25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Anak Pintar yang Gagal Meraih Cita-cita

Suyadi, Abang Becak yang Tersohor hingga ke Pulau Jawa (1)

Ketika sejumlah montir motor tua di Jakarta lempar handuk menghidupkan motor tua merek ZAP rakitan tahun 1928, milik seorang dewan penasihat kepresidenan, Suyadi seorang penarik becak asal Kota Siantar bisa menyalakan motor pabrikan England bermesin 500 cc itu.

Alvin Nasution, Pematangsiantar

Sabtu (4/6) siang itu di pangkalan becak di Jalan Bandung persimpangan Jalan Sutomo, Pematangsiantar empat unit becak motor merek Birmingham Small Arms (BSA) parkir memanjang sesuai trip. Pengemudi yang tripnya paling depan berondok di dalam becak, menghindari sengatan mentari. Sedang pengemudi lain memilih main catur di warung bakso tepat di seberang sebelah kiri pangkalan yang berada di tengah kota itu.

Di tengah hari yang gerah itu, seorang gadis Tionghoa keluar dari dalam toko. Setengah menjerit gadis berwajah cantik itu memanggil si abang becak. “Cak, becak!” katanya,  Abang becak yang tripnya paling depan ke luar dari persembunyian. Sekali engkol, motor tua pabrikan England rakitan tahun 1954 itu menyalak, lalu si abang yang rambutnya sudah mulai memutih mendekat, mengangkut si gadis yang entah ke mana tujuannya.

Lelaki bertubuh kurus itu adalah Suyadi, akrab dipanggil Pak atau Lek Yadi. Usianya 54 tahun. Selain menarik becak, pria murah senyum ini adalah montir motor tua. Dia sudah menukangi motor tua berbagai merek seperti Harley Davidson, BSA, Ariel, BMW, DKW, Triumph, Jawa, Royal Enfield, AJS, sampai ZAP. Motor-motor itu buatan Eropa, Inggris, Amerika, Jerman dan Republik Ceko. Tapi Ayah 4 anak ini lebih dikenal sebagai montir spesialis BSA.
Pengalaman Yadi sebagai montir bermula di tahun 1965. Saat itu dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Berawal dari budaya keluarga yang menempatkan anak-anaknya ngikut ke rumah saudara yang lebih mapan, Yadi kecil pun tinggal di bengkel Gema Karya milik abang sepupunya bernama Rohim di Jalan Tombang, Pematangsiantar. Gema Karya kala itu menjadi salah satu bengkel motor besar merek BSA, Ariel, dan Triumph, yang telah dikomersilkan menjadi becak motor.

Sebagai pekerjaan awal, Yadi ditugasi perbaikan yang ringan ringan saja membalik rantai, nyuci mesin, dan nyekur klep. Paling jago memahat lempengan besi menjadi bundar untuk dijadikan piringan klos. Setelah itu dipasang fiber di sekeliling piringan tadi. Piringan klos memang terpaksa ‘diakali’ karena sparepart motor BSA tak ada dijual pascaberhenti produksinya pabrik motor terbesar di Inggris Raya itu akibat bangkrut. Saham BSA kemudian dibeli perusahaaan motor Triumph dan terakhir memroduksi BSA tahun 1979.

“Aku membengkel setelah pulang sekolah,” kata anak ke tiga dari enam bersaudara ini saat ditemui di pangkalan becak sekembalinya mengantar gadis Tionghoa berwajah cantik tadi.

Praktis, Yadi kecil lebih banyak menghabiskan waktu di bengkel ketimbang bermain bersama anak seusianya. Namun bukan tanpa hasil, setiap Yadi membalik rantai, upah seratus rupiah masuk ke kantongnya.
“Dulu, di tahun 80-an seratus rupiah sama dengan 10 tumbak beras,” kata lelaki yang lahir di Rumah Sakit Laras, Kecamatan Dolok Batunanggar, Kabupaten Simalungun itu.

