26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kesal dengan Dokter yang hanya Berceramah

Kisah Yaimun, Mengabdi jadi Kepala daerah di Kampung Idiot

Jika di desa lain, menjadi kepala desa (kades) adalah jabatan menggiurkan hingga sampai diperebutkan, mungkin itu tidak berlaku di Desa Pandak, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Selain sangat miskin, desa ini adalah salah satu kawasan yang banyak dihuni warga idiot.

DHIMAS GINANJAR, Ponorogo

PRIA itu masih muda, umurnya 38 tahun. Perawakannya tegap. Dialah Yaimun, dan sudah tiga tahun ini menjabat sebagai Kepala Desa Pandak, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo.

Di kalangan warganya, Yaimun dikenal dengan motornya, yakni sebuah Honda Win. Jika ada suara motor yang terdengar dari kejauhan, meski belum lihat siapa yang mengendarai motor itu, warga sudah bisa menebak, pasti lah itu Pak Kades Yaimun. “Karena yang punya motor di sini sangat jarang. Bisa dihitung dengan jari. Apalagi, suara motor saya nggak ada yang menyamai,” kata bapak satu anak itu, sambil tertawa ngakak.

Dengan motor itu lah, Yaimun secara berkala mengunjungi warganya. Secara keseluruhan, medan di Desa Pandak sangat tidak ramah untuk dilalui kendaraan bermotor. Warga di sana, lebih suka berjalan kaki untuk bepergian. Maklum, jalan desa yang memiliki luas 10,185 ha itu masih berupa tanah dengan medan tanjakan dan turunan ekstrim. “Dengan motor saya ini, saya bisa sampai ke pucuk-pucuk gunung,” kata Yaimun membanggakan motor kesayangannya itu.

Kondisi Desa Pandak memang memprihatinkan. Lebih dari 90 persen wilayahnya berupa tanah liat. Rumah-rumah penduduk di sana, hampir semuanya tak ada yang berdinding tembok. Kebanyakan berdinding kayu atau gedek (anyaman bambu). Alas rumah pun dibiarkan seadanya, berupa tanah, tanpa ada ubin, apalagi keramik.

Menjadi kepala desa yang wilayahnya banyak dihuni warga idiot (down syndrome) atau alami keterbelakangan mental, menjadi tantangan tersendiri bagi Yaimun. “Yang bisa saya lakukan, hanya mengunjungi mereka, sambil mengusahakan bantuan untuk mereka,” kata pria lulusan STM ini. Dari data yang ada, jumlah warga idiot di Desa Pandak 53 orang. Mereka terdiri dari usia balita hingga 35 tahun.

Siang itu (3/3), Jawa Pos (grup Sumut Pos) diajak mengunjungi beberapa warga Yaimun yang mengidap keterbelakangan mental dengan mengendarai motornya. Tempat pertama yang didatangi adalah keluarga pasangan Misman (30) dan Jarmiatin (27). Pasangan suami-isteri ini sungguh kasihan. Selain miskin, anak mereka satu-satunya, Sahrul Rosikin (7) tumbuh tidak normal. “Kadang, dia suka kejang dan tubuhnya membiru seperti pasien jantung bocor,” kata Yaimun.

Selain itu, tangan dan kaki Sahrul mengecil. Ukuran yang tidak proporsional itu membuat tangan dan kakinya tidak berfungsi. Ketika ditanya Jawa Pos, pandangan kosong Jarmiatin lantas tertuju ke kandang ternak yang ada di sisi kanan rumahnya.

Dia menceritakan proses bagaimana Sahrul yang ada dalam pangkuannya itu lahir. Dia masih ingat betul, saat kehamilan anaknya, dia tidak banyak mengkonsumsi makanan bergizi. “Setiap hari makan tiwul (makanan dari singkong) tanpa susu atau makanan tambahan,” kenangnya, sedih.

Saat itu dia sangat khawatir, anaknya bakal mengalami cacat saat lahir. Apalagi, dia juga tahu bahwa banyak warga lainnya punya anak idiot. Ketika Sahrul lahir, Jarmiatin sempat merasa lega. “Saat itu, saya bersyukur, bayi saya seperti bayi normal,” katanya. Namun, semua itu berubah saat usia anaknya menginjak lima bulan. “Dia kejang dan membiru. Di bawa ke dokter, katanya saraf otak yang kena,” imbuhnya.

Karena didera kemiskinan, membuat dia dan suaminya tidak bisa berbuat banyak. Dia pun merawat Sahrul semampunya. “Suami saya cuma kuli bangunan. Tahun ini maunya saya membawa anak saya ke dokter. Tapi, panen gagal,” lanjutnya.

