26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Konflik Perguruan Immanuel Medan: Harry Jonggi Bantah Tuduhan

DANIL SIREGAR/SUMUT POS DEMO: Sejumlah guru dan murid Perguruan  Immanuel melakukan aksi mogok proses belajar mengajar di depan sekolah, Jalan Slamet Riyadi Medan, Senin (27/7).  Dalam aksinya, mereka menuntut pemecatan sepihak terhadap guru yang dilakukan oleh pihak Perguruan Immanuel.
DANIL SIREGAR/SUMUT POS
DEMO: Sejumlah guru dan murid Perguruan Immanuel melakukan aksi mogok proses belajar mengajar di depan sekolah, Jalan Slamet Riyadi Medan, Senin (27/7).

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Setelah beberapa kali aksi unjukrasa dilakukan oleh sejumlah guru PKIM yang dipecat, Direktur Perguruan Kristen Immanuel Medan (PKIM), Harry Jonggi Pasaribu akhirnya mau buka suara. Jonggi membantah tuduhan sejumlah guru. Pasalnya, apa yang dituduhkan para guru tidak sesuai faktanya.”Kalau dibilangnya arogan dan semena-mena itu tidak benar. Saya menerapkan kebijakan sudah sesuai aturan yang ada,” katanya ketika ditemui Kamis (30/7) siang.

Dijelaskan Jonggi, pemeca-tan itu tidak dilakukan langsung semata-mata. Akan tetapi, ada hasil evaluasi dan penilaian seperti psikotest. Sesuai AD-ART (Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga) PMSK (Perkumpulan Membangun Sekolah-sekolah Kristen) pada pasal 39 poin 1, 2 dan 3, guru berusia 55 tahun lebihn
dapat diperpanjang selama 5 kali. Namun, untuk menghindari kecemburuan maka dilakukan tes dan hasilnya 3 lulus dan 2 tidak lulus.

Pemecatan terhadap sejumlah guru tetap tidak langsung dilakukan, tetapi melalui tahapan atau proses seperti Surat Peringatan (SP) dan sebagainya. Contohnya salah satu guru SMA, pada 25 Maret telah dilayangkan Surat Peringatan I karena tidak menjalankan tugas mengajar di kelas XII-IPA pada jam pelajaran 5 dan 6 dengan mata pelajaran Matematika. Pada jam itu juga yang bersangkutan meninggalkan sekolah tanpa seizin kepala sekolah dan kemudian tidak membuat daftar kehadiran/ finger print. Dengan poin itu, guru tetap tersebut telah melanggar Surat Direktur Perguruan No. 130/L/IM/014, tentang peningkatan disiplin jam kerja guru/ pegawai tetap PKIM. Jonggi melanjutkan, setelah memberikan surat peringatan pertama tersebut dengan harapan guru itu memperbaiki diri dan menyadari kekeliruan, ternyata sebaliknya. Pada 25 Maret itu juga, yang bersangkutan mendatangi kantor tata usaha/ wakil kepala sekolah dengan marah-marah dan memukul meja. Selain itu, mengucapkan kata-kata sangat tidak pantas bagi seorang guru atau kotor.

“Ucapan dia merupakan bentuk pelanggaran verbal yang tidak dapat kami toleransi sesuai dengan kedudukan sebagai guru tetap. Karena itu, maka diberikan SP Kedua pada 31 Maret. Sebab, perilaku itu tidak pantas dilakukan. Karenanya, diminta kepada yang bersangkutan kesediaannya untuk mencabut kata-kata yang diucapkan dan sekaligus meminta maaf kepada orang yang telah dicaci maki dengan kata-kata kotor,” ungkapnya.

Dengan dilayangkan SP Kedua itu, sambung Jonggi, guru yang bersangkutan diharapkan bisa berubah. Namun, guru itu malah arogan hingga akhirnya diambil keputusan dengan mempertimbangkan sebelumnya untuk dilakukan pemecatan.

Untuk itu, sambungnya, bagi guru yang seperti usia 55 tahun tidak perlu khawatir. Karena, usia 55 tahun menjadi kesempatan untuk menseleksi guru dengan mempertimbangkan tiga aspek, tes pihak ketiga (konsultan pendidikan) dengan bobot 30%, penilaian kerja 40% dan penilaian pribadi 30%.

“Perlu diingatkan bahwa PKIM adalah sekolah swasta yang bisa bertahan hidup bila kualitas pelayanannya selalu terjaga. Karena itu, guru harus terus menjaga kualitasnya. Untuk itu, guru-guru tertentu yang tak bisa menjaga kualitasnya merasa terusik dan melawan kebijakan. Tentu dalam hal ini saya dengan mereka tidak bisa ketemu karena berangkat dari kualitas layanan kepada anak didik, bukan dari kepentingan pribadi,” tegas Jonggi.

Dengan begitu, Jonggi menyebut semestinya usia 55 tahun bukan suatu yang harus ditakuti tetapi menjadi motivasi bagi guru-guru untuk terus menjaga dan meningkatkan performanya. “Apa yang salah dari kebijakan ini? Saya hanya menjalankan peraturan yang sudah ada dan semata-mata untuk kualitas pelayanan pendidikan,” pungkasnya.