Urusan memperbaiki mesin, Yadi belajar banyak dari abang sepupunya, Rohim. Rohim sendiri tertular ilmu dari paman seorang veteran angkatan darat di masa penjajahan Belanda. Nah, kala Belanda dipukul mundur tentara kita, pasukan bermata biru itu banyak meninggalkan mobil dan motor.

Kemudian melalui pertimbangan bisnis, paman bang Rohim menjadi montir. Tapi karena usia sang paman semakin menua, Rohim melanjutkan bisnis perbengkelan itu, yang kemudian memasang merek Gema Karya di rumahnya. Sekarang Rohim sudah menua. Bengkel Gema Karya sudah diserahkelolakan kepada salah seorang anak lelakinya, Zulfan (39).

“Sebelumnya ayah juga pernah bekerja di bengkel dinamo dan bengkel las,” kata Zulpan ditemui di warung kopi Kok Tong.

“Bang Rohim juga menambah ilmu dengan les Bahasa Inggris agar semakin memaknai kontruksi mesin yang suku cadangnya memang berbahasa Inggris. Kemudian saya belajar dari Bang Rohim,” terangnya.
Yadi tak kesulitan mempelajari kontruksi mesin motor yang terkenal tangguh di segala medan itu. Otaknya memang encer. Di bangku sekolah dasar, gelar juara satu tak pernah berpindah tangan darinya. Prestasi ini berlanjut ke bangku SMP.

“Teman Pak Yadi itu bernama Sugiono. Katanya, waktu SMP, Pak Yadi memang paling cerdas. Jago pelajaran aljabar dan ilmu ukur. Kalau ujian, begitu soal dibagi, tak perlu waktu lama bagi Pak Yadi menjawab semua soal. Hebatnya jawabannya semua benar,” kata Supono (40), seorang polisi yang pernah bertemu teman sekolah Yadi saat di bangku SMP.

Polisi asal Palembang yang sejak dipindahtugaskan ke Siantar sudah memiliki beberapa motor BSA. Harga paling murah untuk satu unit motor BSA yang kondisinya  sekira 50 persen bagus setara dengan motor baru pabrikan Jepang. Jika kondisinya di atas 50 persen bagus, harga minimal Rp40 juta hingga Rp100 juta.

Hebatnya lagi, Yadi kecil hanya dua tahun di bangku SMP. “Mungkin guru guru anggap saya pintar sehingga lebih duluan tamat dari teman-teman,” kata pecandu kopi yang kerap nongkrong di warung kopi Kok Tong, yang juga menjadi pangkalan becak. Di bangku SMA Yadi semakin menguasai mesin motor besar. Bila di malam hari ada becak yang rusak, Yadi dipanggil.

“Sampai bangku SMA mudah-mudahan semua kerusakan mesin sudah aku kuasai. Kalau dulu melemer peston masih manual, bloknya dibais, sokar dan peston dipusing agar licin, kemudian kor as-nya digosok pakai tali goni. Kerjanya membosankan karena memakan waktu sampai dua hari. Sekarang sudah ada mesin bubut, jadi rampungnya lebih cepat,” sambungnya.

Ketiadaan bengkel yang buka malam hari menjadi berkah bagi Yadi. Selain menambah pengalaman, Yadi tentu mendapat uang. Uang itu lah yang membiayai seluruh kebutuhan sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Tapi soal upah, Yadi mengaku tak memasang tarif laiknya bengkel.

“Sama-sama senang saja. Bahkan terkadang ada juga yang ‘nembak’ karena memang belum dapat penumpang. Ya saya pasrah saja. Tapi setelah dapat duit ada yang tak mau bayar utang. Begitupun, kalau becaknya rusak lagi, saya juga yang dipanggil. Tapi saya tak kapok karena saya tahu kesulitan mereka,” kenang Yadi.

