25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Cerita dari Gorong-gorong

Cerpe:  Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

Senja kembali datang dari lorong sudut kota. Senja yang menawar luka, membawa air mata darah, dan bara menyala-nyala. Coba engkau saksikan sendiri, ketika tiba-tiba darah dan air mata itu tumpah, membiru berbau busuk. Lalu anjing-anjing malam yang lapar datang berlari, menjilat-jilat dengan rakus. Tak ada yang peduli. Sungguh. Semua begitu asyik mengambil bagian, sisa hasil pesta para petinggi kota tadi malam. Bahkan saat pagi meninggi, mereka makin menjadi-jadi, seperti takut kehabisan jatah yang tak selalu datang setiap masa. Penduduk kota menyebut mereka: binatang senja yang lahir dari bawah kota. Para penghuni gorong-gorong.

Inilah sebuah cerita yang telah melegenda di kota kami.  Manusia-manusia yang telah dijadikan ‘binatang’ oleh penduduk Negeri Cahaya. Manusia-manusia terbuang dari kota impian. Tersingkir dari tanah perjanjian.

Tersebutlah sebuah hikayat, cerita tentang manusia yang lahir dari gorong-gorong di lorong sudut kota. Mereka telah lama diasingkan dan dibiarkan berkembang di sana. Sebagian petinggi kota berharap, penghuni gorong-gorong, satu-persatu mati ditelan waktu, agar tidak menyusahkan sebuah masa. Namun sebagian lagi malah menyatakan bahwa kehadiran penghuni gorong-gorong itu justru membawa peradaban. Karena dengan adanya mereka, riset dan penelitian seputar penghuni gorong-gorong akan menjadi karya ilmiah untuk dijadikan perbandingan kehidupan generasi mendatang, anak-anak di kota kami.

Entah darimana awal mulanya, engkau bisa saksikan sendiri, pemandangan yang sampai hari ini masih terlihat jelas. Di sana, di lapangan kota, sebuah tontonan tersaji begitu menyeramkan diiringi teriakan dan gelak tawa para penjagal maupun petinggi kota. Benar-benar memuakkan. Tapi justru menyenangkan bagi mereka yang bersorak gembira. Engkau bisa saksikan manusia-manusia yang di karantina, dibungkam, lalu perlahan-lahan dibunuh. Satu-sama lain mulai diadu ke tengah lapangan. Inilah sebuah pertunjukan gratis dipertontonkan para petinggi kota bagi penduduknya. Sebuah parade aduan manusia dari gorong-gorong.

Mereka dipaksa dan diajarkan untuk saling menindas, saling membunuh, saling memakan, dan jadi tontonan para manusia serakah. Mereka pun harus tinggal di pinggiran, di gorong-gorong, di lorong gelap atau tempat di mana matahari tak pernah bersinar. Dan justru di sana pula akan engkau temui ratapan yang begitu menyayat, tangis yang tak berhenti, maupun air mata yang terus mengalir bak anak sungai. Karena di sana pula hikayat ini tak pernah lelah ditulis, digambarkan, lalu menjadi kesaksian. Entah bagi siapa.

Cerita penghuni gorong-gorong semakin pilu di antara sekat-sekat kardus bermata sendu. Malam pun menjelang.
“Besok anak ini harus segera kau serahkan,” sahut lelaki itu pada istrinya.
“Ke mana?”

“Terserah.” Perempuan itu terdiam, tak sanggup meneruskan. Dinginnya malam telah membuat kaku seluruh tubuhnya. Matanya nanar menatap bayi di pangkuannya. Bayi itu tertidur lelap, tenang, setelah lelah menangis seharian sejak senja tiba. Lelaki itu menatap bara api yang menyala di depannya. Panasnya begitu terasa serupa helaan napas yang tak habis membakar waktu, seperti nyamuk-nyamuk dari neraka tak pernah lelah menggigit. Lalu mati  terbunuh. Berkalang tanah.

“Serahkan saja pada Tuan Levi.”
“Aku tak setuju! Anak ini hanya akan jadi budak baginya”
“Dari mana kau tahu,” selidik lelaki itu penasaran. Matanya tajam menatap istrinya.
“Entahlah. Tapi kudengar nasib anak Pak Sarmin setelah dititipkan di sana.”
“Apa dijadikan budak?”
“Anaknya kemarin ditemukan mati. Isi perutnya sudah tak lengkap lagi. Hati dan jantungnya, katanya hilang. Aku tak mau anak ini bernasib seperti itu,” sahut perempuan itu penuh tekanan. Lelaki itu terdiam. Hanya suara-suara jangkrik terdengar parau di luar.

