29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Syamsul Tuntut Rp38 M dari Penikmat Uang Langkat

JAKARTA-Sejumlah pihak yang menikmati kucuran uang APBD Langkat 2000-2007, tampaknya masih belum bisa tidur nyaman. Pasalnya, masih cukup besar dana yang mereka nikmati, yang hingga persidangan perkara korupsi APBD Langkat diputus 15 Agustus 2011 lalu, belum dikembalikan ke kas negara cq kas Pemkab Langkat melalui penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Total ada Rp41,257 miliar aliran dana APBD sepanjang 2000-2007, yang dinikmati sejumlah pihak, diluar yang dinikmati Syamsul Arifin dan keluarganya. Dari mana angka itu? Seperti bunyi putusann
kerugian negara cq Pemkab Langkat adalah Rp98,716 miliar.

Dari jumlah itu, yang dinyatakan dinikmati Syamsul dan keluarganya adalah Rp57,449 miliar. Dengan demikian, sisanya, Rp41,257 miliar, masuk kantong pihak lain.

Selama proses penyidikan di KPK, pihak lain yang ikut menikmati uang rakyat Langkat itu baru mengembalikan Rp2,9 miliar ke penyidik. Dengan demikian, masih ada kekurangan alias ‘utang’ ke rakyat Langkat sebesar Rp38,357 miliar.
Pihak Syamsul Arifin pun mendesak agar mereka mengembalikan uang itu. “Mereka juga harus mengembalikan, meski sebagian sudah,” ujar kuasa hukum Syamsul, Abdul Hakim Siagiaan, kepada Sumut Pos, kemarin (18/8).
Menurut Abdul Hakim, uang Rp38,357 miliar itu di luar tanggung jawab Syamsul. “Itu menjadi beban pihak ketiga,” imbuhnya.

Bukankah dari kerugian negara Rp98,716 miliar itu Syamsul sudah mengembalikan Rp80,103 miliar? Sehingga kekurangannya ‘hanya’ sebesar Rp18,613 miliar? “Betul,” kata Abdul Hakim.

Hanya saja, seperti putusan hakim pengadilan tipikor, yang dinikmati Syamsul dan keluarganya ‘hanya’ Rp57,449 miliar. Dengan kata lain, Syamsul ‘menalangi’ dulu sebesar Rp22,654 miliar (Rp80,103 miliar-Rp57,449 miliar).
Jika para pihak ketiga mau mengembalikan uang dengan total Rp38,357 miliar itu, maka terbuka peluang bagi Syamsul justru mendapat ‘pengembalian’ dari sisa uangnya itu (Rp22,654 miliar). Pasalnya, tidak mungkin pengembalian uang over lapping alias dobel, yakni ditanggung dan dikembalikan dua pihak sekaligus. Seperti dalam kasus korupsi APBD Medan, uang yang menjadi beban Ramli dan sudah dikembalikan, tidak dihitung lagi menjadi beban Abdillah. Begitu juga sebaliknya.

“Kita ikuti terus bagaimana nanti ujungnya,” kata Abdul Hakim.

Peluang Syamsul mendapat ‘pengembalian’ terbuka jika mengajukan banding. “Tapi kita belum memutuskan banding atau tidak. Masih ada waktu hingga Selasa (22/8),” ujar Rudy Alfonso, kuasa hukum Syamsul. Dikatakan, pihaknya masih menunggu pertimbangan pihak keluarga kliennya menyangkut masalah ini.
Lantas, siapa saja yang punya tanggung jawab mengembalikan Rp38,357 miliar itu? Dalam putusan majelis hakim pengadilan tipikor, dirinci siapa saja penerima aliran dana APBD Langkat per tahunnya, dari 2000-2007, di luar yang dinikmati Syamsul dan keluarganya.

Disebutkan, pada 2000 sebesar Rp1,49 miliar mengalir ke pihak lain, yakni ketua dan anggota DPRD, Muspida, BPK, FKPPI, KNPI, wartawan, fraksi, Teruna Jasa Said, Azril Azhar, Dewi Intan Sari dan Sulaiman Zuhdi.