Sementara itu, Kamis pagi sekira pukul 10.00 WIB sejumlah guru yang dipecat masih terus melakukan aksi unjuk rasa di sekolah tersebut. Tak hanya guru, siswa SMA PKIM juga ikut dalam aksi. Mereka menuntut agar Jonggi diturunkan dari jabatannya. Pasalnya, mereka menuding Jonggi melakukan pemberhentian secara sepihak terhadap sejumlah guru. (ris/ila)

DANIL SIREGAR/SUMUT POS DEMO: Sejumlah guru dan murid Perguruan  Immanuel melakukan aksi mogok proses belajar mengajar di depan sekolah, Jalan Slamet Riyadi Medan, Senin (27/7).  Dalam aksinya, mereka menuntut pemecatan sepihak terhadap guru yang dilakukan oleh pihak Perguruan Immanuel.
DANIL SIREGAR/SUMUT POS
DEMO: Sejumlah guru dan murid Perguruan Immanuel melakukan aksi mogok proses belajar mengajar di depan sekolah, Jalan Slamet Riyadi Medan, Senin (27/7).

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Setelah beberapa kali aksi unjukrasa dilakukan oleh sejumlah guru PKIM yang dipecat, Direktur Perguruan Kristen Immanuel Medan (PKIM), Harry Jonggi Pasaribu akhirnya mau buka suara. Jonggi membantah tuduhan sejumlah guru. Pasalnya, apa yang dituduhkan para guru tidak sesuai faktanya.”Kalau dibilangnya arogan dan semena-mena itu tidak benar. Saya menerapkan kebijakan sudah sesuai aturan yang ada,” katanya ketika ditemui Kamis (30/7) siang.

Dijelaskan Jonggi, pemeca-tan itu tidak dilakukan langsung semata-mata. Akan tetapi, ada hasil evaluasi dan penilaian seperti psikotest. Sesuai AD-ART (Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga) PMSK (Perkumpulan Membangun Sekolah-sekolah Kristen) pada pasal 39 poin 1, 2 dan 3, guru berusia 55 tahun lebihn
dapat diperpanjang selama 5 kali. Namun, untuk menghindari kecemburuan maka dilakukan tes dan hasilnya 3 lulus dan 2 tidak lulus.

Pemecatan terhadap sejumlah guru tetap tidak langsung dilakukan, tetapi melalui tahapan atau proses seperti Surat Peringatan (SP) dan sebagainya. Contohnya salah satu guru SMA, pada 25 Maret telah dilayangkan Surat Peringatan I karena tidak menjalankan tugas mengajar di kelas XII-IPA pada jam pelajaran 5 dan 6 dengan mata pelajaran Matematika. Pada jam itu juga yang bersangkutan meninggalkan sekolah tanpa seizin kepala sekolah dan kemudian tidak membuat daftar kehadiran/ finger print. Dengan poin itu, guru tetap tersebut telah melanggar Surat Direktur Perguruan No. 130/L/IM/014, tentang peningkatan disiplin jam kerja guru/ pegawai tetap PKIM. Jonggi melanjutkan, setelah memberikan surat peringatan pertama tersebut dengan harapan guru itu memperbaiki diri dan menyadari kekeliruan, ternyata sebaliknya. Pada 25 Maret itu juga, yang bersangkutan mendatangi kantor tata usaha/ wakil kepala sekolah dengan marah-marah dan memukul meja. Selain itu, mengucapkan kata-kata sangat tidak pantas bagi seorang guru atau kotor.

“Ucapan dia merupakan bentuk pelanggaran verbal yang tidak dapat kami toleransi sesuai dengan kedudukan sebagai guru tetap. Karena itu, maka diberikan SP Kedua pada 31 Maret. Sebab, perilaku itu tidak pantas dilakukan. Karenanya, diminta kepada yang bersangkutan kesediaannya untuk mencabut kata-kata yang diucapkan dan sekaligus meminta maaf kepada orang yang telah dicaci maki dengan kata-kata kotor,” ungkapnya.

Dengan dilayangkan SP Kedua itu, sambung Jonggi, guru yang bersangkutan diharapkan bisa berubah. Namun, guru itu malah arogan hingga akhirnya diambil keputusan dengan mempertimbangkan sebelumnya untuk dilakukan pemecatan.

Untuk itu, sambungnya, bagi guru yang seperti usia 55 tahun tidak perlu khawatir. Karena, usia 55 tahun menjadi kesempatan untuk menseleksi guru dengan mempertimbangkan tiga aspek, tes pihak ketiga (konsultan pendidikan) dengan bobot 30%, penilaian kerja 40% dan penilaian pribadi 30%.

“Perlu diingatkan bahwa PKIM adalah sekolah swasta yang bisa bertahan hidup bila kualitas pelayanannya selalu terjaga. Karena itu, guru harus terus menjaga kualitasnya. Untuk itu, guru-guru tertentu yang tak bisa menjaga kualitasnya merasa terusik dan melawan kebijakan. Tentu dalam hal ini saya dengan mereka tidak bisa ketemu karena berangkat dari kualitas layanan kepada anak didik, bukan dari kepentingan pribadi,” tegas Jonggi.

Dengan begitu, Jonggi menyebut semestinya usia 55 tahun bukan suatu yang harus ditakuti tetapi menjadi motivasi bagi guru-guru untuk terus menjaga dan meningkatkan performanya. “Apa yang salah dari kebijakan ini? Saya hanya menjalankan peraturan yang sudah ada dan semata-mata untuk kualitas pelayanan pendidikan,” pungkasnya.

Sementara itu, Kamis pagi sekira pukul 10.00 WIB sejumlah guru yang dipecat masih terus melakukan aksi unjuk rasa di sekolah tersebut. Tak hanya guru, siswa SMA PKIM juga ikut dalam aksi. Mereka menuntut agar Jonggi diturunkan dari jabatannya. Pasalnya, mereka menuding Jonggi melakukan pemberhentian secara sepihak terhadap sejumlah guru. (ris/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/