31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Damainya Alam di Serambi Makkah

Menikmati Damainya Alam di Serambi Makkah Bertualang di provinsi paling barat Indonesia memiliki sejuta kesan. Paduan wisata sejarah, panorama pantai yang eksotik, wisata bawah laut melihat pola ikan-ikan cantik di antara karang, serta wisata kuliner, diyakini akan memberi pengalaman yang memuaskan, sekaligus tak terlupakan.

Aceh atau yang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah memang bukan destinasi wisata utama di nusantara. Tetapi bagi wisatawan yang sudah berulangkali mengunjungi Bali, Lombok atau Danau Toba, Negeri Tanah Rencong menawarkan sisi lain perjalanan wisata. Dalam damai, pelaku wisata di provinsi yang sempat merasakan konflik bersenjata berkepanjangan ini telah siap menyambut para turis.

Wiya, Luna dan Medya, tiga sekawan sejak kuliah, punya berjuta kesan saat melancong ke Aceh. Menurut tiga warga Medan ini, berpetualang dengan dana minim dengan segala konsekwensinya memberi kepuasan yang jauh lebih besar. Hebatnya, dana yang mereka keluarkan sangat minimal, sekitar Rp1 juta per orang.

Awal perjalanan, mereka terbang dari Polonia ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh, dengan pesawat ekonomi dan tiket promo seharaga Rp200 ribuan. Dari Banda, perjalanan akan berlanjut ke Sabang.

Di Bandara SIM mereka bertemu teman lama, Bustami, Jasmadi dan lainnya yang sudah menunggu dengan membawa sepeda motor. Sebab di Sabang tidak ada angkutan umum. Wiya dan kawan-kawan dari Medan akan berangkat bersama Bustami dan rekan menuju Pulau Weh.

Di bibir dermaga penyeberangan, rombongan mengantre bersama penumpang dan kendaraan sebelum masuk feri penyeberangan. Di kapal yang membelah Samudera Hindia ini selama sekitar 4-5 jam, tanpa kursi ini, mereka membayar ongkos Rp17 ribu per orangnya.

Merapat di pulau yang dituju, geliat Kota Sabang mulai terasa. Perjalanan yang tidak menyulitkan pendatang, mengingat kota ini hanya mempunyai sedikit ruas jalan lengkap dengan petunjuk arah.

Rute pertama yang mereka kunjungi, pastinya Tugu Nol Kilometer Indonesia. Perjalanan dari Kota Sabang menuju tugu hanya 1 setengah jam, melalui jalan mulus tanpa macet. Di tugu bersejarah ini, setiap pengunjung diwajibkan melalui bundaran besi yang berada tepat di bawah monumen.
Dari sini, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Rubiah menggunakan boat bermuatan 6 orang dengan harga Rp150 ribu. Muncul sensasi aksi ngebut jet air di laut lepas berwarna biru bercampur hijau.

Di Pulau Rubiah, kawanan ini disuguhkan pemandangan orang-orang yang asyik snorkling cukup. Karena ingin ikut serta cuci mata di taman laut dangkal itu, mereka merogoh kocek Rp40 ribu per orang. Ratusan ikan berwarna warni berjalan berurutan mulai dari yang kecil sampai yang besar. Ikan teri, ikan pelangi dan ikan laut lainnya beriringan di antara karang yang dihiasi lambaian rumput laut. Tak ketinggalan gundukan seperti setengah gunung karang yang menjadi rumah ikan-ikan. Hewan lucu itu mengintip seperti malu-malu. Sesekali ikan besar terlihat sedang berburu ikan kecil-kecil. Wow…it’s amazing. Kata-kata itu berulangkali terlintas di benak Wiya dan temannya.

Tak terasa waktu berlalu, hingga mereka mengakhiri petualangan sehari dan beristirahat di Kota Sabang. Keesokan paginya, harus kembali ke Banda Aceh, naik kapal penyeberangan trip pertama.

Di Banda, kaum pria dari rombongan menyempatkan singgah dan salat Jumat berjamaah di Masjid Taman Sari, sekitar 5 kilometer dari pantai. Rombongan wanita yang tidak salat menunggu di Hermes Palace Banda Aceh. Daerah itu merupakan wilayah yang dipugar kembali, setelah dihempas tsunami 2004 yang menghantam hingga 17 km dari pantai.

Di masjid, ratusan jamaah merasakan keheningan. Saat itu, bertepatan peringatan sewindu pascatsunami. Puas berserah pada yang kuasa, perjalanan dilanjutkan ke museum sejarah dan rumah adat Aceh. Di sana terdapat ornamen dan benda peninggalan sejarah, saksi bisu kekuasaan kesultanan Aceh pada masanya. Tanda 99 Asmaul Husna di pelataran kantor pemerintah menarik perhatian mereka. Tanda itu ternyata dimaksudkan agar warga di sana tetap mengingatkan pemilik amanah rakyat berbuat sesuai syariah.

Para petualang ini juga sempat mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman, masjid yang sangat kokoh dan tetap utuh saat tsunami. Masjid ini juga menjadi tempat banyak umat berlindung dan akhirnya selamat dari badai dahyat itu. Tak lupa, rombongan memanjatkan doa di masjid bertuah itu.
Berkunjung ke Aceh rasanya tak afdol kalau tak mencicipi kopi khas Aceh. Harganya Rp8 ribu per gelas. Namanya kopi sanger, kopi hitam yang bisa juga dicampur dengan susu kental dan diracik dengan cara membolak balikkan saringan yang terbuat dari kain putih sambil menarik ulur kopi yang sangat panas.  Hanya 4 hari menyusuri Serambi Makkah, meski panasnya mengalahi Medan, namun perjalanan rasanya punya keteduhan. (M  Syahbani)

 

Menikmati Damainya Alam di Serambi Makkah Bertualang di provinsi paling barat Indonesia memiliki sejuta kesan. Paduan wisata sejarah, panorama pantai yang eksotik, wisata bawah laut melihat pola ikan-ikan cantik di antara karang, serta wisata kuliner, diyakini akan memberi pengalaman yang memuaskan, sekaligus tak terlupakan.

