28 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Imigran Gelap Merajalela di Medan: Ada yang Kawin Kontrak

Imigran gelap yang memasuki Medan dan kota-kota sekitarnya semakin banyak.
Imigran gelap yang memasuki Medan dan kota-kota sekitarnya semakin banyak.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Imigran gelap pencari suaka kian meresahkan. Jumlahnya semakin banyak dan tak terdeteksi secara pasti. Yang lebih menjadi masalah, mereka menganggur tapi diberi upah tiap bulan. Padahal, warga pribumi harus banting tulang untuk mencari makan.

Kini mereka semakin berani muncul ke hadapan publik layaknya warga pribumi. Tak jarang, para pendatang haram ini nongkrong di kawasan kampus. Bahkan, berkendara tanpa menggunakan helm menerobos lampu merah layaknya warga yang tidak memahami tata tertib berlalu lintas.

Agaknya, Pemko Medan tidak melihat situasi yang kian meruncing ini. Alasannya, Pemko Medan tak memiliki otoritas untuk menindak para imigran sebab mereka dilindungi PBB, dan disetujui pemerintah pusat.

Demikian diungkapkan Sosiolog USU, Ruffino dalam rapat dengar pendapat di Komisi A DPRD Medan, Selasa (8/3) lalu. Ruffino yang sudah melakukan penelitian terhadap imigran illegal ini selama 5 tahun menyebutkan, saat ini ada ribuan orang yang menumpang hidup di Kota Medan dengan gaji setiap bulannya.

Hal ini jelas meresahkan dan akan menimbulkan kesenjangan sosial yang cukup dalam terlebih dengan adanya benturan budaya timur dengan asing.

“Mereka digaji UNCR/IOM Rp1,5 juta perbulan tanpa bekerja apa-apa. Jadi kalau mereka sekeluarga ada 1 suami, 1 istri, 2 anak, cuma tidur-tiduran di rumah mereka sudah punya Rp6 juta per bulan. Mereka bisa belanja makanan dan baju mewah,” kata Ruffino.

Sementara, kata Ruffino, orang pribumi bekerja sebagai tukang becak, kuli bangunan, sopir angkot bergaji tidak sampai Rp1 juta per bulan.  “Bahkan dosen pun tak segitu gajinya. Lalu tidak adakah kesenjangan sosial di sana,” kata Ruffino sembari berharap mata publik terbuka untuk memandang serius masalah ini.

Tak sampai di situ, fakta baru terungkap para imigran gelap ini sudah mulai mengawini anak-anak pribumi dengan sistem kawin kontrak, dengan menggunakan data identitas palsu, sudah punya rumah sendiri, berladang dan bahkan punya usaha laundry dan kebab mobile.

“Mereka posting di media sosial, memberitahu teman-temannya masuk Indonesia murah, mudah, enak bahkan bisa sukses punya usaha. Maka, berdatanganlah mereka dengan jumlah yang lebih banyak lagi ke negeri kita,” katanya.

Saat ini, kata Rufino terdeteksi 14 bangsa asing yang menjadi pendatang gelap di Indonesia. Dengan dominasi dari Somalia, Srilanka dan Afghanistan, dan 24 titik penampungan di seluruh Medan.

Imigran gelap yang memasuki Medan dan kota-kota sekitarnya semakin banyak.
Imigran gelap yang memasuki Medan dan kota-kota sekitarnya semakin banyak.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Imigran gelap pencari suaka kian meresahkan. Jumlahnya semakin banyak dan tak terdeteksi secara pasti. Yang lebih menjadi masalah, mereka menganggur tapi diberi upah tiap bulan. Padahal, warga pribumi harus banting tulang untuk mencari makan.

Kini mereka semakin berani muncul ke hadapan publik layaknya warga pribumi. Tak jarang, para pendatang haram ini nongkrong di kawasan kampus. Bahkan, berkendara tanpa menggunakan helm menerobos lampu merah layaknya warga yang tidak memahami tata tertib berlalu lintas.

Agaknya, Pemko Medan tidak melihat situasi yang kian meruncing ini. Alasannya, Pemko Medan tak memiliki otoritas untuk menindak para imigran sebab mereka dilindungi PBB, dan disetujui pemerintah pusat.

Demikian diungkapkan Sosiolog USU, Ruffino dalam rapat dengar pendapat di Komisi A DPRD Medan, Selasa (8/3) lalu. Ruffino yang sudah melakukan penelitian terhadap imigran illegal ini selama 5 tahun menyebutkan, saat ini ada ribuan orang yang menumpang hidup di Kota Medan dengan gaji setiap bulannya.

Hal ini jelas meresahkan dan akan menimbulkan kesenjangan sosial yang cukup dalam terlebih dengan adanya benturan budaya timur dengan asing.

“Mereka digaji UNCR/IOM Rp1,5 juta perbulan tanpa bekerja apa-apa. Jadi kalau mereka sekeluarga ada 1 suami, 1 istri, 2 anak, cuma tidur-tiduran di rumah mereka sudah punya Rp6 juta per bulan. Mereka bisa belanja makanan dan baju mewah,” kata Ruffino.

Sementara, kata Ruffino, orang pribumi bekerja sebagai tukang becak, kuli bangunan, sopir angkot bergaji tidak sampai Rp1 juta per bulan.  “Bahkan dosen pun tak segitu gajinya. Lalu tidak adakah kesenjangan sosial di sana,” kata Ruffino sembari berharap mata publik terbuka untuk memandang serius masalah ini.

Tak sampai di situ, fakta baru terungkap para imigran gelap ini sudah mulai mengawini anak-anak pribumi dengan sistem kawin kontrak, dengan menggunakan data identitas palsu, sudah punya rumah sendiri, berladang dan bahkan punya usaha laundry dan kebab mobile.

“Mereka posting di media sosial, memberitahu teman-temannya masuk Indonesia murah, mudah, enak bahkan bisa sukses punya usaha. Maka, berdatanganlah mereka dengan jumlah yang lebih banyak lagi ke negeri kita,” katanya.

Saat ini, kata Rufino terdeteksi 14 bangsa asing yang menjadi pendatang gelap di Indonesia. Dengan dominasi dari Somalia, Srilanka dan Afghanistan, dan 24 titik penampungan di seluruh Medan.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/