Genius sebagai pembuat pesawat. Presiden ketiga RI pada masa transisi Orde Baru ke reformasi. Setia dan romantis sebagai suami. Bacharuddin Jusuf Habibie akan terus menjadi inspirasi. Kepada Jawa Pos, menjelang ulang tahunnya yang ke-80 Jumat (25/6), dia berkisah tentang perjalanan hidupnya untuk menjadi pelajaran bagi anak bangsa.
—
Seperti semua orang, Habibie tidak bisa memilih siapa yang akan melahirkannya. Dia terpilih menjadi anak keempat pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo. Pasangan yang sejak menikah harus terusir dari keluarga besarnya. Alwi yang merupakan orang Bugis Gorontalo tidak bisa diterima keluarga Tuti yang ningrat Jogjakarta. Demikian pula sebaliknya.
’’Kenapa dulu menikah harus dengan saudara sendiri? Supaya tanah atau harta tidak jatuh ke orang lain. Makanya, sebisa mungkin menikah dengan sepupu atau kerabat dekat,’’ kata Habibie kepada Jawa Pos di Wisma Habibie-Ainun, Kawasan Patra Kuningan, Jakarta, Minggu (19/6).
’’Karena itu, ketika Papi saya yang Bugis menikahi Mami yang Jawa, keluarga besar memusuhi,’’ lanjutnya dengan mata terbuka lebar.
Tuti, seorang siswa HBS (sekolah menengah zaman kolonial), berkenalan dengan Alwi yang tengah belajar di Sekolah Pertanian Bogor. Cinta pun bersemi. Mereka lantas memutuskan untuk menikah. Bahwa kedua keluarga besar menolak, mereka tetap ngotot.
Karena tidak diterima keluarga besar, mereka memilih hidup mandiri. Meninggalkan rumah orang tua di Gorontalo. Dengan bekal pendidikannya yang sangat tinggi ketika itu, Alwi memboyong keluarganya untuk tinggal di Parepare, tempat dia bekerja sebagai ahli pertanian. Tuti memilih menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak mereka di rumah
Meski harus jauh dari keluarga, Alwi dan Tuti bisa hidup dengan tenteram serta berkecukupan. Banyak anak banyak rezeki. Mereka membimbing anak-anaknya dalam suasana intelektual dan keagamaan yang tinggi.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Alwi pergi terlalu cepat karena serangan jantung. Pada 13 September 1950, dia meninggal dalam usia masih 42 tahun. Ketika itu, mereka sudah tinggal di Makassar. Tuti yang saat itu hamil tujuh bulan harus menghidupi tujuh anak seorang diri.
’’Demi Allah, seluruh anak-anak akan kusekolahkan setinggi-tingginya dengan biaya dan keringatku sendiri,’’ kata Habibie mengenang janji maminya ketika itu.
Masih dalam suasana berduka tidak lantas membuat Tuti segan untuk menunaikan janji kepada almarhum suaminya. Baru berselang beberapa hari dari peringatan 40 hari meninggalnya Alwi, Tuti mengirimkan Rudy, sapaan Habibie, ke Jakarta. Tujuannya, Habibie mendapatkan sekolah yang lebih baik.
Padahal, ketika itu Habibie yang kelahiran 25 Juni 1936 baru berusia 14 tahun. Dia harus berlayar selama tiga hari seorang diri. Bocah bertubuh kecil itu hanya berbekal foto pamannya, Subarjo, yang akan menjemputnya di Tanjung Priok.