JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Lembaran baru skandal ‘Papa Minta Saham’ PT Freeport Indonesia beralih ke Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Dugaan suap perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dengan mencatut Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto akan diusut secara hukum.
Tak tanggung-tanggung, kini dugaannya tak lagi sekadar pencatutan tapi bergeser ke delik yang lebih ‘sangar’ dan menusuk: permufakatan jahat. Jaksa menengarai ada unsur tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 15 UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait permufakatan jahat.
‘’Secara lisan sudah cukup (bermufakat untuk korupsi),’’ ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah. Seseorang bisa dijerat dengan pasal tersebut jika secara lisan sudah melakukan permufakatan.
Kejagung juga terus mencermati fakta-fakta yang terungkap dalam sidang internal DPR atau Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Fakta-fakta itu nanti dilihat sebagai catatan meskipun tak ada urusannya dengan penyelidikan di Kejagung. Urusan MKD adalah masalah etika, soal Kejagung mengurusi penegakan hukum korupsi.
Jaksa Agung mengklaim meskipun tindak pidana korupsi belum dilakukan tetapi lewat ucapan dan tindakan yang dilakukan memunculkan niat melakukan korupsi dapat dipidana. Alibinya, yang diselidiki adalah mufakat jahatnya.
Seperti apakah unsur dugaan pemufakatan jahat di balik upaya perpanjangan kontrak karya Freeport yang mencatut nama dan kehormatan kepala negara ini? Apa substansi hukum di balik delik ini?
Dalam literatur hukum yang disadur Sumut Pos dari berbagai sumber, Tindak Pidana Permufakatan Jahat dalam KUHP diatur dalam Pasal 110 ayat (1) sampai dengan ayat (4). Permufakatan jahat (samenspanning) diatur secara khusus yaitu hanya terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP. Artinya tindak pidana Permufakatan Jahat tidak dapat diberlakukan untuk semua tindak pidana yang ada dalam KUHP, jadi bersifat eksepsional (pengecualian) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 110 KUHP tersebut.
Pengertian permufakatan jahat dalam KUHP dapat dilihat dalam Pasal 88 KUHP yang merupakan penafsiran otentik mengenai permufakatan jahat tersebut. Pasal 88 tersebut menyebutkan pengertian permufakatan jahat sebagai berikut :”Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”
Merujuk kepada pengertian Permufakatan Jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 KUHP tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suatu permufakatan jahat dianggap telah terjadi yakni segera setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Di sini permufakatan jahat merupakan tindak pidana sendiri, artinya orang telah dapat dinyatakan melakukan tindak pidana permufakatan jahat dengan adanya kesepakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP.
Sebuah catatan dari pakar hukum Wirjono Prodjodikoro mengatakan sebagai ‘bijzondere deelneming’ atau sebagai keturutsertaan yang sifatnya khusus. Apa yang dimaksud dengan keturut sertaan yang sifatnya khusus tersebut oleh Wirjono Prodjodikoro tidak dijelaskan lebih lanjut.
Barang kali maksud pengertian yang disebutkan oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut adalah bahwa permufakatan jahat tersebut memiliki kemiripan dengan keturut sertaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP, akan tetapi lebih bersifat khusus.
Perbedaannya bahwa keturut sertaan dalam Pasal 55 KUHP para pelaku telah melakukan tindak pidana yang dilarang tersebut, sedangkan dalam permufakatan jahat tindak pidana belum dilakukan oleh pelaku. Jadi yang dihukum atau yang merupakan tindak pidana disini adalah niat yang ditandai adanya kata sepakat dari dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana dalam ketentuan Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP.
Meskipun tindak pidana belum terlaksana tidak berarti permufakatan jahat sama dengan tindak pidana percobaan (‘poging’) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi tiga unsur yaitu niat, permulaan pelaksanaan, dan perbuatan tersebut tidak jadi selesai di luar kehendak pelaku.
Apabila melihat rumusan tindak pidana permufakatan jahat, maka niat dalam permufakatan jahat telah dapat dihukum. Karena perbuatan persiapan (‘voorbereiding’) dalam permufakatan jahat sendiri belum ada.
Melihat bentuk dari permufakatan jahat tersebut timbul pertanyaan, mengapa permufakatan jahat terhadap ketentuan-ketentuan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP harus dijatuhi hukuman? Hal ini dikarenakan pembuat undang-undang memandang kejahatan-kejahatan (tindak pidana) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP tersebut telah dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat berbahaya terutama terhadap keselamatan Negara.
Oleh karena itu kejahatan yang disebut ‘staatsgevaarlijke misdrijven’ atau kejahatan terhadap keselamatan negara, sudah harus dicegah atau diberantas pada waktu kejahatan itu masih pada tingkat persiapan.
Sesungguhnya dalam hukum pidana niat saja tidaklah dapat dihukum, akan tetapi karena kejahatan seperti yang disebutkan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 dianggap sebagai kejahatan yang serius, maka dibuatlah tindak pidana permufakatan jahat terhadap pasal-pasal tersebut sebagai tindak pidana.
Ketentuan ini yaitu permufakatan jahat dapatlah dikategorikan sebagai ‘Tatbestandausdehnungsgrund’ yang artinya dasar yang memperluas rumusan delik atau memperbanyak jumlah delik.
Dalam perkembangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, ternyata tindak pidana permufakatan jahat ini juga dimasukan dalam ketentuan UU Pemberantasan Narkotika yaitu UU nomor 22 tahun 1997. Ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (2), Pasal 80 ayat (2), Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (2).
Dalam delik ini masalah yang muncul dalam praktek adalah terutama dalam hal pembuktian adanya tindak pidana permufakatan jahat tersebut. Karena kesulitan yang akan didapat adalah menemukan bukti-bukti adanya kejahatan. Misalnya bukti-bukti apa yang bisa dijadikan bahwa telah ada kata sepakat untuk melakukan tindak pidana.
Jika dibandingkan dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP boleh jadi pasal-pasal dalam KUHP tersebut jauh memungkinkan untuk ditemukannya bukti-bukti, seperti dokumen-dokumen maupun rapat-rapat. Kendati demikian dalam praktek hampir dapat dipastikan belum ada tindak pidana permufakatan jahat yang pernah disidangkan.
Dilihat dari penjabaran hukum soal delik pemufakatan jahat tersebut, Kejagung yang tengah mendalami penyelidikan skandal ‘Papa Minta Saham’ oleh Ketua DPR Setya Novanto, harus ekstra hati-hati menerapkan dugaan hukum tersebut.
Pembuktiannya perlu kokoh dan harus steril. Jika tidak, bisa-bisa Kejagung terpeleset menerapkan delik yang lemah lantaran tersandera agenda politik yang lebih kental ketimbang menjalankann fungsinya sebagai penegak hukum. (redaksi)