“Apa kau yakin?” tanyanya lagi memastikan. Dia pun ikut-ikutan cemas.
“Begitulah kata orang-orang. Tapi apa kau ingin anak ini jadi binatang seperti kita?”  Lelaki itu menghela napas. Lamat-lamat di ujung lorong terdengar gelegak tawa histeris. Memang tangis pilu dan tawa kerap silih berganti memenuhi sepinya gorong-gorong. Kali ini, tangis dan tawa itu, milik Mpok Sarmi yang dipasung di dalam rumahnya. Mpok Sarmi jadi gila setelah satu-persatu anaknya dijual suaminya dan tak tahu bagaimana nasibnya.
Lelaki itu menatap istrinya. Sejuta iba hilang sudah. Setiap penghuni tak lagi memikirkan satu sama lain. Karena hidupnya sendiri berada di ujung tanduk kematian.
***
Walau senja memancarkan bara, para penghuni berusaha tetap tegar keluar-masuk gorong-gorong. Bau sampah, tikus-tikus yang bersilliweran menjadi teman sejati mereka. Apalagi di luar tak ada tempat diberikan, karena label sebagai binatang malam sudah disematkan. Bahkan untuk bermimpi sekalipun, tak akan pernah diberikan. Sedikitpun. Karena mimpi hanya milik orang-orang beradab di kota. Mimpi hanya menjadi barang mahal yang tak terpikirkan sama sekali.
“Aku bermimpi, anak ini dipelihara orang-orang beradab itu,” ucap istrinya.
“Jangan berpikir aneh-aneh!” sahut lelaki itu. Keduanya rebah di atas karung yang dibuat jadi alas tidur berlantai tanah.

“Aku hanya berharap…”
“Pengharapan punya orang bermartabat.”
“Aku memikirkan anak kita. Seperti katamu, aku ingin dia menjadi manusia, bukan binatang malam seperti kita,” ujar perempuan itu menegaskan.
“Tidurlah!”
“Tapi bukankah kita berdua bisa membesarkannya sendiri? Walau sedikit, tapi hasil pekerjaanku sebagai peminta-minta sudah lebih dari cukup,” bela istrinya.

“Suatu saat kau pasti digusur. Kau ingat, ketika kau bawa anak kita mengemis di persimpangan itu? Kau digaruk petugas. Bahkan anak ini hampir dirampas. Kau ingin itu terjadi lagi?” keluh lelaki itu. Ia ingat, bagaimana sampai pontang-panting membawa istri dan anaknya kembali dari tempat penampungan, ketika keduanya diangkut petugas. Bagi mereka, tempat penampungan ibarat neraka, walau orang-orang mengatakan tempat itu adalah tempat memanusiakan para binatang, tempat memasyarakatkan orang seperti mereka yang tinggal di gorong-gorong.
Tapi bagaimana memanusiakan orang seperti mereka kalau petugas di sana membawa peluru? Apa memanusiakan manusia harus pakai peluru? Ah, walau mereka binatang malam, tapi mereka tahu bahwa peluru hanya membuat nasib lebih buruk daripada seekor anjing malam.

“Kalau gitu aku akan melacur.”
“Melacur?”

“Ya, demi anak kita,” pintanya berharap. Lelaki itu semakin gelisah.
“Itu keputusanmu. Tapi menjual dirimu berbeda dengan si-Inah, temanmu yang tinggal di seberang jembatan itu.”
“Loh…apa bedanya?”
“Kau lihat! Dia menjual diri di losmen kelas melati. Sedangkan kau, paling-paling menjajakan dirimu di pinggir Kali Atas. Aku yakin tak banyak lelaki melirikmu. Paling-paling laku sama tukang gali proyek.”
“Itu pun sudah cukup.”

“Ongkos gubuk di pinggir kali saja sudah berapa, belum sewa tikar, pembersih, dan seember air dari anak-anak kali itu. Jadi berapa yang kau bawa pulang untuk beli susu anak kita? Tak sebanding.” Lelaki itu bergumam. Ia sedang berhitung, untung ruginya.
“Jadi kau tak setuju,” sahut istrinya memaksa.

