Tetap Andalkan Impor
Konsumsi tepung terigu nasional akan naik menjelang Ramadan. Selama 10 tahun terakhir, harga komoditi ini paling stabil, yakni berkisar Rp3.900-4.500 per kilogram (kg).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Fransiscus Welirang mengatakan, harga tepung terigu tidak mengikuti kenaikan harga bahan pangan lain. Selama 10 tahun terakhir, terigu tetap berada pada posisi harga antara Rp3.900-4500 per kg. Terigu cenderung lebih stabil karena semakin banyak pemain baru bermunculan setiap tahun.
“Meskipun konsumsi terigu naik 20-30 persen menjelang puasa, namun harganya tetap damai. Selama 10 tahun terakhir, harga tepung terigu paling stabil di dunia,” jelas Franky, sapaan Fransiscus di Jakarta, kemarin.
Menurut bos Bogasari itu, industri tepung terus tumbuh setiap tahun karena harga terigu lebih murah dari beras. Pembeli tepung terigu juga lebih banyak di daerah (rural) daripada di kota (urban). Karena itu, dalam waktu dekat akan ada pabrik terigu tambahan, yaitu dua pabrik di wilayah Cilegon dan satu di Madura.
“Meskipun tetap mengandalkan impor, pemain baru terus bermunculan. Impor merupakan pilihan masyarakat karena menyangkut selera. Kurang lebih ada 52 importir terigu,” tambahnya.
Konsumsi tepung terigu dalam setahun mencapai 4,6 juta ton. Tahun 2010, impor terigu mencapai 775 ribu ton. 55 persen impor berasal dari Turki. Sisanya dari Srilanka, Belgia dan Australia.
Sementara kuartal I 2011, konsumsi terigu naik 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “10 persen itu setara dengan 460 ribu ton yang artinya produksi satu pabrik,” imbuh Franky.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, total penjualan industri tepung terigu nasional sekitar Rp27 triliun per tahun. Potensi tepung terigu sangat besar karena menghasilkan produk turunan yang sangat banyak.
Terlepas dari itu, soal terigu sejatinya Indonesia tetap bergantung pada impor bahan baku terigu; gandum. Tentunya hal ini juga bergantung dengan harga internasional. Mengakali hal itu Indonesia memiliki alternatif, yakni tepung mocaf.
Tepung ini tak lain adalah tepung yang dihasilkan dari singkong. Karena itulah, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kota Medan mengajak usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mengembangkan tepung mocaf sebagai pengganti alternatif tepung terigu yang selama ini digunakan pedagang makanan ringan.
Hal ini selain harga dan pembuatannya murah dibandingkan tepung terigu juga potensial pasar besar mengingat perbedaan harga antara tepung mocaf dengan terigu sekitar Rp1500.
Kepala BKP Kota Medan Eka R Yanti Danil, Senin (4/7) lalu, menyatakan tepung mocaf memiliki prospek pengembangan yang bagus, pertama dilihat dari ketersediaan singkong sebagai bahan baku yang berlimpah sehingga kemungkinan kelangkaan produk dapat dihindari karena tidak tergantung dari impor seperti gandum.
“Kedua harga tepung mocaf relatif lebih murah dibanding dengan harga tepung terigu maupun tepung beras, sehingga biaya pembuatan produk dapat lebih rendah,” ujarnya.
Hal ini tentunya, lanjutnya, memberikan peluang bisnis yang besar bagi pengembang tepung mocaf karena hal ini dapat memberikan keuntunga tersendiri bagi industri pengolahan makanan nasional. “Jenis dan karakteristik yang hampir sama dengan terigu, namun dengan harga yang jauh lebih murah membuat tepung mocaf menjadi pilihan yang sangat menarik,” ujarnya.
Tim Teknis Dewan Ketahanan Pangan Kota Medan, Prof Posman Sibuea, menyatakan tepung Mocaf dikenal sebagai tepung singkong alternatif pengganti terigu. Di mana kata Mocaf sendiri merupakan singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang dimodifikasi.
“Tepung Mocaf memiliki karakter yang berbeda dengan tepung ubi kayu biasa dan tapioka, terutama dalam hal derajat viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut yang lebih baik,” ujarnya. (rm/jpnn/ril)