30 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Nias yang Khas

Begitu pesawat mendarat di Bandara Binaka, Gunungsitoli, ada kebimbangan yang muncul. Sebuah pertanyaan mengemuka, seperti apa Nias setelah dihajar gempa pada 2004 dan 2005 lalu? Apakah Nias sudah menghias diri?

Laporan, Andri Ginting

SELANCAR: Seorang wisatawan asing beraksi  papan selancar  ombak  menawan   Pantai Sorake, Nias Selatan.
SELANCAR: Seorang wisatawan asing beraksi di papan selancar di ombak yang menawan di Pantai Sorake, Nias Selatan.

Dua pertanyaan tadi langsung menghilang. Ya, ada kecerian dan suka yang langsung memasuki kepala ketika udara Nias untuk pertama kali terhisap. Pada 2011 lalu saya sempat ke Nias. Dan, Nias saat itu memang telah berhias. Apalagi saati itu ada agenda Atraksi Budaya Bawomataluo 2011.

Rasa takjub semakin menjadi ketika mulai memasuki kawasan Gunungsitoli. Stereotipe selama ini tentang orang Nias langsung hilang. Ya, masyarakat Nias terlihat ramah dan menghargai pengunjung yang datang. Sangat berbeda dengan anggapan bahwa Suku Nias yang terkenal dengan mistis; sesuatu yang membuat wisatawan takut berkunjung.

Di Kota Gunungsitoli perhatian langsung tertuju pada Museum Pusaka. Pasalnya, museum ini mengoleksi 6500-an benda-benda peninggalan budaya Nias. Semua koleksi itu dikelola oleh Pastor Johannes M Hammerle, warga negara Jerman yang sudah menetap di Nias selama 36 tahun. Pastor Johannes juga bertindak selaku direktur museum. Dia mengumpulkan koleksinya dari desa-desa di pedalaman Nias. Adapun koleksinya terdiri dari artefak alat-alat rumah tangga, patung-patung megalit dari kayu dan batu, senjata tradisional, perhiasan, pakaian perang, mata uang, simbol-simbol kebangsawanan sampai rumah adat asli Nias yang disebut Omo Hada.

Nias, pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera dan memiliki luas wilayah 5.625 km²  dengan jumlah penduduk sekitar 700.000 jiwa ini selain menyimpan hasil budaya yang khas, panoramanya juga diakui dunia. Apalagi ketika pengunjung menyusuri jalan menuju Nias Selatan. Sepanjang perjalanan terlihat rumah-rumah penduduk yang masih sederhana, namun menggambarkan kesahajaan masyarakat. Tidak banyak kendaraan yang melintas dan hampir tidak ada kemacetan di sepanjang perjalanan. Yang muncul, perjalanan seakan menyatu dengan  alam, seakan menegaskan bahwa kuasa alam begitu besar dan manusia tidak ada apa-apanya ketika dihadapkan dengan alam.

Usai gempa 2004 dan gempa tahun 2005  masyarakat Nias bagaikan terpuruk dengan lumpuhnya sektor pariwisata yang mengandalkan kekayaan alam dan budaya. Pertumbuhan ekomoni masyarakat menjadi terhambat karena hampir keseluruhan masyarakat Nias bermata pencarian dari sektor pariwisata yang menjual aneka souvenir khas Pulau Nias dan akomodasi bagi wisatawan lokal dan asing, serta berbagai atraksi budaya yang biasa ditampilkan bagi wistawan yang datang ke pulau tersebut.
Nah, mengingat kondisi yang memprihatinkan tersebut, sejumlah tokoh adat dan pemerintah Kabupaten Nias menggelar Atraksi Budaya Bawomataluo 2011. Pagelaran yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata di Nias tersebut menampilkan sejumlah atraksi budaya dan aneka kerajinan tangan masyarakat Nias. Acara tersebut terselenggara dengan swadaya masyarakat adat Desa Bawomataluo bersama desa di sekitarnya di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Pagelaran tersebut pun dikoordinasikan oleh Hikayat Manao yang merupakan salah satu ketua panitia dan didukung oleh Kepada Desa Bawomataluo Ariston Manao.

