Menelusuri Jalan Tol termahal di Dunia yang Ada di Jepang (2-habis)
Meski tarifnya mahal, jalan tol di Jepang benar-benar bebas hambatan. Selain itu, jalan tol di sana juga sangat membantu penggunanya dalam mencari tujuan. Berikut lanjutan tulisan Imawan Mashuri, CEO JPMC (Jawa Pos Multimedia Corp), induk seluruh TV grup Sumut Pos, menelusuri jarak 1600 km di sela tugasnya menemui tv-tv partner di Jepang selama 9 hari.
TEROWONGAN maupun sungai-sungai dan jembatan, juga gampang dikenali di Jepang. Semua terukur, sampai luasannya. Dan terdata di GPS. Itu sebabnya membuat perluasan tidak mudah karena harus melewati prosedur mengubah data dan peraturan. Pemilik pabrik pemasok komponen alat berat komatsu, Tatebe Kanjiro di Kanazawa Selatan propinsi Ishikawa, memilih akan menghibahkan mesin-mesinnya saja ke melewati prosedur mengubah data dan peraturan.
Pemilik pabrik pemasok komponen alat berat komatsu, Tatebe Kanjiro di Kanazawa Selatan propinsi Ishikawa, memilih akan menghibahkan mesin-mesinnya saja ke Biru tua, adalah milik propinsi; agak mahal jaraknya lebih dekat, dan bertanda hijau ini yang termahal, jaraknya pendek, milik dan dikelola oleh daerah. Ketika lepas dari tol di Kochi menyeberangi pulau kecil Naruto yang terdapat kota Awaji -seperti Bali kecil yang terkenal dengan udangnya- jaraknya kirakira hanya 8 km, tarif tolnya 1800 yen, setara Rp. 180 ribu.
Ini tarif setelah kenaikan. Tol seperti ini sambung menyambung, berganti-ganti warna yang menandakan ganti wilayah, dan kalau kita tidak keluar, terus, maka lihat saja di palang pintu otomatisnya, tarifnya muncul. Kecepatan melewati tiap pintu tol adalah 20 km/jam, palang pintunya membuka otomatis, dengan kecepatan tidak sampai satu detik. Melewati pintu tol otomatis, tidak perlu membuka kaca.
Dari transponder tranducer yang terangkai dengan monitor di dalam mobil cukup untuk semuanya. Karena alat itu menunjukkan siapa pemiliknya dan berapa uangnya di bank yang disisihkan untuk bayar tol. Uang itu terdebet langsung dan otomatis terkurangkan untuk bayar tol. Enaknya “berlangganan” seperti ini, selain cepat, juga didiskon 30 persen.
Bisa juga yang langsung bayar, pengendara harus keluar ke jalur lain bertanda ETC (electronic true card). Cara ini lebih mahal 30 persen karena di sana memerlukan petugas jaga yang harus melayani. Menyetir mobil pun, di tol jepang tidak merasa lelah.
Selain jalur dan kecepatan selalu terukur dalam panduan GPS, jalannya pun terasa ikut menyetir, misalnya melepas setir untuk jarak yang lumayan panjang, mobil —yang spooring balancingnya bagus— tidak akan berbelok atau pindah jalur sendiri karena jalannya rata. Untuk tikungan pun, jalannya digarap sedemikian rupa sehingga mobil seperti bisa melaju sendiri mengikuti jalan. Hampir tidak bisa ditemui jalan menanjak atau menurun.
Mereka memilih membuat terowongan, menembus gunung dan bebukitan ketimbang memaksa jalan menanjak atau menurun. Rest areanya juga sangat memadai. Bersih, tentu saja, karena itu trade mark mereka. Klosetnya, tinggal tombol, semua menggunakan semprot otomatis dengan air hangat. Biliknya berjajar puluhan. Tersedia air minum dan teh hangat.