Aceh atau yang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah memang bukan destinasi wisata utama di nusantara. Tetapi bagi wisatawan yang sudah berulangkali mengunjungi Bali, Lombok atau Danau Toba, Negeri Tanah Rencong menawarkan sisi lain perjalanan wisata. Dalam damai, pelaku wisata di provinsi yang sempat merasakan konflik bersenjata berkepanjangan ini telah siap menyambut para turis.

Wiya, Luna dan Medya, tiga sekawan sejak kuliah, punya berjuta kesan saat melancong ke Aceh. Menurut tiga warga Medan ini, berpetualang dengan dana minim dengan segala konsekwensinya memberi kepuasan yang jauh lebih besar. Hebatnya, dana yang mereka keluarkan sangat minimal, sekitar Rp1 juta per orang.

Awal perjalanan, mereka terbang dari Polonia ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh, dengan pesawat ekonomi dan tiket promo seharaga Rp200 ribuan. Dari Banda, perjalanan akan berlanjut ke Sabang.

Di Bandara SIM mereka bertemu teman lama, Bustami, Jasmadi dan lainnya yang sudah menunggu dengan membawa sepeda motor. Sebab di Sabang tidak ada angkutan umum. Wiya dan kawan-kawan dari Medan akan berangkat bersama Bustami dan rekan menuju Pulau Weh.

Di bibir dermaga penyeberangan, rombongan mengantre bersama penumpang dan kendaraan sebelum masuk feri penyeberangan. Di kapal yang membelah Samudera Hindia ini selama sekitar 4-5 jam, tanpa kursi ini, mereka membayar ongkos Rp17 ribu per orangnya.

Merapat di pulau yang dituju, geliat Kota Sabang mulai terasa. Perjalanan yang tidak menyulitkan pendatang, mengingat kota ini hanya mempunyai sedikit ruas jalan lengkap dengan petunjuk arah.

Rute pertama yang mereka kunjungi, pastinya Tugu Nol Kilometer Indonesia. Perjalanan dari Kota Sabang menuju tugu hanya 1 setengah jam, melalui jalan mulus tanpa macet. Di tugu bersejarah ini, setiap pengunjung diwajibkan melalui bundaran besi yang berada tepat di bawah monumen.
Dari sini, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Rubiah menggunakan boat bermuatan 6 orang dengan harga Rp150 ribu. Muncul sensasi aksi ngebut jet air di laut lepas berwarna biru bercampur hijau.

Di Pulau Rubiah, kawanan ini disuguhkan pemandangan orang-orang yang asyik snorkling cukup. Karena ingin ikut serta cuci mata di taman laut dangkal itu, mereka merogoh kocek Rp40 ribu per orang. Ratusan ikan berwarna warni berjalan berurutan mulai dari yang kecil sampai yang besar. Ikan teri, ikan pelangi dan ikan laut lainnya beriringan di antara karang yang dihiasi lambaian rumput laut. Tak ketinggalan gundukan seperti setengah gunung karang yang menjadi rumah ikan-ikan. Hewan lucu itu mengintip seperti malu-malu. Sesekali ikan besar terlihat sedang berburu ikan kecil-kecil. Wow…it’s amazing. Kata-kata itu berulangkali terlintas di benak Wiya dan temannya.

Tak terasa waktu berlalu, hingga mereka mengakhiri petualangan sehari dan beristirahat di Kota Sabang. Keesokan paginya, harus kembali ke Banda Aceh, naik kapal penyeberangan trip pertama.

Di Banda, kaum pria dari rombongan menyempatkan singgah dan salat Jumat berjamaah di Masjid Taman Sari, sekitar 5 kilometer dari pantai. Rombongan wanita yang tidak salat menunggu di Hermes Palace Banda Aceh. Daerah itu merupakan wilayah yang dipugar kembali, setelah dihempas tsunami 2004 yang menghantam hingga 17 km dari pantai.

Di masjid, ratusan jamaah merasakan keheningan. Saat itu, bertepatan peringatan sewindu pascatsunami. Puas berserah pada yang kuasa, perjalanan dilanjutkan ke museum sejarah dan rumah adat Aceh. Di sana terdapat ornamen dan benda peninggalan sejarah, saksi bisu kekuasaan kesultanan Aceh pada masanya. Tanda 99 Asmaul Husna di pelataran kantor pemerintah menarik perhatian mereka. Tanda itu ternyata dimaksudkan agar warga di sana tetap mengingatkan pemilik amanah rakyat berbuat sesuai syariah.

Para petualang ini juga sempat mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman, masjid yang sangat kokoh dan tetap utuh saat tsunami. Masjid ini juga menjadi tempat banyak umat berlindung dan akhirnya selamat dari badai dahyat itu. Tak lupa, rombongan memanjatkan doa di masjid bertuah itu.
Berkunjung ke Aceh rasanya tak afdol kalau tak mencicipi kopi khas Aceh. Harganya Rp8 ribu per gelas. Namanya kopi sanger, kopi hitam yang bisa juga dicampur dengan susu kental dan diracik dengan cara membolak balikkan saringan yang terbuat dari kain putih sambil menarik ulur kopi yang sangat panas.  Hanya 4 hari menyusuri Serambi Makkah, meski panasnya mengalahi Medan, namun perjalanan rasanya punya keteduhan. (M  Syahbani)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/