Acara Pagelaran Atraksi Budaya Bawomataluo ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut yaitu sejak tanggal 13-15 Mei 2011. Hasilnya, ribuan wisatawan lokal maupun mancanegara tersedot. Bagaimana tidak, kejayaan kebangsawanan Kerajaan Laowo di masa silam ditampilkan kembali untuk memuaskan wisatawan. Sebut saja Maluaya (tari perang ), Mogaele (tari dayang-dayang), Fahombo (lompat batu),  Famadaya Harimao (perarakan simbol kekuasan/hukum adat), Hoho (puisi, sastra Nias), Tari Moyo (tari elang), Fo’ere (hal-ihwal tempo dulu), Fabolosi  (senandung), pameran promosi hasil kerajinan, feta batu (musik tradisi), Fafiri ala Nias (lomba ketangkasan), dan pameran/promosi hasil kerajinan, ukiran , pahat, anyam, samai kulit, dan sebagainya.

Hikayat Manao mengatakan acara tersebut menggunakan ikon Telau Lasara. Patung Telau Lasara dapat disaksikan mengapit ‘gerbang’ tangga menuju Desa Bawomataluo. Menurutnya, penggunaan ikon Telau Lasara tersebut untuk memperkenalkan budaya lainnya yang selama ini jarang terekspos. Selama ini hanya Hombo Batu (lompat batu) saja yang sudah menasional .
“Telau Lasara itu adalah kepala sejenis binatang khayalan/imajinasi yang mengekspresikan keperkasaan” terangnya saat itu.
Pagelaran, Atraksi Budaya Bawomataluo berlangsung di  desa adat Bawomataluo yang berada di puncak bukit, Nias Selatan. “Kita mau Nias bangkit dan menjadi daerah tujuan wisata favorit di dunia,” kata Hikayat Manao  lagi. (*)

Begitu pesawat mendarat di Bandara Binaka, Gunungsitoli, ada kebimbangan yang muncul. Sebuah pertanyaan mengemuka, seperti apa Nias setelah dihajar gempa pada 2004 dan 2005 lalu? Apakah Nias sudah menghias diri?

Laporan, Andri Ginting

SELANCAR: Seorang wisatawan asing beraksi  papan selancar  ombak  menawan   Pantai Sorake, Nias Selatan.
SELANCAR: Seorang wisatawan asing beraksi di papan selancar di ombak yang menawan di Pantai Sorake, Nias Selatan.

Dua pertanyaan tadi langsung menghilang. Ya, ada kecerian dan suka yang langsung memasuki kepala ketika udara Nias untuk pertama kali terhisap. Pada 2011 lalu saya sempat ke Nias. Dan, Nias saat itu memang telah berhias. Apalagi saati itu ada agenda Atraksi Budaya Bawomataluo 2011.

Rasa takjub semakin menjadi ketika mulai memasuki kawasan Gunungsitoli. Stereotipe selama ini tentang orang Nias langsung hilang. Ya, masyarakat Nias terlihat ramah dan menghargai pengunjung yang datang. Sangat berbeda dengan anggapan bahwa Suku Nias yang terkenal dengan mistis; sesuatu yang membuat wisatawan takut berkunjung.

Di Kota Gunungsitoli perhatian langsung tertuju pada Museum Pusaka. Pasalnya, museum ini mengoleksi 6500-an benda-benda peninggalan budaya Nias. Semua koleksi itu dikelola oleh Pastor Johannes M Hammerle, warga negara Jerman yang sudah menetap di Nias selama 36 tahun. Pastor Johannes juga bertindak selaku direktur museum. Dia mengumpulkan koleksinya dari desa-desa di pedalaman Nias. Adapun koleksinya terdiri dari artefak alat-alat rumah tangga, patung-patung megalit dari kayu dan batu, senjata tradisional, perhiasan, pakaian perang, mata uang, simbol-simbol kebangsawanan sampai rumah adat asli Nias yang disebut Omo Hada.