Sampai tamat SMA Yadi tinggal di rumah abangnya Rohim. Tapi setelah lulus SMA, Yadi tak ingin menjadikan montir sebagai jalan hidup. Dia lebih tertarik bekerja di kantoran-tak jorok karena oli, pakai seragam dengan rambut klimis.  Yadi pun melayangkan lamaran pertamanya ke Bank Indonesia. “Setelah testing saya dinyatakan tak lulus,” kenang Yadi.

Yadi tak putus asa. Lelaki yang dulu gemar bermain voli ini kembali melamar ke Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tapi lagi lagi dewi fortuna belum berpihak kepadanya.
“Terakhir saya melamar ke PT Inalum. Sampai tes terakhir, pelamar yang tersisa tinggal 4 orang, termasuk saya. Tapi kemudian saya juga tak lulus,” kenangnya lagi.

Yadi tetap tak patah arang. Dia memilih melanjutkan studi ke Universitas Sumatera Utara (USU). Dipilihnya Fakultas Ekonomi. Karena memang berotak encer Yadi diterima di universitas kebanggaan orang Medan itu.
“Setiap bangun pagi aku selalu belajar. Itu diajarkan kakek agar pelajaran yang akan diajarkan guru di pagi hari semakin bisa dicerna,” katanya memberi tips belajar yang baik.

Tapi setelah masuk bangku universitas, Yadi malah pusing karena harus membiayai sendiri kuliahnya. Maklum, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai kerani di perkebunan swasta.
“Sepulang kuliah aku bekerja di bengkel cat atau jadi penambal ban,” ujarnya tanpa malu-malu.
Lagi lagi keberuntungan tak berpihak kepada Yadi. Setelah satu setengah tahun kuliah, dia harus mundur dari bangku kuliah karena ketiadaan biaya. Yadi frustrasi dan pulang ke Kota Siantar di tahun 1977, lalu kembali bekerja di bengkel abangnya. Namun ada perubahan kontras dari diri Yadi. Dia jadi suka menenggak minuman keras, mulai merokok padahal sebelumnya dia anti asap rokok. (*/bersambung)

Suyadi, Abang Becak yang Tersohor hingga ke Pulau Jawa (1)

Ketika sejumlah montir motor tua di Jakarta lempar handuk menghidupkan motor tua merek ZAP rakitan tahun 1928, milik seorang dewan penasihat kepresidenan, Suyadi seorang penarik becak asal Kota Siantar bisa menyalakan motor pabrikan England bermesin 500 cc itu.

Alvin Nasution, Pematangsiantar

Sabtu (4/6) siang itu di pangkalan becak di Jalan Bandung persimpangan Jalan Sutomo, Pematangsiantar empat unit becak motor merek Birmingham Small Arms (BSA) parkir memanjang sesuai trip. Pengemudi yang tripnya paling depan berondok di dalam becak, menghindari sengatan mentari. Sedang pengemudi lain memilih main catur di warung bakso tepat di seberang sebelah kiri pangkalan yang berada di tengah kota itu.

Di tengah hari yang gerah itu, seorang gadis Tionghoa keluar dari dalam toko. Setengah menjerit gadis berwajah cantik itu memanggil si abang becak. “Cak, becak!” katanya,  Abang becak yang tripnya paling depan ke luar dari persembunyian. Sekali engkol, motor tua pabrikan England rakitan tahun 1954 itu menyalak, lalu si abang yang rambutnya sudah mulai memutih mendekat, mengangkut si gadis yang entah ke mana tujuannya.

