JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dapat pengakuan atau tidak, pelayanan sejumlah rumah sakit terhadap pasien BPJS masih jauh dari kata baik. Sebagian di antara mereka memang berasal dari keluarga kurang mampu, berpenghasilan pas-pasan, juga ada yang serba kekurangan. Tapi, itu tidak lantas mengubah status mereka sebagai warga negara. Yang digembar-gemborkan pemerintah harus mendapat pelayanan prima ketika berobat.
Maka jangan heran saat jerit mereka terdengar, semua mata tertuju. Menuntut kembali agar pelayanan terhadap mereka diperbaiki. Bila perlu dalang dibalik lembaga kesehatan yang polahnya mengakibatkan pasien BPJS hilang nyawa dihukum berat. Sebab, nyata adanya bahwa mereka meninggal karena tidak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Dengan berbagai modus, pelayanan terhadap pasien BPJS alakadarnya.
Temuan BPJS Watch bisa jadi sampel. Nyaris saban hari mereka mendapat laporan dari pasien BPJS. Seluruhnya berisi keluhan. Baik dari pasien rawat inap, pasien rawat jalan, maupun pasien yang belum mendapat pelayanan. ”Mereka (rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS) coba curang,” ungkap Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Jawa Pos ketika diwawancarai Sabtu (16/9).
Akibatnya fatal. Lima bulan sebelum kasus Debora mencuat, seorang pasien BPJS meninggal dunia lantaran pihak rumah sakit ogah-ogahan menangani. Padahal pasien tersebut datang dalam kondisi kritis. ”Harus masuk ICU. Tapi, nggak diterima gara-gara peserta BPJS. Malah disuruh rujuk ke rumah sakit lain,” terang pria yang akrab dipanggil Timboel itu. Setelah ngotot dan adu argumen, rumah sakit yang berada di Jakarta Timur itu menerima.
Pasien yang juga diadvokasi oleh BPJS Watch tersebut diperkenankan masuk ICU. Namun, pelayanan yang diberikan seadanya. ”Nggak diapa-apain. Akhirnya meninggal,” sesal Timboel.
Beruntung, pihak keluarga hanya protes. Mereka ikhlas dan tidak memperpanjang persoalan. Itu baru satu contoh. Timboel bersama rekan-rekannya juga sempat mendampingi pasien asal Bekasi yang dicurangi rumah sakit di ibu kota.
Lantaran pasien tidak dapat fasilitas ruang isolasi, pasien itu dirujuk ke salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat. Bukannya langsung diterima, keluarga pasien malah diminta membayar biaya ruang isolasi. Padahal, pasien tersebut terdata sebagai peserta BPJS. ”Pasien BPJS nggak bisa dimintain uang,” kata Timboel.
Lantaran tidak punya biaya dan ogah adu mulut, pihak keluarga menerima. Mereka lantas bersedia dioper ke rumah sakit lain.
Modus penolakan pasien BPJS seperti itu bukan satu atau dua kali terjadi. Pekan lalu, kata Timboel, seorang peserta BPJS asal Jakarta Utara dioper beberapa rumah sakit. Padahal, sakit paru-paru mengharuskan dia dirawat di ICU. Rujukan sudah dikantongi keluarga pasien. Tapi, tiga rumah sakit di pesisir ibu kota yang didatangi pihak keluarga menolak. Mereka dioper dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. “Dengan alasan ruang ICU penuh,” tuturnya.