30 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Ingin jadi Tentara, Murid SMP Ini Tersedu-sedu saat Perban di Matanya Dibuka

Foto: Dame/Sumut Pos Feri Agusti Lubis, murid kelas I SMP, penderita katarak sesaat sebelum perban yang menutup mata kanannya yang dioperasi, dibuka. Ia didampingi ayahnya, Burhanuddin Lubis, di RS Tentara Padangsidimpuan, Jumat (9/12/2016).
Foto: Dame/Sumut Pos
Feri Agusti Lubis, murid kelas I SMP, penderita katarak sesaat sebelum perban yang menutup mata kanannya yang dioperasi, dibuka. Ia didampingi ayahnya, Burhanuddin Lubis, di RS Tentara Padangsidimpuan, Jumat (9/12/2016).

Hobi anak ini nonton film perang. Salahsatunya Rambo. Ia suka membayangkan dirinya menembak orang jahat. Sayang, matanya kena katarak. Tak heran jika ia berharap banyak dari operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di Padangsidimpuan. Namun saat perban di matanya dibuka, ia malah tersedu-sedu. Mengapa?

————————————————-
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
————————————————-
Anaknya agak pendiam. Saat digoda, ia selalu tampak berusaha menahan senyum. Jika tak tahan, barulah senyumnya muncul malu-malu. Hasilnya malah jadi menggemaskan.

Namanya Feri Agusti Lubis. Usianya 13 tahun, duduk di kelas 1 SMP Muhammadiyah Panyabungan, Kabupaten Madina, Sumut.

Meski masih ABG, anak kedua dati 6 bersaudara ini ikut duduk di antara ratusan lansia yang ikut operasi katarak gratis ‘Buka Mata Lihat Indahnya Dunia’ yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan. Operasi ini digelar bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan.

Oo… sakit katarakkah dia?
“Iya… tahun 2014 lalu matanya terkena pecahan keramik saat bermain. Sejak itulah di matanya mulai tumbuh katarak,” jelas ayahnya, Basanuddin Lubis (42), seorang pekerja bangunan, yang ikut mendampingi anaknya operasi.

Meski mata kanannya jadi kabur, Feri tetap aktif dengan kegiatan sekolah. Tentu saja dengan mengandalkan mata kiri. Ia ikut kegiatan sepakbola, pramuka, bahkan pencak silat. Hanya saja prestasi akademiknya agak menurun.

“Sebelumnya masuk lima besar kelas, sekarang 10 besar,” kata ayahnya yang tinggal di Desa Hutabangun Kecamatan Bukit Malintang Madina, Sumut ini.

Mengaku mengagumi pesepakbola Cristiano Ronaldo, bocah yang suka pelajaran Bahasa Indonesia ini berharap bisa jadi tentara setelah besar nanti.

Mengapa tentara?
Jawabnya, ia melihat sosok tentara itu gagah, dan bisa menembak penjahat seperti di film-film Hollywood.

“Laa… menembak penjahat ‘kan kerjaan polisi, Dek? Kalau tentara, kerjanya menembak musuh. Nah.. nggak pengen jadi polisi aja?”
Ditanya begitu, Feri tampak bingung. Namun setelah ditanya ulang, ternyata ia tetap memilih jadi tentara saja. Hahaha…

Masalahnya, cita-cita itu tampak semakin samar sejak mata kanannya makin lama makin rabun. Dan jika ia berlari kencang, kepalanya terasa sakit.

“Makin lama, ia makin pendiam dan kulihat agak minder pada teman sebayanya. Padahal sebelum katarak, ia cukup aktif bergaul. Sebagai ayah, tentu saja hati saya ikut sedih,” lirih Basanuddin mewakili anaknya yang lebih banyak diam.

Guru ngajinya, Nurmawati Lubis (58), yang juga ikut dioperasi katarak, mengatakan Feri dulunya rajin ngaji. “Ia  sudah pintar baca alquran. Tapi sejak katarak.. jadi jarang datang,” timpalnya.

Untuk menyemangati anaknya yang semakin lama semakin menarik diri, Basanuddin berulangkali berusaha mengobati. Mengingat biaya operasi katarak mencapai jutaan rupiah, ia pun beralih ke pengobatan tradisional.

“Pernah mencoba rumput-rumputan. Seperti meneteskan getah bunga kumis kucing ke mata, getah bunga katarak, daun sirih, bunga terawak. Tapi nggak ada yang berhasil,” tuturnya.

Meski berulangkali gagal, ia tetap meyakinkan anaknya bahwa suatu saat matanya pasti akan sembuh.

Tahun lalu, ia sempat mendapat informasi dari Pak Koramil mengenai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe saat itu. Sayang, saat itu dirinya lagi sibuk kerja bangunan di luar kota. “Baru inilah bisa bawa anakku ikut,” sebutnya.

Saat Feri ditanya mau ikut operasi katarak, ia langsung mengiyakan penuh semangat.

“Malam sebelum berangkat, ia telah sibuk mempersiapkan baju yang mau dipakai. Pada hari H, pagi-pagi jam 5 ia sudah bangun dan mandi. Barulah kami dibangunkan,” ungkap sang ayah sembari tersenyum lebar.