Gara-gara kepahitan hidup itulah, Jarmiatin mengaku trauma kalau ingin punya anak lagi. Dia masih takut mengandung dalam kondisi miskin meski dia sadar harus punya anak lagi untuk melanjutkan keturunan. “Kami takut, kalau punya anak lagi, nanti cacat,” ujarnya.

Setelah dari rumah Jarmiatin, Jawa Pos lantas diajak ke rumah Janem. Perempuan 70 tahun itu tinggal dengan dua anaknya yang sama-sama idiot. Mereka adalah Bandi (43) dan Jemari (40). Saat Jawa Pos bertamu ke rumah Janem, Bandi dan Jemari sedang duduk-duduk santai di dapur. Keduanya selalu tertawa. Kadang, Bandi dan Jemari bergantian mengejar ayam, sambil terus tertawa. “Ya seperti itu mereka setiap hari,” kata Janem.

Menurut Yaimun, keluarga Janem adalah salah satu keluarga yang dia pantau hampir setiap hari. “Saya selalu mengecek persediaan makanannya. Kalau mau habis, saya carikan bantuan,” ujar Yaimun yang asli warga Desa Pandak ini.

Seperti itu lah aktivitas Yaimun selama menjabat Kades. Ketika ditanya, apa yang membuatnya tertarik menjadi Kades, dia tak langsung menjawab. Tak lama berselang, dia menjawab, “Sejak saya kecil sampai sekarang, kondisi di desa ini tak banyak berubah. Ini lah yang membuat saya tertantang untuk maju menjadi Kades. Saya ingin membangun desa ini,” katanya bersemangat.

Berbagai proposal untuk pembangunan di desanya sudah banyak dia bikin. Tetapi, cibiran dan tidak diindahkannya proposal itulah yang kerap dia dapat. Padahal, permintaan pria kelahiran 1973 itu cukup sederhana: segera dibangun akses jalan untuk transportasi. “Percuma diberi bantuan makan, kalau kami tetap terisolasi di sini,” paparnya.
Desa Pandak memang seperti terisolir. Memasuki kawasan itu pengunjung harus melewati jalan yang cukup panjang yang kanan kirinya berupa sawah atau hutan. Sembako sudah masuk ke Pandak meski akses transportasi sulit. “Butuh sedikitinya 8 km perjalanan untuk bisa dapat sembako,” jelasnya.

Tidak hanya itu, minimnya akse transportasi juga membuat 3.980 warga di desa itu terkungkung di wilayahnya. Roda perekonomian jelas macet karena warga tidak bisa leluasa menjual hasil sawah mereka. Untuk jagung misalnya, di Pandak harga sekilonya hanya Rp 2.000. Padahal, di luar desa bisa ditebus hingga Rp 3.200. “Jual beli hanya berputar di dalam desa,” terangnya.

Musim kemarau dinilai Yaimun lebih parah. Semua pohon dikawasan Pandak akan kering. Air menjadi sulit untuk dicari. Saat musim hujan seperti ini  saja, satu sumur yang memiliki kedalaman hingga 30 meter digunakan ramai-ramai oleh warga hingga radius 300 meter. “Di sini memang serba susah,” tuturnya.
Oleh sebab itu, sebagai putera daerah, Yaimun punya keinginan agar desanya segera dibangun jalan. Saat ini, dari total 15 km akses jalan, yang diaspal baru 500 meter. Jalan makadam sekitar 10 km dan sisanya masih berupa tanah liat. Perkembangan desa dinilainya sangat lambat.

Dia juga pernah merasa kesal. Saat tim dokter pernah datang ke Pandak beberapa waktu yang lalu. Yaimun kesal karena dokter itu tidak membawa obat-obatan. Melainkan hanya memberi ceramah kepada warganya. Padahal, untuk datang ke lokasi pertemuan itu warganya harus berjalan kaki cukup jauh. Warga juga dikatakannya banyak yang kesal saat itu.

Meski demikian, sebagai Kades dia mengaku kerap terhibur juga dengan keberadaan warga yang menderita down syndrome. Saat ada kritik pedas akan pekerjaannya, dia berkunjung ke warganya yang sakit itu. Beban dan penat yang ada bisa langsung hilang melihat senyum atau tingkah warganya yang punya keterbelakangan mental itu. “Melihat mereka, membuat saya bersyukur. Karena saya bisa hidup normal seperti ini,” katanya lantas tersenyum.(kum/jpnn)

Kisah Yaimun, Mengabdi jadi Kepala daerah di Kampung Idiot

Jika di desa lain, menjadi kepala desa (kades) adalah jabatan menggiurkan hingga sampai diperebutkan, mungkin itu tidak berlaku di Desa Pandak, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Selain sangat miskin, desa ini adalah salah satu kawasan yang banyak dihuni warga idiot.