“Sudahlah, sudah malam. Kita tidur saja. Besok kita cari jalan keluarnya.” Lelaki itu mendengus panjang. Ia kehabisan akal melihat istrinya. Sepertinya tak rela berpisah dengan anaknya.

Ah, mengapa ia harus berharap? Bukankan pengharapan hanya milik manusia? Bukankah binatang malam seperti mereka dilarang bermimpi? Dalam sedu-sedan itu, mereka tampaknya hanya bisa menjalani hidup yang diterima, yang membelenggu setiap kali mimpi datang. Hidup sudah diperas oleh manusia-manusia kota dan hanya sisa-sisa yang tertinggal. Sisa-sisa yang menjadi rebutan seperti tulang. Kemudian mereka akan saling bunuh satu sama lain untuk mendapatkannya, karena demikianlah jalannya. Jalan para binatang malam, penghuni gorong-gorong.
Sudahlah. Mereka, para binatang malam harus segera tidur: jangan bermimpi apalagi berharap, karena senja akan pulang ke peraduannya. Karena mentari pagi pun tidak akan dibagi kepada mereka. Karena penghuni gorong-gorong tak terdata dalam peta harapan.

***
Lelaki itu bergegas melangkah pulang. Ia ingin secepatnya sampai di rumah, dan menemui istrinya. Pagi tadi sebelum pergi, ia dan istrinya telah sepakat siapa mengantar anaknya itu.
“Kau sendiri yang pergi, aku ada urusan,” pinta lelaki itu pada istrinya.
“Urusan apa?”
“Cari uang.”

“Kalau ditanya namanya, aku harus bilang apa,” tanya istrinya. Lelaki itu terdiam. Sejak anak mereka lahir, tak terpikirkan sama sekali untuk memberinya sebuah nama. Mereka terlupa. Tapi bukankah mencari nama saja sudah jadi persoalan baru bagi mereka, jadi tambahan beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Nama bukanlah penentu rejeki seseorang, jadi kenapa pula mereka harus repot memikirkan nama anaknya?
Lelaki itu berpikir keras.
“Terserah kau saja. Asal jangan diberi nama:Tikus,” sahutnya spontan. Ia merasa nama itu lebih rendah, lebih hina daripada nasib mereka, walau orang kota selalu memanggil  mereka dengan nama itu.
Tapi lelaki itu kembali bingung. Barusan ia membohongi takdirnya, karena ia telah memelihara harapan dalam dirinya. Huh…

Sejak ia tahu, bahwa gorong-gorong tempat mereka tinggal akan dibersihkan para petinggi kota, maka ia dan istrinya ingin anaknya diasuh orang kota. Mereka tidak ingin anaknya menjadi binatang malam. Dan berharap anaknya jadi manusia yang kelak dipandang layak punya mimpi.
Lelaki itu tiba di rumah. Istrinya tersenyum menyambutnya.
“Sudah kau serahkan anak itu?” tanyanya dengan wajah berpeluh.
“Aku tidak jadi pergi.”

“Loh…” Lelaki itu menatap khawatir, mengharap penjelasan dari istrinya.
“Aku berikan anak itu kepada perempuan yang menawarnya. Menurutku, justru di tangannya anak kita lebih berharga. Karena perempuan yang menawarnya itu telah menukarnya dengan uang sebanyak ini,” kata istrinya berbinar sambil menunjukkan segepok uang ratusan ribu yang terikat rapi. Lelaki itu terkejut.
“Kenapa…!” Matanya melotot kea rah istrinya.

“Aku…Aku tak yakin. Aku takut anak itu tak punya harapan di tempat itu. Sedangkan perempuan yang menawarnya, datang membawa harapan walau aku tahu, dia akan hilang dan kita tidak akan bertemu dengannya lagi. Tapi setidaknya anak itu menjadi manusia beradab. Tak seperti kita,” kata istrinya memelas.
Lelaki itu duduk terpaku. Kepalanya menunduk. Ia tahu, mereka tak boleh punya mimpi, apalagi berharap anaknya akan kembali. Karena mereka telah membiarkan takdir membawanya pergi. Direnggut sebuah masa yang memayungi mereka ketika saling memangsa satu sama lain, bagai binatang malam di dalam gorong-gorong.
Medan, Akhir Maret 2011

