Pekan Depan Syamsul Divonis
JAKARTA- Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin kembali nyeleneh. Jika biasanya para terdakwa kasus korupsi di pengadilan tipikor menyampaikan pledoi yang disiapkan secara tertulis, tidak demikian halnya dengan Syamsul.
Mantan Bupati Langkat itu dengan tutur kata spontan mengalir, menyampaikan isi hatinya kepada majelis hakim pengadilan tipikor yang diketuai Tjokorda Rae Suamba tanpa teks.
Secara lisan, dengan suara agak parau khas orang sakit, Syamsul pun tidak meminta vonis bebas. Ini juga keunikan, lantaran biasanya terdakwa minta dibebaskan.
“Saya tidak minta dibebaskan, karena sebagai pemimpin pasti harus ada beban tanggung jawab. Saya minta hukuman yang ringan. Saya sudah sakit. Dihukum, hukumlah, tapi yang sangat wajar,” ujar Syamsul, dalam persidangan di pengadilan tipikor Jakarta, Senin (1/8).
Syamsul mengaku tidak keberatan jika dinyatakan bersalah. Hanya saja, jika kesalahan yang dimaksud terkait dengan kelalaiannya sebagai bupati, bukan kesalahan karena korupsi.
Syamsul terang-terangan keberatan dengan pasal di dakwaan primer dan dituntutkan kepadanya, yakni pasal 2 ayat (1) Jo.pasal 18 UU No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal ini tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dengan ancaman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Saya keberatan pasal 2 dikenakan kepada saya. Saya sudah sampaikan saya bertanggung jawab atas kelalaian saya,” ujar Syamsul, seraya menambahkan dirinya tidak keberatan jika dikenakan pasal 3 UU 31/99 itu. Pasal 3 ini menyangkut penyalahgunaan kewenangan, dengan ancaman penjara paling singkat setahun.
Pria kelahiran 5 September 1952 itu berkali-kali menegaskan, dirinya bukanlah koruptor. Kepada stafnya di Pemkab Langkat, kata Syamsul, dia tak pernah memerintahkan pungli atau pun main proyek.
Syamsul juga mengklaim, hingga saat ini dirinya masih dihormati masyakarat Langkat. “Sampai dengan hari ini masyarakat Langkat masih menghormati saya. Mereka tak percaya saya korupsi,” ujar Syamsul, yang masuk ke Rutan Salemba, Jakarta, pada 22 Oktober 2010 itu. Bahkan, dia mengaku sejak dulu juga mendukung KPK. Dia mencontohkan, sesaat menjadi gubernur Sumut, dirinya ikut meneken fakta integritas antikorupsi.
Politisi senior Partai Golkar yang biasa dipanggil ‘Datuk’ itu kemarin datang ke pengadilan tipikor masih dengan kursi roda. Bahkan, di kepala bagian kiri dan belakang, masih tertempel kapas, pertanda dia masih dalam perawatan tim medis RS Abdi Waluyo. Dia masih didampingi dr Sutrisno, spesialis jantung dan penyakit dalam, dan satu perawat.
Sebelum menyampaikan pendapatnya, Syamsul diingatkan hakim Tjokorda agar tidak emosional.
Syamsul mendapat giliran menyampaikan pembelaannya, setelah tim kuasa hukumnya menyampaikan pledoi yang sudah disiapkan, yang tebalnya 300-an halaman. Hanya saja, yang dibaca hanya poin-poin penting saja sebanyak 14 halaman.
Tim Kuasa hukum Syamsul meminta majelis hakim menyatakan Syamsul bebas. Alasannya, apa yang didakwakan jaksa lebih merupakan ranah hukum administrasi negara, bukan pidana apalagi korupsi. Pengembalian uang Rp67 miliar ke kas Pemkab Langkat pun sudah dilakukan, berdasar saran Ketua BPK saat itu, Anwar Nasution. “Jika JPU memahami, maka tidak akan serta merta menuntut dan menyebut ada kerugian negara,” ujar Samsul Huda, kuasa hukum Syamsul, saat membacakan pledoi.
Kalau toh hakim punya pendapat lain, kata Huda, maka diminta untuk mengoreksi lagi besarnya kerugian negara.
Menurut kuasa hukum Syamsul, materi tuntutan JPU terkait besarnya uang kerugian negara, masih sama dengan yang tecantum di dakwaan, yakni Rp98,7 miliar. Padahal, kata anggota kuasa hukum Syamsul, Samsul Huda, para saksi-saksi yang dihadirkan selama persidangan, membantah bukti-bukti yang diajukan JPU.
“Perlu koreksi menyeluruh terkait jumlah kerugian negara, Yang Mulia. Jumlah kerugian negara masih menggunakan kondisi sebelum persidangan,” ujar Huda.
Menurut hitung-hitungan kuasa hukum Syamsul, kalau toh dinyatakan bersalah, maka uang yang harus dikembalikan hanya Rp30,6 miliar. “Karena itu yang dipakai untuk keperluan pribadi dan keluarganya,” ujar Huda.
Namun, jika yang dijadikan rujukan hitungan adalah catatan Buyung Ritonga, uang yang harus dikembalikan Syamsul Rp51,3 miliar. Kuasa hukum Syamsul juga minta agar uang Rp67 miliar yang diserahkan ke kas Pemkab Langkat itu dikembalikan, setelah dipotong kewajiban pengembalian kerugian negara Rp30,6 miliar atau Rp51,3 miliar. Rumah di kawasan Pejaten yang disita KPK, juga diminta untuk dikembalikan.
Diberitakan sebelumnya, dalam perkara ini Syamsul dituntut 5 tahun penjara. JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga meminta majelis hakim dalam putusannya nanti mewajibkan Syamsul membayar kekurangan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp8,218 miliar. Jumlah ini lantaran dari Rp98,7 uang kerugian negara, yang langsung berkaitan dengan Syamsul totalnya Rp88,218 miliar.
Sementara, sejak sebelum proses penyidikan dilakukan hingga proses penuntutan, jumlah uang yang sudah dikembalikan Syamsul dan pihak-pihak lain yang pernah menerima kucuran dana APBD Langkat atas perintah Syamsul, sudah mencapai Rp80 miliar. Ketua majelis hakim, Tjokorda Rae Suamba, menyatakan sidang akan dilanjutkan pada Senin 15 Agustus 2011, dengan agenda pembacaan putusan atau vonis. (sam)