25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Berjuang Melawan Ombak sebelum Berdoa kepada Dewa

Busra menghentikan perahu kecilnya karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Tampak Kelenteng Dharma Bakti di kejauhan. Sendiri di tengah laut. Foto: DOAN WIDHIANDONO/JAWA POS/JPNN.com
Busra menghentikan perahu kecilnya karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Tampak Kelenteng Dharma Bakti di kejauhan. Sendiri di tengah laut. Foto: DOAN WIDHIANDONO/JAWA POS/JPNN.com

Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, punya Xiao Yi Shen Tang atau Kelenteng Dharma Bakti. Menariknya, tempat ibadah itu terapung di tengah laut, sekitar 5 kilometer dari darat. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO dan fotografer YUYUNG ABDI singgah di kelenteng tersebut pekan lalu.

BUSRA tiba-tiba mengerem laju sampan kecilnya. Dia harus mandek lantaran “jalan” di depannya begitu bergelombang. Ya, gelombang dalam arti yang sebenarnya. Gulungan air di tepi Laut Natuna “salah satu “kaki” Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan Pulau Kalimantan” terus-menerus menerjang sampan yang kami tumpangi itu.

Gelombangnya memang tak terlampau tinggi. Hanya setengah sampai satu meter. Namun, hantamannya sudah cukup untuk membuat biduk Busra “sampan bermotor selebar sekitar satu meter dengan panjang tak sampai empat meter” mengangguk-angguk liar seperti kuda lepas kendali.

Sembari berpegangan pada atap perahu yang tingginya hanya seperut, Busra meniti lambung sampan menjumpai kami yang sedang meringkuk di ujung buritan. Setengah berseru, pria kecil berkumis tipis dengan tubuh liat tersebut berkata kepada Hariyadi, fotografer Pontianak Post (Jawa Pos Group) yang menyertai perjalanan kami. “Ndak bisa maju! Air terus masuk!” Logat melayunya sangat kental.

Kami pun memilih untuk tidak mempertaruhkan satu-satunya nyawa. Sampan kecil itu pun balik kucing menuju muara Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, tempat kami meninggalkan daratan. Muara itu terletak sekitar 30 kilometer di selatan Kota Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Seperempat jam sebelumnya, kami sempat mendapat tatapan heran para nelayan di muara tersebut. Mereka heran dengan niat kami mencari perahu sewaan untuk menuju Xiao Yi Shen Tang di tengah laut.

“Mana ada orang ke laut jam segini” Ombaknya ngeri. Lihat, semua nelayan ikat perahu di sini,” ujar seseorang yang bertubuh tambun dan berkacamata tebal.

Hari itu Selasa (21/1) sekitar pukul 16.00. “Biasanya orang ke pek kong (sebutan untuk kelenteng, Red) itu pagi,” tambah nelayan tersebut.

Memang, hanya Busra yang mau menjawab tantangan kami, mengantar ke pek kong saat sore, ketika ombak mulai tidak bersahabat. Meskipun, perahu kecilnya terbukti tidak berdaya memenggal bukit-bukit ombak Laut Natuna.

Setiba kembali di Sungai Kakap, Busra langsung mencari sampan pengganti. Dia mengajak Iwan, kawannya. Iwan punya perahu yang ukurannya nyaris sama dengan milik Busra. Bedanya, perahu Iwan bermesin lebih prima. Haluannya pun tidak bocor sehingga air laut tidak gampang masuk.

Sekali lagi, kami harus menyusuri Sungai Kakap yang berair cokelat itu, melewati perkampungan nelayan yang terdiri atas rumah-rumah panggung dari kayu. Kami melewati kolong jembatan kayu berwarna hijau dengan hiasan lampion-lampion merah di atasnya. Di bawah kolong tersebut ada ukiran merah pada papan kayu hijau berisi nama jembatan dalam dua aksara: Latin dan Tiongkok. Namanya Qiao Xing Qi atau Jembatan Bintang Tujuh.

Selepas mulut sungai, perahu terus-menerus terangguk-angguk dipermainkan ombak selama sekitar 40 menit. Di tengah laut itu, tidak ada perahu lain yang melintas. Hanya ada kami, perahu kecil yang sedang berjuang melawan angin dingin dan empasan ombak yang terus-menerus masuk ke dalam perahu. Fotografer Jawa Pos Yuyung Abdi memilih menyembunyikan kameranya di dalam bilik perahu yang besarnya hanya cukup untuk dua orang berjongkok tersebut.

Akhirnya, sekitar 5 kilometer dari darat, bangunan kelenteng itu tampak juga. Kaki-kakinya terlihat kukuh menjejak air laut. Catnya yang biru-merah serasi dengan latar belakang langit yang sedikit mendung sore itu. Sinar matahari memunculkan siluet sepasang feng huang atau burung hong (phoenix) pada bubungan atap yang melengkung runcing. Khas kelenteng.

Sore itu, perahu kami tak bisa merapat ke dermaga di sisi utara kelenteng. Di dermaga itu sudah ada satu perahu yang parkir. Kami harus memutari kelenteng untuk mencari tempat parkir. Busra dan Iwan yang mengemudikan kapal memilih masuk lewat sisi timur, depan kelenteng. Tapi, di situ tidak ada dermaga.

