KABANJAHE, SUMUTPOS.CO – Buruknya pengelolaan sektor pariwisata yang berimbas pada tak masuknya Pesta Bunga dan Buah Berastagi dalam kalender wisata nasional, dinilai cerminan dari kegagalan dan ketidakmampuan Bupati Karo, Terkelin Brahmana dalam memimpin. Jika ditarik lebih luas, secara langsung kegagalan sektor pariwisata ini juga cerminan dari buruknya pengelolaan semua program di Pemkab Karo.
Penilaian ini diungkapkan Hendra Gunawan Kaban, Ketua Umum Assosiasi Perusahaan Penyelenggara dan Pelaksana Acara (Appara) Indonesia saat berbincang dengan Sumut Pos, Jumat (11/1) siang. “Proyek APBD di Tanah Karo pasti berantakan semua. Aku berani memastikan program-program daerah pasti tidak.
dikelola dengan baik. Karena sektor pariwisata ini bersifat lintas sektoral,” tegas Hendra. Dipaparkannya, sektor pariwisata bersifat lintas sektoral karena mencakup semua pihak, baik sisi SDM, infrastruktur, kebersihan, tata kelola, izin dan sebagainya.
Selaku putra daerah yang sudah 30 tahun bergelut di bidang industri event, Hendra sangat menyesalkan terpuruknya sektor wisata Kabupaten Karo. Karena jika dikelola dan dimaksimalkan dengan baik, potensi wisata di Bumi Turang sangat luar biasa. “Destinasi wisata di Karo itu lengkap. Hanya saja tidak digarap secara serius. Kondisi ini adalah gambaran buruknya kinerja dan ketidakmampuan Bupati Karo secara langsung,” tegasnya.
Hendra menegaskan, kritikan ini diungkapkannya bukan untuk menjelekkan, namun kenyataan yang terjadi saat ini memang sangat menyedihkan. Bagi dia, batalnya penyelenggaraan Pesta Bunga dan Buah tahun 2018 lalu, serta tak masuknya pestival yang sudah merakyat dan dikenal seantero negeri, hingga ke manca negara itu merupakan kemunduran yang sangat memalukan. “Sebagai orang event, secara pribadi saya sangat malu. Saya sering kelabakan ditanya dan diejek teman seprofesi,” kesalnya.
Kegagalan dan ketidakmampuan ini tidak boleh hanya dialamatkan pada Kepala Dinas Pariwisata Karo yang notabene hanya berstatus sebagai pelaksana. Kendali tetap berada di tangan Bupati Karo. “Bagaimana bawahan bekerja dengan baik kalau pimpinannya sendiri tidak punya gambaran dan keinginan untuk memajukan pariwisata. Pimpinan bagus sekalpun, belum tentu bawahannya bisa, ini justru sebaliknya. Mungkin konsultan yang membuat visi misi Bupati Karo ini hingga dia tak punya gambaran untuk memajukan patiwisata,” cibirnya.
Masih kata Hendra, Kabupaten Karo sudah dianugrahi Tuhan dengan keindahan alamnya. Destinasi wisata sangat banyak, tinggal bagaimana mengelolanya. Anugrah keindahan alam ini harus dipantik dengan event. Selain itu, pariwisata Karo juga tidak punya konsep yang terarah, cetak biru atau blue printnya pun tidak jelas. Banyak potensi, tetapi gagap untuk aktualisasinya, hingga tak menarik lagi bagi wisatawan.
Jika tak memiliki kemampuan lanjut Hendra, Bupati Karo seharusnya jangan malu belajar dan bertanya. Panggil semua pelaku industri wisata, bahas dan rumuskan bersama-sama. Kalau malu tak mampu, tinggal panggil konsultan atau pun penyelenggara event. “Saya jamin pelaku event di Sumut ini bagus-bagus dan bisa dipertanggungjawabkan. Inikan enggak, belajar tidak mau dan auto pilot. Ya pantas saja sektor pariwisata terpuruk, soalnya tak difasilitasi oleh pemerintahnya,” sarannya.
Selama ini stigma yang terjadi di birokrasi pariwisata di Karo ini hanya berpatokan pada anggaran. Dengan kata lain, tujuannya hanya bagaimana cara untuk menghabiskan anggaran itu.
