JAYAPURA, SUMUTPOS.CO – Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyebut kemungkinan adanya aktor intelektual di belakang kerusuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, saat pelaksanaan salat Idul Fitri pada Jumat pagi (17/7).
Menurut Kapolri, insiden di Tolikara adalah kasus pelanggaran hukum dan Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, penyerangan ataupun penembakan akan diselesaikan secara hukum.
Penegasan tersebut disampaikan Kapolri setelah mendapat laporan perkembangan terbaru dan melihat langsung kondisi tempat meletusnya insiden di Karubaga, ibu kota Kabupaten Tolikara, kemarin.
Kedatangan Kapolri disambut langsung oleh Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta (Pdt) Dorman Wandikbo, Kapolres, Dandim, dan unsur muspida lainnya.
Cenderawasih Pos (Grup JPNN) melaporkan, turun dari pesawat twin otter milik Trigana, Kapolri langsung meninjau lokasi insiden pembakaran. Kapolri juga menyempatkan diri melihat kondisi para warga yang mengungsi di Koramil Karubaga dan melakukan pertemuan dengan unsur muspida dan tokoh masyarakat di Tolikara.
Berdasar hasil kunjungan sekitar tiga jam tersebut, Badrodin menyimpulkan, situasi di Tolikara sudah kondusif. Hal yang perlu jadi perhatian sekarang adalah masalah pengungsi yang masih ditampung di tenda-tenda darurat di Koramil Karubaga.
Menurut Badrodin, sejauh ini kepolisian belum menetapkan tersangka terhadap pelaku yang melakukan penyerangan dan pelemparan. Tapi, sebagai penegak hukum, dia berjanji memproses pelanggaran hukum yang terjadi di Karubaga, baik pelaku pembakaran maupun penembakan.
”Jadi, saya minta semua pihak baik masyarakat, tokoh-tokoh gereja, aparat pemerintah daerah adat untuk membantu agar semuanya bisa selesai. Kemudian, ada juga intelektual yang harus kita proses secara hukum,” ungkapnya saat ditemui di ruang VIP Bandara Sentani, Jayapura, kemarin.
Menurut Kapolri, sebelas orang tertembak karena telah melakukan pelemparan dan penyerangan terhadap warga yang sedang melakukan ibadah salat Idul Fitri. Selanjutnya, pihaknya akan mengidentifikasi satu per satu.
”Sebab, ini adalah sekelompok orang. Apakah mereka teridentifikasi melakukan penyerangan itu? Masih perlu untuk dilihat lagi hasil penyelidikan nanti. Sehingga bila didapat cukup bukti, itu akan diproses secara hukum,” papar Kapolda Jawa Timur pada 2010 tersebut.
Badrodin juga mengungkapkan, dua orang yang menandatangani surat edaran yang diduga memicu aksi kerusuhan, yakni Pdt Neyus Wenda dan Marthen Jingga, juga diproses hukum. “Mereka yang menandatangani surat edaran itu sudah dimintai klarifikasi,” ujarnya.
Mengutip keterangan dari Kapolres Tolikara, Badrodin menjelaskan bahwa surat edaran dari GIDI itu sudah diklarifikasi ke mereka yang menandatangani surat edaran tersebut.
”Pada 15 Juli 2015 Kapolres Tolikara melakukan komunikasi kepada bupati dan panitia, lalu mereka meralat surat itu. Tapi, hal ini belum disampaikan secara tertulisnya, hanya komunikasi lisan. Jadi, saya lihat ada miskomunikasi di sana dan belum tersosialisasikan. Sebab, ini terputus, belum sampai kepada masyarakat,” jelas Badrodin.
Kapolri juga menjelaskan bahwa Presiden Jokowi mengharapkan adanya informasi yang jelas soal surat edaran tersebut yang merupakan pelanggaran hukum. Dengan begitu, untuk sementara ini, pihaknya akan memeriksa para saksi lebih intensif. ”Baik itu yang menandatangani surat pemberitahuan itu maupun saksi-saksi yang tertembak,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, terjadi serangan terhadap jamaah yang hendak melaksanakan salat Idul Fitri pada Jumat (17/7). Penyerangan membuat jamaah salat Id bubar. Aparat keamanan turun tangan dengan membubarkan penyerang melalui tembakan peringatan. Sayang, aksi pencegahan itu justru menimbulkan jatuh korban.
Karena marah, penyerang lantas membakar beberapa bangunan rumah dan kios yang lokasinya sangat dekat dengan masjid. Masjid yang dibangun Pemkab Tolikara itu pun ikut terbakar. Dalam upaya pengamanan, petugas menembak tiga penyerang yang tidak mengindahkan peringatan petugas.(jo/tri/c10/kim)