MEDAN, SUMUTPOS.CO- Setelah para tokoh adat menolak eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit di areal register 40 seluas 47.000 hektare di Kabupaten Padanglawas (Palas) dan Padanglawas Utara (Paluta), kini gelombang penolakan datang dari kepala desa (kades).
Sebanyak 61 kepala desa dari tiga Luhat; Simangambat, Ujungbatu, dan Huristak meminta kepada pemerintah pusat atau Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI agar mencari solusi terbaik terkait adanya rencana mengeksekusi lahan di Register 40 di Palas dan Paluta.
“Eksekusi bukan solusi terbaik. Kami menolak eksekusi, karena lahan 47 ribu hektare itu adalah tanah adat dan ulayat masyarakat tiga Luhat,” kata Muhammad Najib Hasibuan, yang juga diaminkan Kades Simangambatjae Lappo Hatoguhan Hasibuan, Kedes Sionggoton Hormat Nasution dan Kades Sigagan mewakili 61 kades dari tiga Luhat (Simangambat, Ujungbatu, Huristak) yang meliputi dua kabupaten Paluta dan Palas kepada wartawan, Minggu (28/6).
Adapun alasan mereka meminta menolak eksekusi dan mencari solusi terbaik mengingat mayoritas masyarakat adat di tiga Luhat hidup dan bekembang dari lahan yang dianggap sudah sejahtera. Bahkan mereka menganggap lahan tersebut merupakan tanah adat ulayat.
“Sebagai ujung tombak aparat pemerintah di tingkat paling bawah, kami telah melihat masyarakat kami hidup sejahtera setelah bermitra dengan KPKS-BH terkait kehidupan sosial, pendidikan, kesehatan, maupun terkait sarana prasarana, realitas ini harus dipertimbangkan,” kata Muhammad Najib.
Selain itu kata mereka layanan publik seperti klinik KPKS-BH gratis sudah tersedia di sana. Termasuk sarana pendidikan mulai dari PAUD, SD, hingga SMP gratis ditambah tenaga pengajar atau guru yang dibayar oleh KPKS-BH termasuk sudah mapan.
Selain itu kata Najib, masyarakat desa di 61 desa telah lama mendiami desa, menguasai, dan mengusahai secara turun temurun tanah ulayat yang saat ini diklaim Kemenhut sebagai bagian dari kawasan hutan Register 40 Padanglawas yang akan dieksekusi terkait putusan MA dalam perkara Pidana No 2642 tanggal 12 Februari 2007.
Mereka, kata Najib, bahkan menyampaikan pernyataan sikap sebagai kades sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 26 ayat (2) huruf n UU No 6 tahun 2014 tentang desa.
Tak bisa dipungkiri, kata Hormat Nasution, dengan bermitranya KPKS-BH dengan masyarakat adat tahun 1998, kehidupan masyarakat adat di tiga Luhat sudah berkecukupan jauh dari sebelumnya. Sesuai data, sejak September 2002 sampai dengan Mei 2015 masyarakat adat telah mendapat hasil kemitraan Pola Pir dari KPKS-BH sebesar Rp 357,6 Miliar.
“Saat ini, tiga anak saya sedang kuliah di universitas di Medan, bahkan anak saya dan adik saya sudah menjadi sarjana, di wisuda dua bulan yang lalu. Ini semua berkat kami kerja sama dengan KPKS-BH,” sebut Muhammad Najib.
Memang apa yang dikatakan para kepala desa itu tak bisa dipungkiri. Karena saat ini sudah ratusan anak-anak dari masyarakat adat itu menjadi sarjana, dan kini ratusan pula anak-anak masyarakat adat itu sedang kuliah di Medan menjadi sarjana. (gus/azw)