Tahun 2001, sebesar Rp4,8 miliar mengalir ke sejumlah pihak, sama dengan penerima tahun 2000, ditambah MABMI, Ignatius Mulyono, Dedy Suardy, Rizal Sinaga, dan Nur Hasni Nasution.

Tahun 2002 Rp8,49 miliar ke pihak lain, yang sama dengan penerima sebelumnya. Juga ke Roy Almanjo, Sempurna Tarigan, Asril Azhar, Tantri Rahayu, Teruna Jasa Said, Fitria Elvi Sukaesih, dan Sjech Muhammad Al Hamid.
Untuk 2003 yang diberikan ke non keluarga Syamsul sebesar Rp2,9 miliar, yang penerimanya sebagian besar juga sama, antara lain yakni ketua dan anggota DPRD, Muspida, BPK, KNPI, wartawan, Nur Hasni Nasution, Teruna Jasa Said, dan Sjech Muhammad Al Hamid.

Tahun 2004 ke pihak lain Rp2,49 miliar, yang mayoritas nama-nama penerimanya juga yang itu-itu lagi. Untuk tahun 2005, yang mengalir ke pihak ketiga Rp791 juta, yang penerimanya juga masih sama, termasuk wartawan.
Untuk 2006 hanya Rp209,5 juta yang mengalir ke anggota DPRD Langkat, muspida, Dedy Suardy, Rizal Sinaga, dan Roy Almanjo. Tahun 2007, hanya Rp1 juta saja yang mengalir ke pihak lain yakni Roy Almanjo.

Di luar rincian tahunan itu, ada yang dalam bentuk 43 mobil Panther untuk para anggota dewan Langkat saat itu, yang membobol uang kas Rp10,2 miliar. Ada juga ke PT Lembu Andalas Rp2 miliar yang juga belum dikembalikan. Uang kas yang dipinjamkan ke pihak ketiga, juga sebagian besar belum dikembalikan.

Pemkab Langkat Koordinasi dengan Biro Hukum KPK

Sekdakab Langkat, Surya Djahisa, berjanji pihaknya (Pemkab) membeberkan langkah atau sikap diperbuat tentang uang pengembalian mantan Bupati Langkat, Syamsul Arifin,, bahkan mobil panther setelah menerima sekaligus memegang putusan pengadilan bahkan KPK.

“Ya, Insya Allah hari senin pekan depan akan diperoleh jawaban tentang uang itu dan mobil-mobil tersebut. Sekarang ini, kita akan berkoordinasi dengan biro hukum KPK,” kata Surya kepada Sumut Pos, Kamis (18/7).
Surya mengaku sedang buru-buru saat ditemui menjelaskan, keputusan hakim pengadilan tipikor menyebutkan pengembalian uang hasil kejahatan Syamsul dan 37 mobil panther mantan anggota dewan dapat dimiliki Pemkab segera disikapi.

Menurut dia, Pemkab akan berlaku arif tentang keputusan dimaksud. Maka, guna memastikan langkah atau sikap dasar terhadap kebijakan itu perlu satu ketentuan. Disinggung, apakah nantinya uang Rp80 miliar masuk dalam P-APBD 2011 atau R-APBD 2012, Surya masih belum dapat menjabarkan.

“Makanya itula, kita akan konsultasi dan berkoordinasi dulu dengan pihak terkait jelasnya KPK dan Pengadilan Tipikor guna penguasaan kembali aset tersebut. Wah, kalau untuk itu tidakla perlu dibahasakan berani atau tidak menyitanya. Ok ya, Senin pekan depan nanti kami beritahukan apa langkah selanjutnya, pokoknya kita janji kita undang bukan didatangi -wartawan- seperti ini,” beber Surya seraya berlalu ke mobil.

Fathan Nur selaku Kepala Bidang (Kabid) Aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemkab dikonfirmasi terpisah menjelaskan, pihaknya masih belum dapat bertindak sebagaimana ditetapkan PN Tipikor.
“Memang benar kita mengikuti perkembangannya dari media massa, namun kita belum dapat bersikap karena belum memiliki keputusan tertulis dari institusi berwenang. Namun demikian, persoalan itu akan kita bahasakan dengan pimpinan disini -Pemkab- bagaimana selanjutnya,” singkat Fathan.