 

Cerpe:  Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

Senja kembali datang dari lorong sudut kota. Senja yang menawar luka, membawa air mata darah, dan bara menyala-nyala. Coba engkau saksikan sendiri, ketika tiba-tiba darah dan air mata itu tumpah, membiru berbau busuk. Lalu anjing-anjing malam yang lapar datang berlari, menjilat-jilat dengan rakus. Tak ada yang peduli. Sungguh. Semua begitu asyik mengambil bagian, sisa hasil pesta para petinggi kota tadi malam. Bahkan saat pagi meninggi, mereka makin menjadi-jadi, seperti takut kehabisan jatah yang tak selalu datang setiap masa. Penduduk kota menyebut mereka: binatang senja yang lahir dari bawah kota. Para penghuni gorong-gorong.

Inilah sebuah cerita yang telah melegenda di kota kami.  Manusia-manusia yang telah dijadikan ‘binatang’ oleh penduduk Negeri Cahaya. Manusia-manusia terbuang dari kota impian. Tersingkir dari tanah perjanjian.

Tersebutlah sebuah hikayat, cerita tentang manusia yang lahir dari gorong-gorong di lorong sudut kota. Mereka telah lama diasingkan dan dibiarkan berkembang di sana. Sebagian petinggi kota berharap, penghuni gorong-gorong, satu-persatu mati ditelan waktu, agar tidak menyusahkan sebuah masa. Namun sebagian lagi malah menyatakan bahwa kehadiran penghuni gorong-gorong itu justru membawa peradaban. Karena dengan adanya mereka, riset dan penelitian seputar penghuni gorong-gorong akan menjadi karya ilmiah untuk dijadikan perbandingan kehidupan generasi mendatang, anak-anak di kota kami.

Entah darimana awal mulanya, engkau bisa saksikan sendiri, pemandangan yang sampai hari ini masih terlihat jelas. Di sana, di lapangan kota, sebuah tontonan tersaji begitu menyeramkan diiringi teriakan dan gelak tawa para penjagal maupun petinggi kota. Benar-benar memuakkan. Tapi justru menyenangkan bagi mereka yang bersorak gembira. Engkau bisa saksikan manusia-manusia yang di karantina, dibungkam, lalu perlahan-lahan dibunuh. Satu-sama lain mulai diadu ke tengah lapangan. Inilah sebuah pertunjukan gratis dipertontonkan para petinggi kota bagi penduduknya. Sebuah parade aduan manusia dari gorong-gorong.

Mereka dipaksa dan diajarkan untuk saling menindas, saling membunuh, saling memakan, dan jadi tontonan para manusia serakah. Mereka pun harus tinggal di pinggiran, di gorong-gorong, di lorong gelap atau tempat di mana matahari tak pernah bersinar. Dan justru di sana pula akan engkau temui ratapan yang begitu menyayat, tangis yang tak berhenti, maupun air mata yang terus mengalir bak anak sungai. Karena di sana pula hikayat ini tak pernah lelah ditulis, digambarkan, lalu menjadi kesaksian. Entah bagi siapa.

Cerita penghuni gorong-gorong semakin pilu di antara sekat-sekat kardus bermata sendu. Malam pun menjelang.
“Besok anak ini harus segera kau serahkan,” sahut lelaki itu pada istrinya.
“Ke mana?”

“Terserah.” Perempuan itu terdiam, tak sanggup meneruskan. Dinginnya malam telah membuat kaku seluruh tubuhnya. Matanya nanar menatap bayi di pangkuannya. Bayi itu tertidur lelap, tenang, setelah lelah menangis seharian sejak senja tiba. Lelaki itu menatap bara api yang menyala di depannya. Panasnya begitu terasa serupa helaan napas yang tak habis membakar waktu, seperti nyamuk-nyamuk dari neraka tak pernah lelah menggigit. Lalu mati  terbunuh. Berkalang tanah.

“Serahkan saja pada Tuan Levi.”
“Aku tak setuju! Anak ini hanya akan jadi budak baginya”
“Dari mana kau tahu,” selidik lelaki itu penasaran. Matanya tajam menatap istrinya.
“Entahlah. Tapi kudengar nasib anak Pak Sarmin setelah dititipkan di sana.”
“Apa dijadikan budak?”
“Anaknya kemarin ditemukan mati. Isi perutnya sudah tak lengkap lagi. Hati dan jantungnya, katanya hilang. Aku tak mau anak ini bernasib seperti itu,” sahut perempuan itu penuh tekanan. Lelaki itu terdiam. Hanya suara-suara jangkrik terdengar parau di luar.

