31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Konflik Agraria Masih Sulit Diselesaikan

DANIL SIREGAR/SUMUT POS UNJUK RASA: Ratusan massa yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumut melakukan aksi di kantor Pemprov Sumut Jalan Diponegoro Medan, beberapa waktu lalu. Senin (21/9). Aksi ini digelar dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN), guna mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria khususnya di Provinsi Sumatera Utara.
DANIL SIREGAR/SUMUT POS
UNJUK RASA: Ratusan massa yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumut melakukan aksi di kantor Pemprov Sumut Jalan Diponegoro Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Persoalan sengketa lahan atau konflik agraria di Sumatera Utara (Sumut) masih sulit untuk diselesaikan. Mediasi terhadap kasus-kasus tersebut, baru 3 dari 80 pembahasan di legislatif yang menemui kejelasan.

Anggota Komisi A (bidang Hukum dan Pemerintahan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Sutrisno Pangaribuan mengatakan konflik tanah yang terjadi pada umumnya melibatkan masyarakat dengan perusahaan besar baik perkebunan milik negara, lembaga negara maupun swasta (asing). Hal ini akan terus terjadi jika tidak ada komitmen pemerintah untuk serius membagikan tanah terlantar itu kepada rakyat.

“Dari sekitar 80-an sengketa tanah yang dibahas di Komisi A DPRD Sumut, sejauh ini baru tiga kasus yang menemui titik terang penyelesaian,” ujar Sutrisno, Minggu (4/10).

Disebutkannya, ketiga sengketa lahan dimaksud yakni yang pertama adalah kasus tanah Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan. Melibatkan masyarakat dengan TNI AU. Dimana putusan Mahkamah Agung (MA) menyatakan memenangkan gugatan masyarakat, yang sebelumnya lahan tersebut diklaim milik Departemen Pertahanan (Dephan).

Kondisi lahan dengan luas 260 Ha itu sudah dihuni lebih kurang 5.000-an kepala keluarga (KK) yang mendirikan rumah tinggal, tempat ibadah, fasilitas pendidikan dan sebagainya. ”Dalam kasus ini, DPRD Sumut telah datang ke Kementerian Pertahanan dan dari sana mengatakan tinggal menunggu perintah Kementrian Keuangan karena belum dihapus sebagai asset negara,” katanya.

Sengketa kedua yakni kasus lahan di Kabupaten Serdang Bedagai yang melibatkan pemilik lahan dengan pemerintah kabupaten (Pemkab). Diketahui, lahan yang kini digunakan sebagai lapangan sepak bola merupakan milik Tengku Julian dengan mengantongi  surat Grand Sultan dan mengaku sebagai ahli waris atas nama H Surung Laut.

“Namun Pemkab Sergai terkesan ingin membenturkan pihak pemilik tanah dengan masyarakat sekitar,” sebutnya.

Kasus ketiga yakni terjadi di Kabupaten Simalungun. Melibatkan masyarakat dengan PTPN IIII. Yang menarik menurutnya, pihak Kementerian Negara BUMN telah beberapa kali menggelar rapat dan mengintruksikan kepada jajarannya untuk melepaskan lahan seluas 943 ha di Kebun Bandar Betsy itu kepada masyarakat penggarap atau Koreker.

Namun hingga kini pihak PTPN III terkesan enggan menyerahkan lahan yang dikelola tanpa Hak Guna Usaha (HGU) itu kepada masyarakat. Apalagi berdasarkan pertemuan di Komisi A DPRD Sumut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut menegaskan bahwa  kunci penyelesaian sengketa lahan tersebut ada di perusahaan negara itu.

“Kenapa  pihak PTPN III tidak mau menyerahkannya kepada warga, bahkan mereka berusaha ingin membeli areal lahan tersebut, namun penggarap tidak mau. Itu yang jadi pertanyaan,” sebut polisitis PDI Perjuangan ini. (bal/azw)

DANIL SIREGAR/SUMUT POS UNJUK RASA: Ratusan massa yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumut melakukan aksi di kantor Pemprov Sumut Jalan Diponegoro Medan, beberapa waktu lalu. Senin (21/9). Aksi ini digelar dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN), guna mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria khususnya di Provinsi Sumatera Utara.
DANIL SIREGAR/SUMUT POS
UNJUK RASA: Ratusan massa yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumut melakukan aksi di kantor Pemprov Sumut Jalan Diponegoro Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Persoalan sengketa lahan atau konflik agraria di Sumatera Utara (Sumut) masih sulit untuk diselesaikan. Mediasi terhadap kasus-kasus tersebut, baru 3 dari 80 pembahasan di legislatif yang menemui kejelasan.

Anggota Komisi A (bidang Hukum dan Pemerintahan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut, Sutrisno Pangaribuan mengatakan konflik tanah yang terjadi pada umumnya melibatkan masyarakat dengan perusahaan besar baik perkebunan milik negara, lembaga negara maupun swasta (asing). Hal ini akan terus terjadi jika tidak ada komitmen pemerintah untuk serius membagikan tanah terlantar itu kepada rakyat.

“Dari sekitar 80-an sengketa tanah yang dibahas di Komisi A DPRD Sumut, sejauh ini baru tiga kasus yang menemui titik terang penyelesaian,” ujar Sutrisno, Minggu (4/10).

Disebutkannya, ketiga sengketa lahan dimaksud yakni yang pertama adalah kasus tanah Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan. Melibatkan masyarakat dengan TNI AU. Dimana putusan Mahkamah Agung (MA) menyatakan memenangkan gugatan masyarakat, yang sebelumnya lahan tersebut diklaim milik Departemen Pertahanan (Dephan).

Kondisi lahan dengan luas 260 Ha itu sudah dihuni lebih kurang 5.000-an kepala keluarga (KK) yang mendirikan rumah tinggal, tempat ibadah, fasilitas pendidikan dan sebagainya. ”Dalam kasus ini, DPRD Sumut telah datang ke Kementerian Pertahanan dan dari sana mengatakan tinggal menunggu perintah Kementrian Keuangan karena belum dihapus sebagai asset negara,” katanya.

Sengketa kedua yakni kasus lahan di Kabupaten Serdang Bedagai yang melibatkan pemilik lahan dengan pemerintah kabupaten (Pemkab). Diketahui, lahan yang kini digunakan sebagai lapangan sepak bola merupakan milik Tengku Julian dengan mengantongi  surat Grand Sultan dan mengaku sebagai ahli waris atas nama H Surung Laut.

“Namun Pemkab Sergai terkesan ingin membenturkan pihak pemilik tanah dengan masyarakat sekitar,” sebutnya.

Kasus ketiga yakni terjadi di Kabupaten Simalungun. Melibatkan masyarakat dengan PTPN IIII. Yang menarik menurutnya, pihak Kementerian Negara BUMN telah beberapa kali menggelar rapat dan mengintruksikan kepada jajarannya untuk melepaskan lahan seluas 943 ha di Kebun Bandar Betsy itu kepada masyarakat penggarap atau Koreker.

Namun hingga kini pihak PTPN III terkesan enggan menyerahkan lahan yang dikelola tanpa Hak Guna Usaha (HGU) itu kepada masyarakat. Apalagi berdasarkan pertemuan di Komisi A DPRD Sumut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut menegaskan bahwa  kunci penyelesaian sengketa lahan tersebut ada di perusahaan negara itu.

“Kenapa  pihak PTPN III tidak mau menyerahkannya kepada warga, bahkan mereka berusaha ingin membeli areal lahan tersebut, namun penggarap tidak mau. Itu yang jadi pertanyaan,” sebut polisitis PDI Perjuangan ini. (bal/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/