Nias, pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera dan memiliki luas wilayah 5.625 km²  dengan jumlah penduduk sekitar 700.000 jiwa ini selain menyimpan hasil budaya yang khas, panoramanya juga diakui dunia. Apalagi ketika pengunjung menyusuri jalan menuju Nias Selatan. Sepanjang perjalanan terlihat rumah-rumah penduduk yang masih sederhana, namun menggambarkan kesahajaan masyarakat. Tidak banyak kendaraan yang melintas dan hampir tidak ada kemacetan di sepanjang perjalanan. Yang muncul, perjalanan seakan menyatu dengan  alam, seakan menegaskan bahwa kuasa alam begitu besar dan manusia tidak ada apa-apanya ketika dihadapkan dengan alam.

Usai gempa 2004 dan gempa tahun 2005  masyarakat Nias bagaikan terpuruk dengan lumpuhnya sektor pariwisata yang mengandalkan kekayaan alam dan budaya. Pertumbuhan ekomoni masyarakat menjadi terhambat karena hampir keseluruhan masyarakat Nias bermata pencarian dari sektor pariwisata yang menjual aneka souvenir khas Pulau Nias dan akomodasi bagi wisatawan lokal dan asing, serta berbagai atraksi budaya yang biasa ditampilkan bagi wistawan yang datang ke pulau tersebut.
Nah, mengingat kondisi yang memprihatinkan tersebut, sejumlah tokoh adat dan pemerintah Kabupaten Nias menggelar Atraksi Budaya Bawomataluo 2011. Pagelaran yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata di Nias tersebut menampilkan sejumlah atraksi budaya dan aneka kerajinan tangan masyarakat Nias. Acara tersebut terselenggara dengan swadaya masyarakat adat Desa Bawomataluo bersama desa di sekitarnya di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Pagelaran tersebut pun dikoordinasikan oleh Hikayat Manao yang merupakan salah satu ketua panitia dan didukung oleh Kepada Desa Bawomataluo Ariston Manao.

Acara Pagelaran Atraksi Budaya Bawomataluo ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut yaitu sejak tanggal 13-15 Mei 2011. Hasilnya, ribuan wisatawan lokal maupun mancanegara tersedot. Bagaimana tidak, kejayaan kebangsawanan Kerajaan Laowo di masa silam ditampilkan kembali untuk memuaskan wisatawan. Sebut saja Maluaya (tari perang ), Mogaele (tari dayang-dayang), Fahombo (lompat batu),  Famadaya Harimao (perarakan simbol kekuasan/hukum adat), Hoho (puisi, sastra Nias), Tari Moyo (tari elang), Fo’ere (hal-ihwal tempo dulu), Fabolosi  (senandung), pameran promosi hasil kerajinan, feta batu (musik tradisi), Fafiri ala Nias (lomba ketangkasan), dan pameran/promosi hasil kerajinan, ukiran , pahat, anyam, samai kulit, dan sebagainya.

Hikayat Manao mengatakan acara tersebut menggunakan ikon Telau Lasara. Patung Telau Lasara dapat disaksikan mengapit ‘gerbang’ tangga menuju Desa Bawomataluo. Menurutnya, penggunaan ikon Telau Lasara tersebut untuk memperkenalkan budaya lainnya yang selama ini jarang terekspos. Selama ini hanya Hombo Batu (lompat batu) saja yang sudah menasional .
“Telau Lasara itu adalah kepala sejenis binatang khayalan/imajinasi yang mengekspresikan keperkasaan” terangnya saat itu.
Pagelaran, Atraksi Budaya Bawomataluo berlangsung di  desa adat Bawomataluo yang berada di puncak bukit, Nias Selatan. “Kita mau Nias bangkit dan menjadi daerah tujuan wisata favorit di dunia,” kata Hikayat Manao  lagi. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/