Belum genap setahun menjabat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan telah menjalankan sejumlah kebijakan strategis. Mulai pemberantasan narkotika, penumpasan terorisme, penuntasan masalah Papua, hingga tax amnesty. Berikut petikan wawancara Jawa Pos (Grup Sumut Pos) dengan Luhut menjelang waktu berbuka puasa di Jakarta, Selasa (7/6).
Seberapa berbahayakah narkotika sampai perlu diberlakukan status darurat narkoba?
(Menghela napas dalam-dalam) kalau ditanya itu, saya tegaskan, narkoba superbahaya. Saat ini jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah 5,9 juta orang. Itu yang ketahuan. Yang tidak terdeteksi bagaimana?
Apa yang harus dilakukan?
Saya rasa semua harus bertindak. Semua tokoh agama, pendidik, masyarakat harus bergerak bersama. Sebab, narkoba itu sudah menjerat siapa pun, dari agama apa pun, jabatan apa pun dan kelas apa pun. Mau Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau ateis sekalipun sudah ada yang terjerat narkoba. Saya rasa tidak ada yang mengklaim kelompoknya steril. Bupati dan kolonel pun sekarang terjerat narkoba. Teman saya ada yang (jenderal, Red) bintang tiga, dua anaknya kena narkoba.
Saya mengimbau kita semua duduk bersama. Melihat apa yang salah dari bangsa ini. Tiap hari 30–50 orang mati karena narkoba. HIV yang punya konektivitas dengan narkoba pun semakin meningkat. Di Papua yang terjangkit ada 2,4 persen, Papua Barat 3,2 persen, dan Jakarta 1,03 persen. Itu kan sudah epidemik.
Narkotika sudah menjadi hantu tersendiri di tengah masyarakat?
Ya! Menurut saya, narkoba ini persoalan penting yang harus dipikirkan bersama-sama. Teroris memang berbahaya, tapi bagi saya, narkoba jauh lebih menyeramkan. Korban teroris tidak ada apa-apanya dengan narkotika. Drugs is very-very dangerous. Ini lebih kejam daripada terorisme. Kalau begini terus, bagaimana anak-anak muda kita. Saya juga mikirin cucu saya. Makanya, saya terus keliling mengampanyekan ini. Saya ajak semua tokoh bersatu melawan narkoba.
Belakangan Bapak sering kampanye ke pondok pesantren?
Itu saya lakukan karena kerisauan saya. Pernah saya datang ke sebuah ponpes di Jember. Di akhir acara saya ditarik dan diajak bicara empat mata oleh pengasuh pesantren. Beliau bilang, dalam salatnya melihat wajah saya. Beliau memohon agar saya benar-benar turun menyikapi narkoba yang mulai masuk ke pesantren.