DHIMAS GINANJAR, Ponorogo

PRIA itu masih muda, umurnya 38 tahun. Perawakannya tegap. Dialah Yaimun, dan sudah tiga tahun ini menjabat sebagai Kepala Desa Pandak, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo.

Di kalangan warganya, Yaimun dikenal dengan motornya, yakni sebuah Honda Win. Jika ada suara motor yang terdengar dari kejauhan, meski belum lihat siapa yang mengendarai motor itu, warga sudah bisa menebak, pasti lah itu Pak Kades Yaimun. “Karena yang punya motor di sini sangat jarang. Bisa dihitung dengan jari. Apalagi, suara motor saya nggak ada yang menyamai,” kata bapak satu anak itu, sambil tertawa ngakak.

Dengan motor itu lah, Yaimun secara berkala mengunjungi warganya. Secara keseluruhan, medan di Desa Pandak sangat tidak ramah untuk dilalui kendaraan bermotor. Warga di sana, lebih suka berjalan kaki untuk bepergian. Maklum, jalan desa yang memiliki luas 10,185 ha itu masih berupa tanah dengan medan tanjakan dan turunan ekstrim. “Dengan motor saya ini, saya bisa sampai ke pucuk-pucuk gunung,” kata Yaimun membanggakan motor kesayangannya itu.

Kondisi Desa Pandak memang memprihatinkan. Lebih dari 90 persen wilayahnya berupa tanah liat. Rumah-rumah penduduk di sana, hampir semuanya tak ada yang berdinding tembok. Kebanyakan berdinding kayu atau gedek (anyaman bambu). Alas rumah pun dibiarkan seadanya, berupa tanah, tanpa ada ubin, apalagi keramik.

Menjadi kepala desa yang wilayahnya banyak dihuni warga idiot (down syndrome) atau alami keterbelakangan mental, menjadi tantangan tersendiri bagi Yaimun. “Yang bisa saya lakukan, hanya mengunjungi mereka, sambil mengusahakan bantuan untuk mereka,” kata pria lulusan STM ini. Dari data yang ada, jumlah warga idiot di Desa Pandak 53 orang. Mereka terdiri dari usia balita hingga 35 tahun.

Siang itu (3/3), Jawa Pos (grup Sumut Pos) diajak mengunjungi beberapa warga Yaimun yang mengidap keterbelakangan mental dengan mengendarai motornya. Tempat pertama yang didatangi adalah keluarga pasangan Misman (30) dan Jarmiatin (27). Pasangan suami-isteri ini sungguh kasihan. Selain miskin, anak mereka satu-satunya, Sahrul Rosikin (7) tumbuh tidak normal. “Kadang, dia suka kejang dan tubuhnya membiru seperti pasien jantung bocor,” kata Yaimun.

Selain itu, tangan dan kaki Sahrul mengecil. Ukuran yang tidak proporsional itu membuat tangan dan kakinya tidak berfungsi. Ketika ditanya Jawa Pos, pandangan kosong Jarmiatin lantas tertuju ke kandang ternak yang ada di sisi kanan rumahnya.

Dia menceritakan proses bagaimana Sahrul yang ada dalam pangkuannya itu lahir. Dia masih ingat betul, saat kehamilan anaknya, dia tidak banyak mengkonsumsi makanan bergizi. “Setiap hari makan tiwul (makanan dari singkong) tanpa susu atau makanan tambahan,” kenangnya, sedih.

Saat itu dia sangat khawatir, anaknya bakal mengalami cacat saat lahir. Apalagi, dia juga tahu bahwa banyak warga lainnya punya anak idiot. Ketika Sahrul lahir, Jarmiatin sempat merasa lega. “Saat itu, saya bersyukur, bayi saya seperti bayi normal,” katanya. Namun, semua itu berubah saat usia anaknya menginjak lima bulan. “Dia kejang dan membiru. Di bawa ke dokter, katanya saraf otak yang kena,” imbuhnya.

Karena didera kemiskinan, membuat dia dan suaminya tidak bisa berbuat banyak. Dia pun merawat Sahrul semampunya. “Suami saya cuma kuli bangunan. Tahun ini maunya saya membawa anak saya ke dokter. Tapi, panen gagal,” lanjutnya.

