MEDAN-
Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Mawarli Harahap, Guru besar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK-USU) Medan. Pria berusia 81 tahun ini sebelumnya didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan surat palsu atas sertifikat tanah di Jalan Prof HM Yamin No 45 Kelurahan Wek III Padangsidimpuan.
Majelis hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan penipuan dalam penggunaan surat tanah palsu seluas 2000 hektare. Sebelumnya Mawarli dituntut kurungan 3 bulan, dengan 6 bulan masa percobaan.
Majelis hakim yang diketuai oleh Kawit Rianto menyimpulkan dari fakta-fakta persidangan, terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak penipuan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa penuntut umum.
Menanggapi atas vonis bebas ini, Mawarli yang duduk di kursi roda mengatakan dia sudah berkeyakinan akan dibebaskan karena menurutnya kebenaran tak terkalahkan. Meski dia beberapa kali digugat secara perdata maupun pidana. “Kebenaran pasti tak terkalahkan. Surat itu asli. Lihat saja tuduhan itu tidak terbukti,” ucapnya dengan terbata-bata, Selasa (23/9)
Pada sidang sebelumnya jaksa penuntut mendakwa Prof Marwali melanggar pasal 263 ayat (2) KUHPidana dan meminta majelis hakim memvonis pria tua itu dengan kurungan 3 bulan, dengan 6 bulan masa percobaan. Kasus ini berawal saat Prof Marwali mengklaim tanah seluasa 2000 hektare sebagai miliknya yang didapat dari warisan keluarga. Namun, tanah tersebut tanpa sepengetahuannya telah dijual ke Hj Rosmawar Dalimuthe.
Dia membawa kasus ini ke pengadilan daerah setempat. Kasus perdata ini berlanjut ke Mahkamah Agung dengan keputusan memenangkan klaim Prof Marwali. Perebutan tanah kembali mengemuka ketika Hj Rosmawar melaporkan dugaan penggunaan surat tanah palsu ke Poldasu.
Sementara, Penasihat hukum terdakwa, Syafaruddin Hasibuan menilai dakwaan JPU itu disusun secara tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga patut dinyatakan batal demi hukum. “Karena dalam dakwaan JPU hanya menguraikan tentang penulisan nama orang Abdul Hakim yang menurut JPU harus ditulis Adoel Hakim, dan istilah f 600 (enam ratus roepiah), menurut JPU harus diartikan enam ratoes gulden. Selain itu uraian dakwaan JPU tidak menyebutkan hasil pemeriksaan fisik (bahan kertas yang digunakan dan tinta) dari surat yang diduga palsu itu secara Laboratorium forensik,” ucapnya.
Sementara pengacara Hj Rosmawar Dalimunte, M Hatta SH yang mengadukan penggunaan surat palsu menyatakan bahwa setelah diteliti di Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Unimed bahwa surat yang diajukan oleh terdakwa adalah palsu. “Dari surat keterangan mulai tahun 2004 dan 2009 yang diungkapkan oleh Lurah Wek III Padangsidimpuan, Landon Nasution menyatakan bahwa nama terdakwa tidak pernah tercatat atau terdaftar dalam memiliki tanah dan tidak pernah bertempat tinggal di Jalan Prof HM Yamin No 45 Kelurahan Wek III Padangsidimpuan,” jelasnya (far)