Foto: Dame/Sumut Pos Feri Agusti Lubis, murid kelas I SMP, penderita katarak sesaat sebelum perban yang menutup mata kanannya yang dioperasi, dibuka. Ia didampingi ayahnya, Burhanuddin Lubis, di RS Tentara Padangsidimpuan, Jumat (9/12/2016).
Foto: Dame/Sumut Pos
Feri Agusti Lubis, murid kelas I SMP, penderita katarak sesaat sebelum perban yang menutup mata kanannya yang dioperasi, dibuka. Ia didampingi ayahnya, Burhanuddin Lubis, di RS Tentara Padangsidimpuan, Jumat (9/12/2016).

Hobi anak ini nonton film perang. Salahsatunya Rambo. Ia suka membayangkan dirinya menembak orang jahat. Sayang, matanya kena katarak. Tak heran jika ia berharap banyak dari operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di Padangsidimpuan. Namun saat perban di matanya dibuka, ia malah tersedu-sedu. Mengapa?

————————————————-
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
————————————————-
Anaknya agak pendiam. Saat digoda, ia selalu tampak berusaha menahan senyum. Jika tak tahan, barulah senyumnya muncul malu-malu. Hasilnya malah jadi menggemaskan.

Namanya Feri Agusti Lubis. Usianya 13 tahun, duduk di kelas 1 SMP Muhammadiyah Panyabungan, Kabupaten Madina, Sumut.

Meski masih ABG, anak kedua dati 6 bersaudara ini ikut duduk di antara ratusan lansia yang ikut operasi katarak gratis ‘Buka Mata Lihat Indahnya Dunia’ yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan. Operasi ini digelar bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan.

Oo… sakit katarakkah dia?
“Iya… tahun 2014 lalu matanya terkena pecahan keramik saat bermain. Sejak itulah di matanya mulai tumbuh katarak,” jelas ayahnya, Basanuddin Lubis (42), seorang pekerja bangunan, yang ikut mendampingi anaknya operasi.

Meski mata kanannya jadi kabur, Feri tetap aktif dengan kegiatan sekolah. Tentu saja dengan mengandalkan mata kiri. Ia ikut kegiatan sepakbola, pramuka, bahkan pencak silat. Hanya saja prestasi akademiknya agak menurun.

“Sebelumnya masuk lima besar kelas, sekarang 10 besar,” kata ayahnya yang tinggal di Desa Hutabangun Kecamatan Bukit Malintang Madina, Sumut ini.

Mengaku mengagumi pesepakbola Cristiano Ronaldo, bocah yang suka pelajaran Bahasa Indonesia ini berharap bisa jadi tentara setelah besar nanti.

Mengapa tentara?
Jawabnya, ia melihat sosok tentara itu gagah, dan bisa menembak penjahat seperti di film-film Hollywood.

“Laa… menembak penjahat ‘kan kerjaan polisi, Dek? Kalau tentara, kerjanya menembak musuh. Nah.. nggak pengen jadi polisi aja?”
Ditanya begitu, Feri tampak bingung. Namun setelah ditanya ulang, ternyata ia tetap memilih jadi tentara saja. Hahaha…

Masalahnya, cita-cita itu tampak semakin samar sejak mata kanannya makin lama makin rabun. Dan jika ia berlari kencang, kepalanya terasa sakit.

“Makin lama, ia makin pendiam dan kulihat agak minder pada teman sebayanya. Padahal sebelum katarak, ia cukup aktif bergaul. Sebagai ayah, tentu saja hati saya ikut sedih,” lirih Basanuddin mewakili anaknya yang lebih banyak diam.

Guru ngajinya, Nurmawati Lubis (58), yang juga ikut dioperasi katarak, mengatakan Feri dulunya rajin ngaji. “Ia  sudah pintar baca alquran. Tapi sejak katarak.. jadi jarang datang,” timpalnya.

Untuk menyemangati anaknya yang semakin lama semakin menarik diri, Basanuddin berulangkali berusaha mengobati. Mengingat biaya operasi katarak mencapai jutaan rupiah, ia pun beralih ke pengobatan tradisional.

“Pernah mencoba rumput-rumputan. Seperti meneteskan getah bunga kumis kucing ke mata, getah bunga katarak, daun sirih, bunga terawak. Tapi nggak ada yang berhasil,” tuturnya.

Meski berulangkali gagal, ia tetap meyakinkan anaknya bahwa suatu saat matanya pasti akan sembuh.

Tahun lalu, ia sempat mendapat informasi dari Pak Koramil mengenai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe saat itu. Sayang, saat itu dirinya lagi sibuk kerja bangunan di luar kota. “Baru inilah bisa bawa anakku ikut,” sebutnya.

Saat Feri ditanya mau ikut operasi katarak, ia langsung mengiyakan penuh semangat.

“Malam sebelum berangkat, ia telah sibuk mempersiapkan baju yang mau dipakai. Pada hari H, pagi-pagi jam 5 ia sudah bangun dan mandi. Barulah kami dibangunkan,” ungkap sang ayah sembari tersenyum lebar.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/