MAKIN banyaknya wisatawan yang mengunjungi Marandan Weser dan Way Weser, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, tidak membuat dua desa tersebut terkontaminasi budaya luar.
Penduduknya tetap keukeuh menjaga tradisi nenek moyang. Mereka tidak merokok dan tidak minum minuman keras.
M. ALI/ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta
Raja Ampat kini bukan nama asing lagi di telinga. Keindahan alam bawah lautnya sungguh memesona. Wisatawan domestik maupun asing dibuat penasaran ingin membuktikan kecantikan wisata bahari di Indonesia Timur itu.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Kabupaten Raja Ampat terdiri atas empat pulau besar yang masing-masing dipisahkan lautan. Empat pulau tersebut adalah Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta. Di pulau terakhir itulah terdapat Desa Marandan Weser dan Way Weser yang melegenda tersebut.
Para wisatawan akan disambut ombak kecil di hamparan pasir putih nan alami. Bunyi suling tambur dan tarian Yospan di atas dermaga berbahan kayu sepanjang 80 meter akan membawa pengunjung menuju dua desa tersebut.
Menurut Lasarus Ulim, salah seorang tokoh masyarakat Desa Maradan, tradisi warga yang “tidak mengenal” rokok dan minum minuman keras (miras) itu sudah berlangsung sangat lama. Turun-temurun dan dijaga ketat hingga saat ini.
Lasarus menjelaskan, sebenarnya tradisi mulia tersebut berlaku di seluruh wilayah Raja Ampat. Namun, seiring perkembangan zaman dan pengaruh budaya dari luar, kini tinggal dua desa itu yang masih memegang teguh aturan kuno tersebut.
“Hanya Marandan Weser dan Way Weser yang mampu mempertahankan tradisi dan kepercayaan nenek moyang itu hingga sekarang,” tutur Lasarus kepada Jawa Pos yang pekan lalu mengunjungi dua desa tersebut. “Kami jadi lebih sehat tanpa rokok dan minuman keras,” tambahnya.
Meski memegang teguh tradisi itu, penduduk Desa Marandan Weser dan Way Weser sangat menghormati wisatawan atau orang asing yang tidak tahu tradisi tersebut. Mereka tidak pernah melarang wisatawan yang “karena tidak tahu” merokok atau minum minuman beralkohol.
Dalam budaya mereka, tamu adalah raja sehingga harus dihormati. Mereka tidak berkeberatan jika ada tamu yang secara “tidak sengaja” melanggar tradisi desa itu. Namun, biasanya si tamu akan diberi tahu bahwa di desa tersebut ada tradisi yang tidak membenarkan orang merokok dan minum miras.
“Tidak sopan jika kami harus mengusir atau menegur dengan keras. Sebab, mereka adalah tamu. Beda halnya jika mereka adalah warga asli sini. Maka, teguran bahkan pengasingan akan kami berikan jika mereka melanggar apa yang sudah kami anut itu,” tuturnya.
Bahkan, kata Lasarus, warga pantang mengambil barang milik orang lain. Misalnya, ada barang wisatawan yang tertinggal, pasti akan dikembalikan. Warga tidak berani melanggar.
Selain itu, warga kedua desa tidak memakan daging, kecuali ikan. Setiap hari mereka hanya makan sayuran dan buah-buahan. Dalam kepercayaan mereka, hewan juga mempunyai nyawa seperti manusia sehingga tidak dibenarkan untuk dibunuh dan dimakan dagingnya.
Hal itu mendorong warga untuk giat bercocok tanam dan melakoni pekerjaan sebagai nelayan. Mereka hidup dari dua pekerjaan tersebut. Masyarakat suku Tasdarum yang hidup di dua desa itu pun mengganti tradisi bakar batu yang biasanya menggunakan daging babi dengan hasil kebun mereka. Antara lain, menggunakan umbi-umbian hasil panen.
Cara seperti itu, kata Lasarus, dilakukan warga untuk menyelaraskan dengan alam. Keselarasan yang telah dijalani selama beratus-ratus tahun membuat mereka bisa bertahan hidup tanpa bantuan dari pemerintah. Dua desa itu hampir tidak tersentuh pembangunan. Semua masih alami.
Kehidupan alam dan manusia menjadi instrumen harmonisasi di dua desa tersebut. Segala sesuatu menjadi irama keseimbangan untuk keberlangsungan hidup. Tersenyum, yang biasanya hanya menjadi basa-basi, menjadi kewajiban bagi mereka.
Namun, makin banyaknya orang luar yang berkunjung ke dua desa itu akhir-akhir ini sedikit banyak mulai memberikan efek yang kurang baik bagi warga setempat. Sebab, orang luar tidak hanya berwisata. Namun, ada juga yang merusak alam. Misalnya, ada yang menebang kayu hutan sembarangan atau menjarah hasil laut dengan alat peledak.
“Dulu kami mancing bisa dapat 50 kilogram. Sekarang 3-4 kilogram saja yang didapat. Hutan kami juga sudah hancur oleh penebang-penebang liar. Kami hanya bisa menegur, tidak bisa berbuat apa-apa. Kami tidak bisa memanfaatkan kearifan lokal,” tutur Spenser Pariri, tokoh pemuda sekaligus anak Kepala Kampung Leopold Pariri.
Dua desa yang dihuni 73 kepala keluarga atau sekitar 550 jiwa itu kini berganti nama menjadi Desa Surya Paloh Tunduwe. Hal tersebut terjadi setelah ketua umum Partai Nasdem itu mengunjungi dua wilayah terpencil tersebut dan memberikan bantuan.
Paloh berjanji membangun sebuah SD dengan 12 kelas, sejumlah rumah lengkap dengan kamar mandi dan pompa air bersih, serta memberikan fasilitas koperasi untuk membantu perekonomian warga.
Menurut Spenser, desanya memang memerlukan uluran bantuan untuk membangun. Sebab, jika tidak ada bantuan, infrastruktur di dua desa itu akan semakin tertinggal.
“Kami kadang malu kepada para wisatawan asing karena desa kami ketinggalan dibanding desa lain,” tuturnya.
Spenser berharap, dengan bantuan infrastruktur itu, tingkat pendidikan di kampungnya semakin baik. Kehidupan masyarakat juga bisa makin sejahtera.
“Dulu kami pernah menggarap sawah 20 hektare secara manual. Tapi, tidak adanya fasilitas yang memadai, panen kami gagal. Mudah-mudahan dengan bantuan ini panen kami lebih baik,” ungkapnya.
“Meski begitu, kami tidak bisa mengubah tradisi yang sudah kami jalani ratusan tahun ini. Inilah prinsip hidup kami,” tegasnya. (*/c5/ari)