“Apa kau yakin?” tanyanya lagi memastikan. Dia pun ikut-ikutan cemas.
“Begitulah kata orang-orang. Tapi apa kau ingin anak ini jadi binatang seperti kita?”  Lelaki itu menghela napas. Lamat-lamat di ujung lorong terdengar gelegak tawa histeris. Memang tangis pilu dan tawa kerap silih berganti memenuhi sepinya gorong-gorong. Kali ini, tangis dan tawa itu, milik Mpok Sarmi yang dipasung di dalam rumahnya. Mpok Sarmi jadi gila setelah satu-persatu anaknya dijual suaminya dan tak tahu bagaimana nasibnya.
Lelaki itu menatap istrinya. Sejuta iba hilang sudah. Setiap penghuni tak lagi memikirkan satu sama lain. Karena hidupnya sendiri berada di ujung tanduk kematian.
***
Walau senja memancarkan bara, para penghuni berusaha tetap tegar keluar-masuk gorong-gorong. Bau sampah, tikus-tikus yang bersilliweran menjadi teman sejati mereka. Apalagi di luar tak ada tempat diberikan, karena label sebagai binatang malam sudah disematkan. Bahkan untuk bermimpi sekalipun, tak akan pernah diberikan. Sedikitpun. Karena mimpi hanya milik orang-orang beradab di kota. Mimpi hanya menjadi barang mahal yang tak terpikirkan sama sekali.
“Aku bermimpi, anak ini dipelihara orang-orang beradab itu,” ucap istrinya.
“Jangan berpikir aneh-aneh!” sahut lelaki itu. Keduanya rebah di atas karung yang dibuat jadi alas tidur berlantai tanah.

“Aku hanya berharap…”
“Pengharapan punya orang bermartabat.”
“Aku memikirkan anak kita. Seperti katamu, aku ingin dia menjadi manusia, bukan binatang malam seperti kita,” ujar perempuan itu menegaskan.
“Tidurlah!”
“Tapi bukankah kita berdua bisa membesarkannya sendiri? Walau sedikit, tapi hasil pekerjaanku sebagai peminta-minta sudah lebih dari cukup,” bela istrinya.

“Suatu saat kau pasti digusur. Kau ingat, ketika kau bawa anak kita mengemis di persimpangan itu? Kau digaruk petugas. Bahkan anak ini hampir dirampas. Kau ingin itu terjadi lagi?” keluh lelaki itu. Ia ingat, bagaimana sampai pontang-panting membawa istri dan anaknya kembali dari tempat penampungan, ketika keduanya diangkut petugas. Bagi mereka, tempat penampungan ibarat neraka, walau orang-orang mengatakan tempat itu adalah tempat memanusiakan para binatang, tempat memasyarakatkan orang seperti mereka yang tinggal di gorong-gorong.
Tapi bagaimana memanusiakan orang seperti mereka kalau petugas di sana membawa peluru? Apa memanusiakan manusia harus pakai peluru? Ah, walau mereka binatang malam, tapi mereka tahu bahwa peluru hanya membuat nasib lebih buruk daripada seekor anjing malam.

“Kalau gitu aku akan melacur.”
“Melacur?”

“Ya, demi anak kita,” pintanya berharap. Lelaki itu semakin gelisah.
“Itu keputusanmu. Tapi menjual dirimu berbeda dengan si-Inah, temanmu yang tinggal di seberang jembatan itu.”
“Loh…apa bedanya?”
“Kau lihat! Dia menjual diri di losmen kelas melati. Sedangkan kau, paling-paling menjajakan dirimu di pinggir Kali Atas. Aku yakin tak banyak lelaki melirikmu. Paling-paling laku sama tukang gali proyek.”
“Itu pun sudah cukup.”

“Ongkos gubuk di pinggir kali saja sudah berapa, belum sewa tikar, pembersih, dan seember air dari anak-anak kali itu. Jadi berapa yang kau bawa pulang untuk beli susu anak kita? Tak sebanding.” Lelaki itu bergumam. Ia sedang berhitung, untung ruginya.
“Jadi kau tak setuju,” sahut istrinya memaksa.