Restoran dan supermarket yang dibolehkan berjualan, terstandar. Beberapa di antaranya menggelar dagangan dari olahan hasil bumi setempat. Karena harus mendatangi sejumlah tempat di sejumlah kota yang berjauhan, saya berkesempatan menikmati tol yang tarifnya luar biasa mahalnya ini. Apalagi jika dibanding tarif tol Indonesia.
Saya menelusuri dari bagian tengah Jepang yaitu Osaka, terus menuju utara, agak ke barat, melewati jalur yang menghadap ke lautan pasifik, kembali ke tengah melalui jalur lain yang menghadap ke lautan baliknya yaitu Laut Jepang, terus ke selatan, menyeberang ke Pulau Shikoku, tembus ke pulau kecil Naruto, kembali ke Osaka. Total jarak yang saya tempuh dalam tujuh hari dari sembilan hari saya bertugas di jepang adalah 1997 km itu. Dari keseluruhan jarak perjalanan itu, membutuhkan 80 persen jalan tol atau sekitar 1600 km.
Kira-kira dari Surabaya menuju Jakarta lewat Selatan dan balik lagi ke Semarang melalui pantura, melewati beberapa tol negara, tol antar propinsi, serta tol daerah dan total biaya tolnya saja, 39.800 yen setara dengan Rp 4 juta. Sungguh tidak murah.
Pada awalnya masyarakat menggerutu atas kenaikan itu. Tapi pemerintah jalan terus. Penjelasan lewat semua media digencarkan. Ada count down di tv. Dan satu hari sebelum kenaikan tarif, yaitu tanggal 19 Juni, tepat hari minggu saat saya tiba di Osaka —dan memulai perjalanan ini— jalan tol sangat ramai.
Motor-motor besar di atas seribu cc ikut meramaikan bersama mobil-mobil beraneka jenis. Mereka bersama keluarga menikmati hari terakhir sebelum tarif tol naik. Rest area di bawah jembatan tol paling ramai, yaitu Setou Ohashi —yang menghubungkan Okayama di pulau Honsu dengan Kagawa di pulau Shikoku— dipadati pengunjung. Karena jembatan ini berdiri di atas selat Setou yang jaraknya 13 Km, dengan jembatan gantungnya 9,4 km dan dilatarbelakangi gunung Daisen. Mereka berfoto di sini sambil menyaksikan lalu lalang kapal-kapal berbagai ukuran.
Sesekali kereta api Sinkansen lewat. Besoknya, ketika tarif baru mulai diber lakukan, tol sepi. Tapi tiga hari kemudian tampak normal kembali. Lalu lalang mobil kembali tampak seperti biasa. Pemandangan di rest area terutama yang di bawah jembatan, hidup lagi. Di rest area jembatan Akashi Kaikyou Ohashi yang menghubungkan Awaji Shima dengan Akashi Shi di wilayah Hyogo Ken ramainya seperti di Setou Ohashi sehari sebelum tarif tol naik. Karena dari sini, dari dalam restoran royal yang lezat, tampak lekuk jembatan dan kota-kota nun di sana.
Tsuruno Keisuke, pengusaha yang banyak membantu pemagang asal Jatim bekerja di Jepang mengatakan, kenaikan tol ini memang mencekik. Tapi dia rela demi perbaikan dan kemajuan akan datang. Apalagi untuk kemanusiaan pasca bencana. Pria yang kerap ke Indonesia untuk menjembatani hubungan pengusaha antar negara ini mengaku tiap minggu mesti pergi ke Osa ka dari tempat tinggalnya di Hiroshima.
Dan pasti melewati tol sepanjang 400 km lebih sekali jalan. “Dengan fasilitas jalan dan rest area seperti ini, bolehlah. Yang penting kemudahan usaha tetap lancar,” tuturnya sambil menyeruput miso soup di royal restoran itu. Menurutnya, tol-tol di Indonesia sangat murah dan tidak kalah macetnya dengan jalan biasa. (*)