Terkait hal dimaksud, Alfihan Nur mantan anggota DPRD Kab Langkat periode 2004-2009 mengaku, pengembalian uang sepantasnya disyukuri Pemkab. Kendati demikian, bukan artinya langsung berpuas diri serta alpa dengan kewenangan semestinya. Artinya, uang itu harus dimasukkan kas Pemkab dan dipergunakan sesuai ketentuan sebagaiman tertuang dalam buku program APBD bukannya dipergunakan pribadi.

“Pihak eksekutif semestinya memberlakukan kejar bola, sinyal nyata sudah dikantongi berdasarkan keputusan pengadilan tipikor. Uang itu harus dimanfaatin dengan benar, banyak proyek infrastruktur terkendala misalnya di kecamatan tanjung pura hanya karena uang itu disita kemarin,” sesal Alfihan.

Pemkab diminta dia harus benar-benar menempatkan orang atau pejabat yang kualifaid mengenai aset dimaksud. Alasannya sederhana menurut pengusaha ini, karena kesilafan atau atau apa istilahnya membuatnya uang yang dulunya masih dugaan hasil kejahatan Syamsul dimasukkan Taufik -saat ini sudah ditahan karena kasus berbeda- mantan Kabag Keuangan Pemkab ke dalam kas.

Akibatnya, sambung dia, beberapa pekerjaan fisik sempat teragendakan menjadi batal hanya karena uangnya keburu disita KPK ketika itu. Padahal, mestinya pejabat dimaksud jeli agar kondisi tidak diharapkan itu terjadi.
Seperti diketahui, banyak proyek -fisik atau infrastruktur- masuk program Dinas Pekerjaan Umum (PU) tidak dapat dikerjakan menyusul penyitaan KPK saat itu dengan dalih sebagai barang bukti persidangan Syamsul.

Keterlaluan Jika Terulang

Penggunaan dana APBD Langkat sejumlah Rp80 miliar pasca dikembalikan oleh mantan Bupati Langkat Syamsul Arifin diharapkan bisa tepat guna sesuai pagu yang telah dianggarkan. “Namun, jika hal serupa masih juga terjadi, atau tindak pidana korupsi masih juga dilakukan oleh kepala daerah tersebut, maka itu sangat keterlaluan,” tegas Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga, Kamis (18/8).

Menurut Chaidir, yang terjadi terhadap Gubsu Non Aktif bisa dijadikan pembelajaran dan hikmah. “Jadikan hal itu sebagai cambuk dan peringatan terhadap semua pihak di pemerintahan. Jadi, dengan adanya hal itu diharapkan tak lagi ada yang berani atau mencoba melakukan hal sama,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga berpendapat, saat ini sistem penganggaran di Sumut sudah semakin baik. “Dengan semakin baiknya sistem ini, maka akan lebih baik jika kita tak berprasangka buruk. Biar kepala daerah tersebut bisa bekerja dengan leluasa dan maksimal. Dengan begitu kepala daerah tersebut nantinya bisa lebih fokus untuk memperhatikan masyarakat di daerahnya,” ujar Chaidir.

Terkait soal anggaran, tentu hal tersebut tertuju kepada LKPJ yang belum juga disampaikan oleh Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho kepada masyarakat melalui DPRD Sumut. Dan ini tentunya akan menuai masalah baru yang berpengaruh kepada anggaran pada tahun berikutnya.

Atas hal ini Chaidir mengungkapkan, unsur penyelenggara pemerintahan atau pejabat negara yang berada di daerah adalah Pemprovsu dan DPRD Sumut. “Jadi setiap permasalahan bisa ditangani dengan elegan. Dan sangat salah jika kedua belah pihak saling bertolak belakang. Karena itu dituntut adanya saling kerjasama antar pihak eksekutif dan legislatif ini,” katanya.