“Sudahlah, sudah malam. Kita tidur saja. Besok kita cari jalan keluarnya.” Lelaki itu mendengus panjang. Ia kehabisan akal melihat istrinya. Sepertinya tak rela berpisah dengan anaknya.

Ah, mengapa ia harus berharap? Bukankan pengharapan hanya milik manusia? Bukankah binatang malam seperti mereka dilarang bermimpi? Dalam sedu-sedan itu, mereka tampaknya hanya bisa menjalani hidup yang diterima, yang membelenggu setiap kali mimpi datang. Hidup sudah diperas oleh manusia-manusia kota dan hanya sisa-sisa yang tertinggal. Sisa-sisa yang menjadi rebutan seperti tulang. Kemudian mereka akan saling bunuh satu sama lain untuk mendapatkannya, karena demikianlah jalannya. Jalan para binatang malam, penghuni gorong-gorong.
Sudahlah. Mereka, para binatang malam harus segera tidur: jangan bermimpi apalagi berharap, karena senja akan pulang ke peraduannya. Karena mentari pagi pun tidak akan dibagi kepada mereka. Karena penghuni gorong-gorong tak terdata dalam peta harapan.

***
Lelaki itu bergegas melangkah pulang. Ia ingin secepatnya sampai di rumah, dan menemui istrinya. Pagi tadi sebelum pergi, ia dan istrinya telah sepakat siapa mengantar anaknya itu.
“Kau sendiri yang pergi, aku ada urusan,” pinta lelaki itu pada istrinya.
“Urusan apa?”
“Cari uang.”

“Kalau ditanya namanya, aku harus bilang apa,” tanya istrinya. Lelaki itu terdiam. Sejak anak mereka lahir, tak terpikirkan sama sekali untuk memberinya sebuah nama. Mereka terlupa. Tapi bukankah mencari nama saja sudah jadi persoalan baru bagi mereka, jadi tambahan beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Nama bukanlah penentu rejeki seseorang, jadi kenapa pula mereka harus repot memikirkan nama anaknya?
Lelaki itu berpikir keras.
“Terserah kau saja. Asal jangan diberi nama:Tikus,” sahutnya spontan. Ia merasa nama itu lebih rendah, lebih hina daripada nasib mereka, walau orang kota selalu memanggil  mereka dengan nama itu.
Tapi lelaki itu kembali bingung. Barusan ia membohongi takdirnya, karena ia telah memelihara harapan dalam dirinya. Huh…

Sejak ia tahu, bahwa gorong-gorong tempat mereka tinggal akan dibersihkan para petinggi kota, maka ia dan istrinya ingin anaknya diasuh orang kota. Mereka tidak ingin anaknya menjadi binatang malam. Dan berharap anaknya jadi manusia yang kelak dipandang layak punya mimpi.
Lelaki itu tiba di rumah. Istrinya tersenyum menyambutnya.
“Sudah kau serahkan anak itu?” tanyanya dengan wajah berpeluh.
“Aku tidak jadi pergi.”

“Loh…” Lelaki itu menatap khawatir, mengharap penjelasan dari istrinya.
“Aku berikan anak itu kepada perempuan yang menawarnya. Menurutku, justru di tangannya anak kita lebih berharga. Karena perempuan yang menawarnya itu telah menukarnya dengan uang sebanyak ini,” kata istrinya berbinar sambil menunjukkan segepok uang ratusan ribu yang terikat rapi. Lelaki itu terkejut.
“Kenapa…!” Matanya melotot kea rah istrinya.

“Aku…Aku tak yakin. Aku takut anak itu tak punya harapan di tempat itu. Sedangkan perempuan yang menawarnya, datang membawa harapan walau aku tahu, dia akan hilang dan kita tidak akan bertemu dengannya lagi. Tapi setidaknya anak itu menjadi manusia beradab. Tak seperti kita,” kata istrinya memelas.
Lelaki itu duduk terpaku. Kepalanya menunduk. Ia tahu, mereka tak boleh punya mimpi, apalagi berharap anaknya akan kembali. Karena mereka telah membiarkan takdir membawanya pergi. Direnggut sebuah masa yang memayungi mereka ketika saling memangsa satu sama lain, bagai binatang malam di dalam gorong-gorong.
Medan, Akhir Maret 2011

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/