Untuk perbaikan ke depan, tahun 2019 ini Hendra meminta bupati segera membentuk forum tata kelola pariwisata yang minimal diketuai Sekda Karo. Hal ini perlu untuk menghindari faktor ego sektoral. Rembukkan dan bahas konsep iventnya secara matang, jika tak mampu carilah yang mampu. Setelah selesai semua baru ditenderkan. “Ini penting, karena selain pertanian, sektor pariwisata ini yang paling diandalkan di Kabupaten Karo.
Intinya bupati harus mempunyai keinginan dan gambaran untuk memajukan pariwisata Karo,” tegasnya. Sebagai contoh, Bupati Karo disarankan belajar ke Banyuwangi yang dulunya dijuluki sebagai kota santet dan dukun. Namun saat ini, sektor pariwisatanya sangat maju, bahkan mereka mampu menggelar 100 event dalam setahun.
Lalu bagaimana dengan Karo yang sejak dulu sudah dikenal sebagai daerah wisata tapi melaksanakan dua event (Pesta Mejuah-juah dan Bunga dan Buah) saja pun tak mampu. “Tak dipromoiskan pun, wisata di daerah ini sudah diketahui orang. Intinya modal awalnya sudah cukup, tinggal pengelolaanya yang belum baik. Jangan malu belajar, karena sektor pariwisata ini cerminan wajah dan kinerja Pemda Karo,” tandasnya.
Sebelumnya, Pemerhati Pariwisata Karo, Fery Sitepu juga mengaku tak begitu kaget jika Pesta Buah dan Bunga di Berastagi tak masuk dalam kalender pariwisata nasional. Menurut Fery, event tahunan seperti Pesta Buah dan Buah itu dulu sangat familiar di telinga wisatawan, baik domestik dan mancanegara. Namun saat ini, karena kemasan acara kurang didesain dan direncanakan secara matang, sehingga tidak memiliki daya tarik lagi bagi wisatawan.
“Padahal kalau dikemas kearifan lokal yang dimiliki secara profesional, akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan juga Pemkab Karo. Contoh itu Bali, Lombok dan daerah lain yang punya wisata ‘kampung’ tetapi memiliki nilai jual pasar menembus dunia. Itu baru hebat,” kata Fery Sitepu kepada Sumut Pos, Kamis (10/1).
Menurut dia, saat ini elemen masyarakat Tanah Karo termasuk kepala daerahnya, dinilai lebih senang one man show atau sendiri-sendiri. Hal ini pula yang menjadikan kabupaten dengan penghasil sayur dan buah-buahan itu, lambat berkembang bahkan maju sebagai salah satu daerah di Provinsi Sumut.
Disebutnya, masyarakat Karo memiliki rumah adat namanya Walujabu yang kalau di adat Batak disebut Rumah Bolon. Kata dia, di rumah Walujabu itulah kalimbubu, anak beru, senina dan sebuya berkumpul dalam satu atap. “Di situ artinya ada nilai kekompakkan. Dan sekarang kita lihat mana rumah itu yang menjadi identitas orang Karo? Jadi kekompakkan orang Karo udah tidak ada lagi, one man show,” katanya.
Bicara aspek pariwisata, ia meminta kepada bupati Karo agar memperbaiki semua infrastruktur terutama jalan. Ia gambarkan, jika ada kejadian truk terbalik di jalan lintas Karo, jarak tempuh ke destinasi wisata bisa berjam-jam baru sampai. “Dan industri pariwisata bukan hanya cara menjual, masyarakatnya juga harus mendukung dan investasinya juga harus dibuka,” kata pria yang pernah aktif di salah satu organisasi masyarakat Karo Sumut tersebut.
“Jadi menyangkut tentang tidak masuknya even wisata Karo pada kalender nasional, kembali kepada pemimpinnya. Disitu menyangkut seluruh aspek termasuk masyarakat dan pengusahanya,” katanya.
Hemat dia, selain sudah banyak melupakan kearifan lokal, saat ini masyarakat Karo kehilangan figur panutan. Baik dari figur pemimpin masyarakat seperti bupati, tokoh adat sampai tokoh masyarakat Karo itu sendiri. Semua figur dan kelompok masyarakat Karo, selalu bergerak sendiri-sendiri dan tidak ada lagi kekompakkan yang terjalin.
“Bagaimana kita mau membangun daerah kalau tidak bersatu. Tengok orang Bali walaupun dia berada di negara mana saja, tapi ketika waktu Ngaben, mereka itu pulang ke kampung halamannya. Semua one man show, one man show termasuk bupatinya,” pungkasnya. (deo/prn)