Oleh: Ramadhan Batubara
Lalu, sang petani itu tersenyum. Rasa kejut karena sang ikan bicara langsung sirna ketika sesosok putri muncul dihadapan. Janji terbentuk, ada kepantangan yang tak bisa dilanggar agar senyum tadi tak menjadi kecut.
Singkat kata, petani dan putri itu menikah. Asal usul disimpan rapat jika tidak, bisa kualat. Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri petani melahirkan seorang bayi laki-laki; tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat. Menariknya, ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Dan, kisah ini menuju konflik. Pada adegan sang anak mengantarkan makanan ke si petani, dongeng ini menyentuh isi kepala. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubuk. Si petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, dia melihat anaknya sedang tidur di gubuk.
Amarah tak bisa ditahan. Keluarlah kalimat yang wajib ditahan. “Tidak tahu diuntung! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!”
Seketika, sang istri yang jelmaan ikan menghilang berikut dengan sang anak. Dari bekas jejak kaki mereka menyembur air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan, akhirnya membentuk sebuah danau; yang akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Senyum petani pun menjadi kecut.
Terus terang saya kutip dongeng asal muasal Danau Toba ini terkait dengan Hari Anak yang jatuh pada 23 Juli. Pasalnya, dari dongeng atau cerita rakyat lainnya begitu banyak kebijakan (kebijakan, dalam arti kata ini belum mengalami pelebaran makna). Ya, kearifan yang muncul dari cerita masa lalu itu adalah sesuatu yang tak bisa dibantah. Sayang, hal ini kini semakin menghilang. Ayolah, berapa persen orangtua di negeri ini yang masih mendongengkan anaknya sebelum tidur? Di mana letak buku dongeng di toko buku yang bangga memajang buku cerita anak impor yang sejatinya kurang pas dengan budaya negeri ini? Ukh, ramalan si Belalang makin kalah dengan kemampuan sihir mahadahsyat milik Harry Potter kan? Ya, air di baskom tentunya sulit menandingi tongkat sihir kan?
Tapi sudahlah, kembali ke dongeng Danau Toba, kalau ditarik benang merahnya ke zaman kini, petani yang tidak bisa memegang janji adalah karakter yang begitu sering muncul dalam kehidupan. Padahal, sebagai petani yang sebatang kara, yang tidak memiliki istri, dan pemegang duka cerita telah tertolong oleh kehadiran putri ikan itu. Akhirnya, senyum mengembang ia gadaikan. Perhatikanlah sekeliling, bukankah kisah semacam itu begitu banyak di zaman sekarang?
Sederhananya begini, karakter petani tadi adalah karakter orang yang cenderung seperti kacang lupa kulitnya. Ya, dia lupa pada sesuatu yang telah membuatnya menjadi ‘orang’. Teringat itu, saya pribadi terketuk dengan kisah Nazarudin sang mantan bendahara umum Partai Demokrat. Ayolah, siapa yang kenal Nazarudin sebelumnya; dia hanyalah lelaki muda yang berasal dari Simalungun, sebuah kawasan yang begitu jauh dari ibukota negara. Nah, setelah menjadi ‘orang’ dia malah berulah, menjadi sebuah duri yang menancap partai. Tapi, muncul pula pertanyaan, siapakah Nazarudin itu? Maksudnya, diakah sang petani? Putri ikan? Atau malah, anak ikan? Pasalnya, si Nazarudin ini sejatinya bisa kita padankan dengan tiga karakter yang ada pada dongeng Danau Toba tadi.
Baiklah, anggaplah dia sebagai petani. Maka, sebagai anak Simalungun yang sebelumnya tidak dikenal, seharusnya dia bersyukur bisa merasakan kemewahan ibukota. Tentunya, untuk mencapai itu, ada semacam janji atau deal-deal yang memang harus dia pegang. Bak petani, Nazarudin malah menuhankan amarah ketika ‘nasi’ yang diantarkan padanya tak sampai. Hingga, dia pun bernyanyi. Maka, tunggulah akan ada ‘Danau Toba’ yang akan tercipta bukan?
Sebagai putri ikan, Nazarudin bisa dikatakan sebagai penolong Partai Demokrat. Di sini berarti Partai Demokrat menjadi petani. Nah, sebagai penolong, tentunya dia marah ketika Partai Demokrat tak menepati sebuah ‘janji’. Maka, dia pun bernyanyi. Dan, siap menyemburkan ‘air’ yang kemudian menjadi ‘Danau Toba’. Lalu, bagaimana jika Nazarudin sebagai anak ikan?
Hm, ini sedikit menarik karena sebagai anak ikan, Nazarudin adalah bentukan dari kesepakatan petani dan putri ikan. Maka, bisa dikatakan petani dan putri ikan adalah pengejawantahan elite politik yag bernaung di Partai Demokrat dan mungkin juga partai lain, juga pemegang kekuasaan. Sebagai anak yang memiliki lapar tak berkesudahan, tentunya Nazarudin pantang melihat makanan kan? Jadi, ketika sang putri ikan menyuruhnya mengantarkan makanan, fiuh, dia tidak bisa menahan diri. Dia tentunya sekadar menuntaskan rasa lapar. Sejatinya dia tidak tahu dengan janji atau deal-deal yang telah tercipta antara petani dan putri ikan. Tidak ada pendidikan yang diberikan orangtuanya terkait batasan agar janji tetap menjadi janji. Maka, ketika dia menghilang akibat palanggaran yang dilakukannya, tentunya dia menjadi korban. Dia pun bernyanyi. Dan, dari kepergiannya menyembur ‘air’ lalu membanjir hingga menjadi ‘Danau Toba’. He he he….
Begitulah, dongeng maupun cerita rakyat secara umum memang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Para pencipta di zaman dulu seakan telah meramalkan segala sesuatu di masa depan. Maka, tidak berlebihan jika orang pintar cenderung memandang ke masa lalu untuk mengambil langkah ke depan. Padahal, sekilas banyak orang memandang dongeng atau cerita rakyat sekadar cerita sebelum tidur saja. Fiuh. Lucunya, sisi otak saya yang lain malah menganggap petani, putri ikan, dan anak ikan sebagai pahlawan. Ya, bagaimana tidak, seandainya tak ada mereka, bukankah Danau Toba tak ada? Lalu, apa yang harus dibanggakan Sumatera Utara? Bukankah Danau Toba telah mengangkat nama provinsi ini hingga ke tingkat dunia? Ah… terserahlah.(*)
23 Juli 2011