Permasalahannya, menurut Chaidir hingga saat ini kedua belah pihak masih belum harmonis. “Pertanyaanya kapan ini akan diimplementasikan? Sudah sadarkah kedua belah pihak ini kalau sebenarnya mereka adalah sebuah tim? Biar dijawab sendiri oleh masing-masing pihak,” ujarnya. (sam/mag-4/saz)

JAKARTA-Sejumlah pihak yang menikmati kucuran uang APBD Langkat 2000-2007, tampaknya masih belum bisa tidur nyaman. Pasalnya, masih cukup besar dana yang mereka nikmati, yang hingga persidangan perkara korupsi APBD Langkat diputus 15 Agustus 2011 lalu, belum dikembalikan ke kas negara cq kas Pemkab Langkat melalui penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Total ada Rp41,257 miliar aliran dana APBD sepanjang 2000-2007, yang dinikmati sejumlah pihak, diluar yang dinikmati Syamsul Arifin dan keluarganya. Dari mana angka itu? Seperti bunyi putusann
kerugian negara cq Pemkab Langkat adalah Rp98,716 miliar.

Dari jumlah itu, yang dinyatakan dinikmati Syamsul dan keluarganya adalah Rp57,449 miliar. Dengan demikian, sisanya, Rp41,257 miliar, masuk kantong pihak lain.

Selama proses penyidikan di KPK, pihak lain yang ikut menikmati uang rakyat Langkat itu baru mengembalikan Rp2,9 miliar ke penyidik. Dengan demikian, masih ada kekurangan alias ‘utang’ ke rakyat Langkat sebesar Rp38,357 miliar.
Pihak Syamsul Arifin pun mendesak agar mereka mengembalikan uang itu. “Mereka juga harus mengembalikan, meski sebagian sudah,” ujar kuasa hukum Syamsul, Abdul Hakim Siagiaan, kepada Sumut Pos, kemarin (18/8).
Menurut Abdul Hakim, uang Rp38,357 miliar itu di luar tanggung jawab Syamsul. “Itu menjadi beban pihak ketiga,” imbuhnya.

Bukankah dari kerugian negara Rp98,716 miliar itu Syamsul sudah mengembalikan Rp80,103 miliar? Sehingga kekurangannya ‘hanya’ sebesar Rp18,613 miliar? “Betul,” kata Abdul Hakim.

Hanya saja, seperti putusan hakim pengadilan tipikor, yang dinikmati Syamsul dan keluarganya ‘hanya’ Rp57,449 miliar. Dengan kata lain, Syamsul ‘menalangi’ dulu sebesar Rp22,654 miliar (Rp80,103 miliar-Rp57,449 miliar).
Jika para pihak ketiga mau mengembalikan uang dengan total Rp38,357 miliar itu, maka terbuka peluang bagi Syamsul justru mendapat ‘pengembalian’ dari sisa uangnya itu (Rp22,654 miliar). Pasalnya, tidak mungkin pengembalian uang over lapping alias dobel, yakni ditanggung dan dikembalikan dua pihak sekaligus. Seperti dalam kasus korupsi APBD Medan, uang yang menjadi beban Ramli dan sudah dikembalikan, tidak dihitung lagi menjadi beban Abdillah. Begitu juga sebaliknya.

“Kita ikuti terus bagaimana nanti ujungnya,” kata Abdul Hakim.

Peluang Syamsul mendapat ‘pengembalian’ terbuka jika mengajukan banding. “Tapi kita belum memutuskan banding atau tidak. Masih ada waktu hingga Selasa (22/8),” ujar Rudy Alfonso, kuasa hukum Syamsul. Dikatakan, pihaknya masih menunggu pertimbangan pihak keluarga kliennya menyangkut masalah ini.
Lantas, siapa saja yang punya tanggung jawab mengembalikan Rp38,357 miliar itu? Dalam putusan majelis hakim pengadilan tipikor, dirinci siapa saja penerima aliran dana APBD Langkat per tahunnya, dari 2000-2007, di luar yang dinikmati Syamsul dan keluarganya.

Disebutkan, pada 2000 sebesar Rp1,49 miliar mengalir ke pihak lain, yakni ketua dan anggota DPRD, Muspida, BPK, FKPPI, KNPI, wartawan, fraksi, Teruna Jasa Said, Azril Azhar, Dewi Intan Sari dan Sulaiman Zuhdi.

