemen nutrisi di negara Barat. (voa)