“Kita harus memanjat, Bang!” ujar Iwan. Satu per satu, kami pun meraih kaki-kaki kelenteng, memanjat naik menuju lantai tempat ibadah tersebut.  (*/c5/ari/bersambung)
– See more at: http://www.jpnn.com/read/2014/01/30/213886/Berjuang-Melawan-Ombak-sebelum-Berdoa-kepada-Dewa-#sthash.CgwkoUcN.dpuf

Busra menghentikan perahu kecilnya karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Tampak Kelenteng Dharma Bakti di kejauhan. Sendiri di tengah laut. Foto: DOAN WIDHIANDONO/JAWA POS/JPNN.com
Busra menghentikan perahu kecilnya karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Tampak Kelenteng Dharma Bakti di kejauhan. Sendiri di tengah laut. Foto: DOAN WIDHIANDONO/JAWA POS/JPNN.com

Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, punya Xiao Yi Shen Tang atau Kelenteng Dharma Bakti. Menariknya, tempat ibadah itu terapung di tengah laut, sekitar 5 kilometer dari darat. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO dan fotografer YUYUNG ABDI singgah di kelenteng tersebut pekan lalu.

BUSRA tiba-tiba mengerem laju sampan kecilnya. Dia harus mandek lantaran “jalan” di depannya begitu bergelombang. Ya, gelombang dalam arti yang sebenarnya. Gulungan air di tepi Laut Natuna “salah satu “kaki” Laut Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan Pulau Kalimantan” terus-menerus menerjang sampan yang kami tumpangi itu.

Gelombangnya memang tak terlampau tinggi. Hanya setengah sampai satu meter. Namun, hantamannya sudah cukup untuk membuat biduk Busra “sampan bermotor selebar sekitar satu meter dengan panjang tak sampai empat meter” mengangguk-angguk liar seperti kuda lepas kendali.

Sembari berpegangan pada atap perahu yang tingginya hanya seperut, Busra meniti lambung sampan menjumpai kami yang sedang meringkuk di ujung buritan. Setengah berseru, pria kecil berkumis tipis dengan tubuh liat tersebut berkata kepada Hariyadi, fotografer Pontianak Post (Jawa Pos Group) yang menyertai perjalanan kami. “Ndak bisa maju! Air terus masuk!” Logat melayunya sangat kental.

Kami pun memilih untuk tidak mempertaruhkan satu-satunya nyawa. Sampan kecil itu pun balik kucing menuju muara Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, tempat kami meninggalkan daratan. Muara itu terletak sekitar 30 kilometer di selatan Kota Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Seperempat jam sebelumnya, kami sempat mendapat tatapan heran para nelayan di muara tersebut. Mereka heran dengan niat kami mencari perahu sewaan untuk menuju Xiao Yi Shen Tang di tengah laut.

“Mana ada orang ke laut jam segini” Ombaknya ngeri. Lihat, semua nelayan ikat perahu di sini,” ujar seseorang yang bertubuh tambun dan berkacamata tebal.

Hari itu Selasa (21/1) sekitar pukul 16.00. “Biasanya orang ke pek kong (sebutan untuk kelenteng, Red) itu pagi,” tambah nelayan tersebut.

Memang, hanya Busra yang mau menjawab tantangan kami, mengantar ke pek kong saat sore, ketika ombak mulai tidak bersahabat. Meskipun, perahu kecilnya terbukti tidak berdaya memenggal bukit-bukit ombak Laut Natuna.

Setiba kembali di Sungai Kakap, Busra langsung mencari sampan pengganti. Dia mengajak Iwan, kawannya. Iwan punya perahu yang ukurannya nyaris sama dengan milik Busra. Bedanya, perahu Iwan bermesin lebih prima. Haluannya pun tidak bocor sehingga air laut tidak gampang masuk.

Sekali lagi, kami harus menyusuri Sungai Kakap yang berair cokelat itu, melewati perkampungan nelayan yang terdiri atas rumah-rumah panggung dari kayu. Kami melewati kolong jembatan kayu berwarna hijau dengan hiasan lampion-lampion merah di atasnya. Di bawah kolong tersebut ada ukiran merah pada papan kayu hijau berisi nama jembatan dalam dua aksara: Latin dan Tiongkok. Namanya Qiao Xing Qi atau Jembatan Bintang Tujuh.

Selepas mulut sungai, perahu terus-menerus terangguk-angguk dipermainkan ombak selama sekitar 40 menit. Di tengah laut itu, tidak ada perahu lain yang melintas. Hanya ada kami, perahu kecil yang sedang berjuang melawan angin dingin dan empasan ombak yang terus-menerus masuk ke dalam perahu. Fotografer Jawa Pos Yuyung Abdi memilih menyembunyikan kameranya di dalam bilik perahu yang besarnya hanya cukup untuk dua orang berjongkok tersebut.

Akhirnya, sekitar 5 kilometer dari darat, bangunan kelenteng itu tampak juga. Kaki-kakinya terlihat kukuh menjejak air laut. Catnya yang biru-merah serasi dengan latar belakang langit yang sedikit mendung sore itu. Sinar matahari memunculkan siluet sepasang feng huang atau burung hong (phoenix) pada bubungan atap yang melengkung runcing. Khas kelenteng.

Sore itu, perahu kami tak bisa merapat ke dermaga di sisi utara kelenteng. Di dermaga itu sudah ada satu perahu yang parkir. Kami harus memutari kelenteng untuk mencari tempat parkir. Busra dan Iwan yang mengemudikan kapal memilih masuk lewat sisi timur, depan kelenteng. Tapi, di situ tidak ada dermaga.

“Kita harus memanjat, Bang!” ujar Iwan. Satu per satu, kami pun meraih kaki-kaki kelenteng, memanjat naik menuju lantai tempat ibadah tersebut.  (*/c5/ari/bersambung)
– See more at: http://www.jpnn.com/read/2014/01/30/213886/Berjuang-Melawan-Ombak-sebelum-Berdoa-kepada-Dewa-#sthash.CgwkoUcN.dpuf

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/