Tahun 2001, sebesar Rp4,8 miliar mengalir ke sejumlah pihak, sama dengan penerima tahun 2000, ditambah MABMI, Ignatius Mulyono, Dedy Suardy, Rizal Sinaga, dan Nur Hasni Nasution.

Tahun 2002 Rp8,49 miliar ke pihak lain, yang sama dengan penerima sebelumnya. Juga ke Roy Almanjo, Sempurna Tarigan, Asril Azhar, Tantri Rahayu, Teruna Jasa Said, Fitria Elvi Sukaesih, dan Sjech Muhammad Al Hamid.
Untuk 2003 yang diberikan ke non keluarga Syamsul sebesar Rp2,9 miliar, yang penerimanya sebagian besar juga sama, antara lain yakni ketua dan anggota DPRD, Muspida, BPK, KNPI, wartawan, Nur Hasni Nasution, Teruna Jasa Said, dan Sjech Muhammad Al Hamid.

Tahun 2004 ke pihak lain Rp2,49 miliar, yang mayoritas nama-nama penerimanya juga yang itu-itu lagi. Untuk tahun 2005, yang mengalir ke pihak ketiga Rp791 juta, yang penerimanya juga masih sama, termasuk wartawan.
Untuk 2006 hanya Rp209,5 juta yang mengalir ke anggota DPRD Langkat, muspida, Dedy Suardy, Rizal Sinaga, dan Roy Almanjo. Tahun 2007, hanya Rp1 juta saja yang mengalir ke pihak lain yakni Roy Almanjo.

Di luar rincian tahunan itu, ada yang dalam bentuk 43 mobil Panther untuk para anggota dewan Langkat saat itu, yang membobol uang kas Rp10,2 miliar. Ada juga ke PT Lembu Andalas Rp2 miliar yang juga belum dikembalikan. Uang kas yang dipinjamkan ke pihak ketiga, juga sebagian besar belum dikembalikan.

Pemkab Langkat Koordinasi dengan Biro Hukum KPK

Sekdakab Langkat, Surya Djahisa, berjanji pihaknya (Pemkab) membeberkan langkah atau sikap diperbuat tentang uang pengembalian mantan Bupati Langkat, Syamsul Arifin,, bahkan mobil panther setelah menerima sekaligus memegang putusan pengadilan bahkan KPK.

“Ya, Insya Allah hari senin pekan depan akan diperoleh jawaban tentang uang itu dan mobil-mobil tersebut. Sekarang ini, kita akan berkoordinasi dengan biro hukum KPK,” kata Surya kepada Sumut Pos, Kamis (18/7).
Surya mengaku sedang buru-buru saat ditemui menjelaskan, keputusan hakim pengadilan tipikor menyebutkan pengembalian uang hasil kejahatan Syamsul dan 37 mobil panther mantan anggota dewan dapat dimiliki Pemkab segera disikapi.

Menurut dia, Pemkab akan berlaku arif tentang keputusan dimaksud. Maka, guna memastikan langkah atau sikap dasar terhadap kebijakan itu perlu satu ketentuan. Disinggung, apakah nantinya uang Rp80 miliar masuk dalam P-APBD 2011 atau R-APBD 2012, Surya masih belum dapat menjabarkan.

“Makanya itula, kita akan konsultasi dan berkoordinasi dulu dengan pihak terkait jelasnya KPK dan Pengadilan Tipikor guna penguasaan kembali aset tersebut. Wah, kalau untuk itu tidakla perlu dibahasakan berani atau tidak menyitanya. Ok ya, Senin pekan depan nanti kami beritahukan apa langkah selanjutnya, pokoknya kita janji kita undang bukan didatangi -wartawan- seperti ini,” beber Surya seraya berlalu ke mobil.

Fathan Nur selaku Kepala Bidang (Kabid) Aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemkab dikonfirmasi terpisah menjelaskan, pihaknya masih belum dapat bertindak sebagaimana ditetapkan PN Tipikor.
“Memang benar kita mengikuti perkembangannya dari media massa, namun kita belum dapat bersikap karena belum memiliki keputusan tertulis dari institusi berwenang. Namun demikian, persoalan itu akan kita bahasakan dengan pimpinan disini -Pemkab- bagaimana selanjutnya,” singkat Fathan.