Gara-gara kepahitan hidup itulah, Jarmiatin mengaku trauma kalau ingin punya anak lagi. Dia masih takut mengandung dalam kondisi miskin meski dia sadar harus punya anak lagi untuk melanjutkan keturunan. “Kami takut, kalau punya anak lagi, nanti cacat,” ujarnya.

Setelah dari rumah Jarmiatin, Jawa Pos lantas diajak ke rumah Janem. Perempuan 70 tahun itu tinggal dengan dua anaknya yang sama-sama idiot. Mereka adalah Bandi (43) dan Jemari (40). Saat Jawa Pos bertamu ke rumah Janem, Bandi dan Jemari sedang duduk-duduk santai di dapur. Keduanya selalu tertawa. Kadang, Bandi dan Jemari bergantian mengejar ayam, sambil terus tertawa. “Ya seperti itu mereka setiap hari,” kata Janem.

Menurut Yaimun, keluarga Janem adalah salah satu keluarga yang dia pantau hampir setiap hari. “Saya selalu mengecek persediaan makanannya. Kalau mau habis, saya carikan bantuan,” ujar Yaimun yang asli warga Desa Pandak ini.

Seperti itu lah aktivitas Yaimun selama menjabat Kades. Ketika ditanya, apa yang membuatnya tertarik menjadi Kades, dia tak langsung menjawab. Tak lama berselang, dia menjawab, “Sejak saya kecil sampai sekarang, kondisi di desa ini tak banyak berubah. Ini lah yang membuat saya tertantang untuk maju menjadi Kades. Saya ingin membangun desa ini,” katanya bersemangat.

Berbagai proposal untuk pembangunan di desanya sudah banyak dia bikin. Tetapi, cibiran dan tidak diindahkannya proposal itulah yang kerap dia dapat. Padahal, permintaan pria kelahiran 1973 itu cukup sederhana: segera dibangun akses jalan untuk transportasi. “Percuma diberi bantuan makan, kalau kami tetap terisolasi di sini,” paparnya.
Desa Pandak memang seperti terisolir. Memasuki kawasan itu pengunjung harus melewati jalan yang cukup panjang yang kanan kirinya berupa sawah atau hutan. Sembako sudah masuk ke Pandak meski akses transportasi sulit. “Butuh sedikitinya 8 km perjalanan untuk bisa dapat sembako,” jelasnya.

Tidak hanya itu, minimnya akse transportasi juga membuat 3.980 warga di desa itu terkungkung di wilayahnya. Roda perekonomian jelas macet karena warga tidak bisa leluasa menjual hasil sawah mereka. Untuk jagung misalnya, di Pandak harga sekilonya hanya Rp 2.000. Padahal, di luar desa bisa ditebus hingga Rp 3.200. “Jual beli hanya berputar di dalam desa,” terangnya.

Musim kemarau dinilai Yaimun lebih parah. Semua pohon dikawasan Pandak akan kering. Air menjadi sulit untuk dicari. Saat musim hujan seperti ini  saja, satu sumur yang memiliki kedalaman hingga 30 meter digunakan ramai-ramai oleh warga hingga radius 300 meter. “Di sini memang serba susah,” tuturnya.
Oleh sebab itu, sebagai putera daerah, Yaimun punya keinginan agar desanya segera dibangun jalan. Saat ini, dari total 15 km akses jalan, yang diaspal baru 500 meter. Jalan makadam sekitar 10 km dan sisanya masih berupa tanah liat. Perkembangan desa dinilainya sangat lambat.

Dia juga pernah merasa kesal. Saat tim dokter pernah datang ke Pandak beberapa waktu yang lalu. Yaimun kesal karena dokter itu tidak membawa obat-obatan. Melainkan hanya memberi ceramah kepada warganya. Padahal, untuk datang ke lokasi pertemuan itu warganya harus berjalan kaki cukup jauh. Warga juga dikatakannya banyak yang kesal saat itu.

Meski demikian, sebagai Kades dia mengaku kerap terhibur juga dengan keberadaan warga yang menderita down syndrome. Saat ada kritik pedas akan pekerjaannya, dia berkunjung ke warganya yang sakit itu. Beban dan penat yang ada bisa langsung hilang melihat senyum atau tingkah warganya yang punya keterbelakangan mental itu. “Melihat mereka, membuat saya bersyukur. Karena saya bisa hidup normal seperti ini,” katanya lantas tersenyum.(kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/