JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kendati sumber radikalisme, yakni ISIS telah hancur. Namun, proses penyebaran paham radikal masih berlangsung. Pelaku penyerangan gereja Santa Lidwina, Suliono buktinya. Dia terpapar paham radikal dari sebuah kelompok di Sulawesi Tengah.
Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan, Suliono saat masih SMA bersekolah di Morowali dan kuliahnya di Palu. Saat itulah kemduian dia mengikuti kegiatan sebuah organisasi keagamaan. ”Dari situlah dia belajar akidah yang berbeda pemahaman,” terangnya.
Selanjutnya, saat di Magelang, Suliono mondok di sebuah pesantren. Namun pendidikan di pesantren itu hanya dilalui sebentar. ”Dia berencana untuk pulang ke Banyuwangi setelahnya, namun mampir dulu ke Jogja,” paparnya ditemui di kantor Divhumas Polri.
Tercatat, Suliono belajar dari internet terkait paham keliru itu. Hingga akhirnya muncul dorongan dari dalam dirinya untuk melakukan aksi penyerangan di Jogjakarta tersebut. ”Ini pengakuan dari tersangka ya,” ungkapnya.
Sebelum melakukan aksi, Suliono ini juga mengakses internet untuk mencari alamat gereja terdekat serta, tempat mencari senjata. Setyo menjelaskan, akhirnya dipilih gereja yang diserang itu. ”Dengan semua ini, kami masih memandang bahwa pelaku ini lone wolf,” paparnya.
Kejadian penyerangan gereja yang dilakukan Suliono ini sebenarnya bisa dicegah bila sistem keamanan masyarakat berjalan. Suliono diketahui menginap selama tiga hari di sebuah musola di dekat lokasi penyerangan. ”Saat menginap di musola ini sempat komunikasi dengan penjaga mushola dan sejumlah orang,” tuturnya.
Sayangnya, kepala rukun tetangga dan kepala rukun warga tidak mengetahui adanya orang yang menginap di mushola. ”Kalau saja ada kepedulian untuk melaporkan, tentu akan berbeda,” terangnya.
Menurutnya, bila ada orang asing yang berada di lingkungan kampung, saat ada yang melapor ke kepolisian setempat tentu akan ditangani. ”Polisi kan bisa untuk melakukan upaya pemeriksaan dan sebagainya. Sehingga, bisa dicegah sebelum terjadi aksi,” tuturnya.