Lelaki bertubuh kurus itu adalah Suyadi, akrab dipanggil Pak atau Lek Yadi. Usianya 54 tahun. Selain menarik becak, pria murah senyum ini adalah montir motor tua. Dia sudah menukangi motor tua berbagai merek seperti Harley Davidson, BSA, Ariel, BMW, DKW, Triumph, Jawa, Royal Enfield, AJS, sampai ZAP. Motor-motor itu buatan Eropa, Inggris, Amerika, Jerman dan Republik Ceko. Tapi Ayah 4 anak ini lebih dikenal sebagai montir spesialis BSA.
Pengalaman Yadi sebagai montir bermula di tahun 1965. Saat itu dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Berawal dari budaya keluarga yang menempatkan anak-anaknya ngikut ke rumah saudara yang lebih mapan, Yadi kecil pun tinggal di bengkel Gema Karya milik abang sepupunya bernama Rohim di Jalan Tombang, Pematangsiantar. Gema Karya kala itu menjadi salah satu bengkel motor besar merek BSA, Ariel, dan Triumph, yang telah dikomersilkan menjadi becak motor.

Sebagai pekerjaan awal, Yadi ditugasi perbaikan yang ringan ringan saja membalik rantai, nyuci mesin, dan nyekur klep. Paling jago memahat lempengan besi menjadi bundar untuk dijadikan piringan klos. Setelah itu dipasang fiber di sekeliling piringan tadi. Piringan klos memang terpaksa ‘diakali’ karena sparepart motor BSA tak ada dijual pascaberhenti produksinya pabrik motor terbesar di Inggris Raya itu akibat bangkrut. Saham BSA kemudian dibeli perusahaaan motor Triumph dan terakhir memroduksi BSA tahun 1979.

“Aku membengkel setelah pulang sekolah,” kata anak ke tiga dari enam bersaudara ini saat ditemui di pangkalan becak sekembalinya mengantar gadis Tionghoa berwajah cantik tadi.

Praktis, Yadi kecil lebih banyak menghabiskan waktu di bengkel ketimbang bermain bersama anak seusianya. Namun bukan tanpa hasil, setiap Yadi membalik rantai, upah seratus rupiah masuk ke kantongnya.
“Dulu, di tahun 80-an seratus rupiah sama dengan 10 tumbak beras,” kata lelaki yang lahir di Rumah Sakit Laras, Kecamatan Dolok Batunanggar, Kabupaten Simalungun itu.

Urusan memperbaiki mesin, Yadi belajar banyak dari abang sepupunya, Rohim. Rohim sendiri tertular ilmu dari paman seorang veteran angkatan darat di masa penjajahan Belanda. Nah, kala Belanda dipukul mundur tentara kita, pasukan bermata biru itu banyak meninggalkan mobil dan motor.

Kemudian melalui pertimbangan bisnis, paman bang Rohim menjadi montir. Tapi karena usia sang paman semakin menua, Rohim melanjutkan bisnis perbengkelan itu, yang kemudian memasang merek Gema Karya di rumahnya. Sekarang Rohim sudah menua. Bengkel Gema Karya sudah diserahkelolakan kepada salah seorang anak lelakinya, Zulfan (39).

“Sebelumnya ayah juga pernah bekerja di bengkel dinamo dan bengkel las,” kata Zulpan ditemui di warung kopi Kok Tong.

“Bang Rohim juga menambah ilmu dengan les Bahasa Inggris agar semakin memaknai kontruksi mesin yang suku cadangnya memang berbahasa Inggris. Kemudian saya belajar dari Bang Rohim,” terangnya.
Yadi tak kesulitan mempelajari kontruksi mesin motor yang terkenal tangguh di segala medan itu. Otaknya memang encer. Di bangku sekolah dasar, gelar juara satu tak pernah berpindah tangan darinya. Prestasi ini berlanjut ke bangku SMP.

“Teman Pak Yadi itu bernama Sugiono. Katanya, waktu SMP, Pak Yadi memang paling cerdas. Jago pelajaran aljabar dan ilmu ukur. Kalau ujian, begitu soal dibagi, tak perlu waktu lama bagi Pak Yadi menjawab semua soal. Hebatnya jawabannya semua benar,” kata Supono (40), seorang polisi yang pernah bertemu teman sekolah Yadi saat di bangku SMP.

