JAKARTA – Tenggat pemindahtanganan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tinggal sebulan lagi. Namun hingga kini pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium (NAA) belum juga meraih kata sepakat terkait nilai buku. Namun Menteri Perindustrian MS Hidayat optimistis proses pengambilalihan bakal segera selesai. Pihak Jepang telah mengirimkan tim khusus ke Indonesia.
“Mereka mengirimkan tim khusus selama dua minggu ini. Tim itu secara maraton berunding dengan tim dari Indonesia. Itu artinya mereka ingin ini cepat diselesaikan dan proses kesepakatannya bisa berjalan smooth,” tutur Hidayat.
Jika kesepakan belum bisa disepakati hingga 1 November, sesuai dengan master agreement, Inalum langsung menjadi milik Indonesia. Pemerintah Indonesia bakal membayar sesuai dengan harga yang diperhitungkan dan menempatkan selisih nilai buku di escrow account. Sedangkan penyelesaian kesepakatannya akan diserahkan ke pihak arbitrase.
“Yang penting 1 November Inalum 100 persen milik Indonesia. Setelah itu akan ada proses konsolidasi internal dan melakukan perencanaan pengembangan. Seiring proses itu berjalan kami juga mengikuti proses arbitrase jika memang itu ditempuh,” ujarnya.
Hidayat masih berharap penyelesaian Inalum bisa diselesaikan secara bilateral. Sebab jika sampai dibawa ke arbitrase, akan memerlukan proses yang panjang. Hidayat menambahkan, saat ini pihaknya masih belum memiliki rencana pengembangan Inalum secara detail. Misalnya, mengenai kepemilikan saham. Dia mengaku saat ini ada enam pihak yang berniat untuk ikut memiliki saham Inalum. Namun saat ini pemerintah belum memutuskannya. Dia berkata, hal itu bakal dibahas secara internal setelah proses pengambil alihan rampung.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, hingga saat ini kedua belah pihak masih memegang perhitungan nilai buku masing-masing. Selisih nilai buku tersebut sangat besar. Dia menyebutkan, pihak NAA menginginkan sekitar USD 650 juta. Sedangkan Indonesia USD 390 juta. Selisih itu disebabkan oleh perbedaan cara perhitungan antara pemakaian nilai buku sebelum dan sesudah revaluasi aset. Pemerintah Indonesia menghitung nilai buku sebelum dilakukan penilaian kembali aset. Sedangkan pihak NAA menghendaki nilai buku setelah revaluasi. (uma/sof)
JAKARTA – Tenggat pemindahtanganan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tinggal sebulan lagi. Namun hingga kini pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium (NAA) belum juga meraih kata sepakat terkait nilai buku. Namun Menteri Perindustrian MS Hidayat optimistis proses pengambilalihan bakal segera selesai. Pihak Jepang telah mengirimkan tim khusus ke Indonesia.
“Mereka mengirimkan tim khusus selama dua minggu ini. Tim itu secara maraton berunding dengan tim dari Indonesia. Itu artinya mereka ingin ini cepat diselesaikan dan proses kesepakatannya bisa berjalan smooth,” tutur Hidayat.
Jika kesepakan belum bisa disepakati hingga 1 November, sesuai dengan master agreement, Inalum langsung menjadi milik Indonesia. Pemerintah Indonesia bakal membayar sesuai dengan harga yang diperhitungkan dan menempatkan selisih nilai buku di escrow account. Sedangkan penyelesaian kesepakatannya akan diserahkan ke pihak arbitrase.
“Yang penting 1 November Inalum 100 persen milik Indonesia. Setelah itu akan ada proses konsolidasi internal dan melakukan perencanaan pengembangan. Seiring proses itu berjalan kami juga mengikuti proses arbitrase jika memang itu ditempuh,” ujarnya.
Hidayat masih berharap penyelesaian Inalum bisa diselesaikan secara bilateral. Sebab jika sampai dibawa ke arbitrase, akan memerlukan proses yang panjang. Hidayat menambahkan, saat ini pihaknya masih belum memiliki rencana pengembangan Inalum secara detail. Misalnya, mengenai kepemilikan saham. Dia mengaku saat ini ada enam pihak yang berniat untuk ikut memiliki saham Inalum. Namun saat ini pemerintah belum memutuskannya. Dia berkata, hal itu bakal dibahas secara internal setelah proses pengambil alihan rampung.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, hingga saat ini kedua belah pihak masih memegang perhitungan nilai buku masing-masing. Selisih nilai buku tersebut sangat besar. Dia menyebutkan, pihak NAA menginginkan sekitar USD 650 juta. Sedangkan Indonesia USD 390 juta. Selisih itu disebabkan oleh perbedaan cara perhitungan antara pemakaian nilai buku sebelum dan sesudah revaluasi aset. Pemerintah Indonesia menghitung nilai buku sebelum dilakukan penilaian kembali aset. Sedangkan pihak NAA menghendaki nilai buku setelah revaluasi. (uma/sof)