Trend Reggae
Warna merah, kuning, hijau, dipadu dalam satu wadah baik di baju, tas, sendal, topi atau pun aksesoris kecil, kerap terlihat meramaikan penampilan seseorang belakangan ini. Bahkan rambut gimbal atau yang dikenal dreadlock pun tak lagi malu untuk tampil ke permukaan.
Ya, penampilan itu pun menghantar pikiran kepada salah satu jenis musik, reggae. Musik reggae awal
nya dipopulerkan warga negara Jamaika, Bob Marley ke seluruh dunia di era 1970-an. Dan untuk menghargai kontribusinya, para pecinta reggae kerap menggabung symbol-simbol tersebut, warna pada bendera Jamaika, Bob Marley, atau mariyuana (ganja) dalam atributnya.
Warna-warna tadi pun belakangan mulai terlihat di berbagai sisi Kota Medan. Baju kemeja berukuran besar bergambar Bob Marley dalam berbagai ekspresi, atau pun pesan-pesan perdamaian yang dibuat dengan kreatif.
Tidak hanya baju dan topi, simbol-simbol tadi bahkan menyebar untuk tas, sandal, jaket, sepatu, hingga dalam bentuk aksesoris kecil lainnya. Misalnya, kalung, gelang, kaos kaki, sarung tangan, hingga sarung handphone. Juga celana pendek yang dikenal dengan boxer turut mengadopsi simbol-simbol reggae tadi.
Menarik perhatian di sekitar untuk menatap dan sekaligus membaca tulisan yang ditingkahi warna dan gambar mencolok itu. Begitu juga dengan topi rajut yang dibuat dengan tiga warna tersebut.
Kesan itu pula yang dirasakan mahasiswi di salah satu universitas swasta ternama di Kota Medan, Susi (19) yang ditemui di SUN Plaza Jalan Zainul Arifin Medan, Jumat (24/6). Kemeja sedikit gombor bergambar Bob Marley di belakang dan simbol gambar daun ganja tujuh bunga yang melekat di baju dipadukan dengan pada hotpants (celana pendek) berwarna putih, memperjelas perangainya yang periang.
Begitu juga sandal jepit berwarna merah, kuning, hijau dan topi koplok yang dikenakan membuat gadis mungil ini jadi pusat perhatian. “Sebenarnya tidak ada maksud untuk jadi pusat perhatian. Uci memang suka warnanya walaupun untuk musiknya cuma tahu dikit. Kesannya damai dan lebih leluasa untuk pergerakan bagian atas. Mungkin karena komprang ini ya,” kata warga Medan Johor ini.
Sedikit unik dengan topi koplok yang digunakan Rio (21), warga Jalan Pabrik Tenun Medan. Tampak seperti rambut berjuntai di kepalanya yang setelah dilihat dari dekat ternyata hanya aksesoris tambahan. Rio sendiri memiliki rambut ikal yang pendek.
Begitu juga dengan kain sal, sandal, dan tas mungil yang digunakan Popy (21) seperti menyatu dengan kaos kuning dan celana pendek hitam di tubuhnya. Hal itu menunjukkan adanya pergeseran pada dunia fashion belakangan ini. Aksesoris yang dulunya hanya ditemukan di kalangan pencinta musik reggae kian melebarkan pengaruhnya.
Kesan lusuh dan masa bodoh yang ada perlahan pun mulai menemukan kelasnya. Begitu juga dengan pemahaman akan reggae itu sendiri yang lebih melihat pada semangat yang diusung sang legendaries. “Irama musik reggae yang dinamis membuat pendengarnya terhanyut dan tak jarah memberikan kedamaian. Begitu juga lirik-lirik dari lagu reggae juga sangat kental dengan pesan-pesan cinta perdamaian. Saya pikir semangat itu yang lebih dilihat sekarang ini daripada ganja, alkohol, dan gaya hidup negatif lainnya,” tegas Anonie Purba yang ditemui di Distro Rasta Medan Jalan Pabrik Tenun No 105 Medan.
Hal itu pula yang ingin diwujudkan Anonie bersama Ion Saragih saat mendirikan Distro Rasta Medan sebagai counter fashion khusus reggae di Kota Medan tepatnya 4 Juni lalu. Berbagai aksesoris dengan warna khas ala reggae pun terpajang di situ. Baik baju, kaos maupun kemeja, celana, tas, topi, jaket, sendal, sepatu, tali pinggang, jam tangan, kalung, kerabu, kain pantai, mancis, poster, stiker dengan motif-motif unik.
“Semua fashion bergaya reggae ini kita datangkan dari pulau Jawa dan Bali. Namun ke depan kita mau mengangkat kreatifitas lokal dengan membuat logo sendiri. Begitu juga kita akan menambah item yang ada seperti kaset-kaset reggae,” tambahnya.
Dengan harga yang terjangkau, mulai Rp10.000 hingga Rp200.000, toko yang dibuka hampir satu bulan ini sudah mendapat antusias dari masyarakat. Meskipun tidak dalam jumlah besar, dipastikan setiap harinya ada item yang terjual.
Tidak hanya penjualan aksesoris, pembuatan tato maupun rambut gimbal atau dreadlock dapat dilakukan. Meskipun hal itu tidak sebuah keharusan dalam kehidupan seorang pecinta reggae. “Seperti lirik Bapak Reggae Indonesia Tony Q Rastavara, reggae tidak harus gimbal, gimbal tidak harus reggae, ganja tidak harus reggae, reggae tidak harus ganja,” pungkasnya. (jul)
—
Berjuang dalam Damai
SOAL penggunaan ganja untuk menikmati musik reggae tidaklah selalu diterima oleh seluruh penikmat musik reggae.
Menurut mereka, reggae sebetulnya adalah musik yang membawa pesan perdamaian. Jadi tak ada hubungannya sama sekali dengan penggunaan ganja yang merupakan benda ilegal untuk dikonsumsi secara bebas.
“Reggae sebetulnya dapat memberikan pengaruh yang positif. Selain lirik lagu reggae berisi pesan perdamaian, juga memberikan dorongan untuk membuat hidup lebih baik,” ucap Ketua Pelaksana Komunitas Rasta Medan, Anonie Purba yang ditemui di Jalan Pabrik Tenun Medan, Jumat (24/6).
Lewat musik dan simbol-simbol pada busana yang dikenakan, masyarakat Jamaika menyampaikan keinginannya akan sebuah kebebasan. Penolakan sebuah suku bangsa dari penindasan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa.
Begitu juga dengan rastafari, sebuah paham yang mucul untuk pembebasan bangsa Afrika tadi. Penganut rastafarian yang disebut sebagai rastamania, atau rastafarian bahkan tidak mengkonsumsi alkohol, obat bius, ganja, dan beberapa diantaranya adalah vegetarian.
Begitu kentalnya nuansa falsafah rastafarian dalam ratusan tembang yang dicipta dan dibawakan, membuat citra reggae dan rastafarian sulit untuk dipisahkan. Reggae dan rastafarian bisa dibilang punya arah yang sama.
Bahkan, membawa pesan kasih sayang dan perdamaian, bukan sekadar berambut gimbal atau tampil berantakan. Tak kenal maka tak sayang. Itulah jeritan hati pecinta reggae sejati. Kebebasan yang mereka inginkan, bukanlah kebebasan tanpa batas lewat pengaruh daun ganja. (jul)