Polisi asal Palembang yang sejak dipindahtugaskan ke Siantar sudah memiliki beberapa motor BSA. Harga paling murah untuk satu unit motor BSA yang kondisinya  sekira 50 persen bagus setara dengan motor baru pabrikan Jepang. Jika kondisinya di atas 50 persen bagus, harga minimal Rp40 juta hingga Rp100 juta.

Hebatnya lagi, Yadi kecil hanya dua tahun di bangku SMP. “Mungkin guru guru anggap saya pintar sehingga lebih duluan tamat dari teman-teman,” kata pecandu kopi yang kerap nongkrong di warung kopi Kok Tong, yang juga menjadi pangkalan becak. Di bangku SMA Yadi semakin menguasai mesin motor besar. Bila di malam hari ada becak yang rusak, Yadi dipanggil.

“Sampai bangku SMA mudah-mudahan semua kerusakan mesin sudah aku kuasai. Kalau dulu melemer peston masih manual, bloknya dibais, sokar dan peston dipusing agar licin, kemudian kor as-nya digosok pakai tali goni. Kerjanya membosankan karena memakan waktu sampai dua hari. Sekarang sudah ada mesin bubut, jadi rampungnya lebih cepat,” sambungnya.

Ketiadaan bengkel yang buka malam hari menjadi berkah bagi Yadi. Selain menambah pengalaman, Yadi tentu mendapat uang. Uang itu lah yang membiayai seluruh kebutuhan sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Tapi soal upah, Yadi mengaku tak memasang tarif laiknya bengkel.

“Sama-sama senang saja. Bahkan terkadang ada juga yang ‘nembak’ karena memang belum dapat penumpang. Ya saya pasrah saja. Tapi setelah dapat duit ada yang tak mau bayar utang. Begitupun, kalau becaknya rusak lagi, saya juga yang dipanggil. Tapi saya tak kapok karena saya tahu kesulitan mereka,” kenang Yadi.

Sampai tamat SMA Yadi tinggal di rumah abangnya Rohim. Tapi setelah lulus SMA, Yadi tak ingin menjadikan montir sebagai jalan hidup. Dia lebih tertarik bekerja di kantoran-tak jorok karena oli, pakai seragam dengan rambut klimis.  Yadi pun melayangkan lamaran pertamanya ke Bank Indonesia. “Setelah testing saya dinyatakan tak lulus,” kenang Yadi.

Yadi tak putus asa. Lelaki yang dulu gemar bermain voli ini kembali melamar ke Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tapi lagi lagi dewi fortuna belum berpihak kepadanya.
“Terakhir saya melamar ke PT Inalum. Sampai tes terakhir, pelamar yang tersisa tinggal 4 orang, termasuk saya. Tapi kemudian saya juga tak lulus,” kenangnya lagi.

Yadi tetap tak patah arang. Dia memilih melanjutkan studi ke Universitas Sumatera Utara (USU). Dipilihnya Fakultas Ekonomi. Karena memang berotak encer Yadi diterima di universitas kebanggaan orang Medan itu.
“Setiap bangun pagi aku selalu belajar. Itu diajarkan kakek agar pelajaran yang akan diajarkan guru di pagi hari semakin bisa dicerna,” katanya memberi tips belajar yang baik.

Tapi setelah masuk bangku universitas, Yadi malah pusing karena harus membiayai sendiri kuliahnya. Maklum, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai kerani di perkebunan swasta.
“Sepulang kuliah aku bekerja di bengkel cat atau jadi penambal ban,” ujarnya tanpa malu-malu.
Lagi lagi keberuntungan tak berpihak kepada Yadi. Setelah satu setengah tahun kuliah, dia harus mundur dari bangku kuliah karena ketiadaan biaya. Yadi frustrasi dan pulang ke Kota Siantar di tahun 1977, lalu kembali bekerja di bengkel abangnya. Namun ada perubahan kontras dari diri Yadi. Dia jadi suka menenggak minuman keras, mulai merokok padahal sebelumnya dia anti asap rokok. (*/bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/