Terkait hal dimaksud, Alfihan Nur mantan anggota DPRD Kab Langkat periode 2004-2009 mengaku, pengembalian uang sepantasnya disyukuri Pemkab. Kendati demikian, bukan artinya langsung berpuas diri serta alpa dengan kewenangan semestinya. Artinya, uang itu harus dimasukkan kas Pemkab dan dipergunakan sesuai ketentuan sebagaiman tertuang dalam buku program APBD bukannya dipergunakan pribadi.

“Pihak eksekutif semestinya memberlakukan kejar bola, sinyal nyata sudah dikantongi berdasarkan keputusan pengadilan tipikor. Uang itu harus dimanfaatin dengan benar, banyak proyek infrastruktur terkendala misalnya di kecamatan tanjung pura hanya karena uang itu disita kemarin,” sesal Alfihan.

Pemkab diminta dia harus benar-benar menempatkan orang atau pejabat yang kualifaid mengenai aset dimaksud. Alasannya sederhana menurut pengusaha ini, karena kesilafan atau atau apa istilahnya membuatnya uang yang dulunya masih dugaan hasil kejahatan Syamsul dimasukkan Taufik -saat ini sudah ditahan karena kasus berbeda- mantan Kabag Keuangan Pemkab ke dalam kas.

Akibatnya, sambung dia, beberapa pekerjaan fisik sempat teragendakan menjadi batal hanya karena uangnya keburu disita KPK ketika itu. Padahal, mestinya pejabat dimaksud jeli agar kondisi tidak diharapkan itu terjadi.
Seperti diketahui, banyak proyek -fisik atau infrastruktur- masuk program Dinas Pekerjaan Umum (PU) tidak dapat dikerjakan menyusul penyitaan KPK saat itu dengan dalih sebagai barang bukti persidangan Syamsul.

Keterlaluan Jika Terulang

Penggunaan dana APBD Langkat sejumlah Rp80 miliar pasca dikembalikan oleh mantan Bupati Langkat Syamsul Arifin diharapkan bisa tepat guna sesuai pagu yang telah dianggarkan. “Namun, jika hal serupa masih juga terjadi, atau tindak pidana korupsi masih juga dilakukan oleh kepala daerah tersebut, maka itu sangat keterlaluan,” tegas Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga, Kamis (18/8).

Menurut Chaidir, yang terjadi terhadap Gubsu Non Aktif bisa dijadikan pembelajaran dan hikmah. “Jadikan hal itu sebagai cambuk dan peringatan terhadap semua pihak di pemerintahan. Jadi, dengan adanya hal itu diharapkan tak lagi ada yang berani atau mencoba melakukan hal sama,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga berpendapat, saat ini sistem penganggaran di Sumut sudah semakin baik. “Dengan semakin baiknya sistem ini, maka akan lebih baik jika kita tak berprasangka buruk. Biar kepala daerah tersebut bisa bekerja dengan leluasa dan maksimal. Dengan begitu kepala daerah tersebut nantinya bisa lebih fokus untuk memperhatikan masyarakat di daerahnya,” ujar Chaidir.

Terkait soal anggaran, tentu hal tersebut tertuju kepada LKPJ yang belum juga disampaikan oleh Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho kepada masyarakat melalui DPRD Sumut. Dan ini tentunya akan menuai masalah baru yang berpengaruh kepada anggaran pada tahun berikutnya.

Atas hal ini Chaidir mengungkapkan, unsur penyelenggara pemerintahan atau pejabat negara yang berada di daerah adalah Pemprovsu dan DPRD Sumut. “Jadi setiap permasalahan bisa ditangani dengan elegan. Dan sangat salah jika kedua belah pihak saling bertolak belakang. Karena itu dituntut adanya saling kerjasama antar pihak eksekutif dan legislatif ini,” katanya.

Permasalahannya, menurut Chaidir hingga saat ini kedua belah pihak masih belum harmonis. “Pertanyaanya kapan ini akan diimplementasikan? Sudah sadarkah kedua belah pihak ini kalau sebenarnya mereka adalah sebuah tim? Biar dijawab sendiri oleh masing-masing pihak,” ujarnya. (sam/mag-4/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/