MEDAN, SUMUTPOS.CO – Setelah beberapa kali tertunda, sidang lanjutan kasus pembunuhan adik ipar yang dilakukan Kompol Fahrizal kembali digelar. Dalam sidang yang beragendakan tuntutan dari JPU, mantan Kasatreskrim Polrestabes Medan tersebut dinilai bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan. Namun, Kompol Fahrizal tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya karena mengalami gangguan jiwa.
Itu disampaikan oleh penasehat hukum Kompol Fahrizal, Julisman usai persidangan yang di gelar di ruang Kartika Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (21/1).
“Intinya terbukti melanggar Pasal 338 KUHP. Tapi terhadap terdakwa tidak dapat diminta pertanggungjwaban pidana. Karena pada saat kejadian, kondisi kejiwaan terdakwa terganggu,” ujar Julisman kepada wartawan.
“Jadi sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP, jika terdakwa mengalami gangguan jiwa dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” sambungnya. Tim penasehat hukum mengapreasiasi tuntutan yang dibacakan oleh JPU Randi Tambunan. Pasalnya, hal ini sesuai dengan fakta persidangan.
“Faktanya pada saat penembakan, terdakwa sedang mengalami gangguan kejiwaan sesuai keterangan dokter Rumah Sakit Jiwa M Ildrem. Jaksa sepertinya mengajukan tuntutan berdasarkan keterangan ahli kejiwaan itu,” terangnya.
Meski tuntutan yang diajukan sudah sesuai fakta persidangan, namun Julisman mengaku timnya akan tetap mengajukan pembelaan pada persidangan sepekan mendatang.
“Kami akan serahkan putusannya pada majelis hakim,” sebutnya. Namun, bila mengacu pada fakta persidangan, dugaan ingin menyelamatkan Kompol Fahrizal dari jerat hukum pun menguat.
Itu terlihat dari pembacaan tuntutan JPU. Disebut JPU, terdakwa tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya lantaran mengalami gangguan kejiwaan.
Disinggung hal ini, Julisman membela kliennya. Menurut Julisman, hal itu setelah mempertimbangkan saksi ahli pidana Dr Mahmud Mulyadi dari Fakultas Hukum USU, saat dihadirkan dipersidangan.
Menurutnya, perbuatan Kompol Fahrizal tidak bisa dipidana walaupun nantinya dinyatakan sehat di kemudian hari oleh dokter kejiwaan. “Misalnya besok dia sehat, dihukum lagi itu nggak boleh. Karena dia bisa dihukum itu pada saat kondisi kejiwaan dia pada saat melakukan,” katanya.
Sementara, JPU Randi Tambunan yang dimintai keterangannya terkait tuntutan Kompol Fahrizal justru menghindar dan enggan berkomentar.
“Direkam ini? Ke Humas ajalah, takut salah saya,” ucapnya sembari meninggalkan wartawan.
Terpisah, Humas PN Medan Jamaluddin menyatakan, jika hal tersebut berdasarkan pertimbangan fakta persidangan.
“Mungkin jaksa mempertimbangkan fakta-fakta sidang selama ini untuk menyusun tuntutan terhadap terdakwa. Sesuai KUHAP kan ada pertimbangan pemaaf dan pertimbangan pembenar untuk memutus terdakwa. Makanya kita lihat juga nanti seperti apa putusannya,” ujarnya.
Menurut Jamaluddin, seandainya didalam putusan Kompol Fahrizal dinyatakan tidak waras, namun dikemudian hari dia dinyatakan sehat oleh dokter kejiwaan, terdakwa tidak bisa dipidana.
“Tentu kalau dia dinyatakan tidak waras, dan hakim juga tak menuntut pidana maka dia bebas. Kan kasusnya waktu itu dia tidak waras. Kalau kedepan dia sehat setelah putusan ini juga tidak bisa dipidana lagi,” tandas Jamal.
Diketahui, Kompol Fahrizal didakwa melakukan pembunuhan karena menembak mati adik iparnya, Jumingan, Rabu (4/4) malam. Setelah melepaskan 6 tembakan yang tidak beruntun, dia menyerahkan diri ke Polrestabes Medan.
IPW Minta Hakim Bersikap Objektif
Terpisah, Neta S Pane dari Indonesia Police Watch (IPW) menyayangkan tuntutan yang diberikan kepada Kompol Fahrizal. Menurutnya, seharusnya majelis hakim dalam hal ini sebagai pemimpin peradilan Fahrizal harus bersikap objektif. Kasus ini, kata Neta, jangan sampai direkayasa demi keuntungan Fahrizal.
“Kita berharaplah, sebelum memutus nantinya majelis hakim bisa melihat semuanya. Memberi keputusan yang adil dan tidak ada rekayasa. Melihat Fahrizal yang punya jabatan strategis dengan sikap seperti itu tentu membahayakan,” ujarnya.
Selain itu, Neta S Pane mengaku janggal dengan status perwira Fahrizal. Baginya, bagaimana mungkin Fahrizal mendapatkan jabatan penting sementara disebutkan kondisi kejiwaannya terganggu.
“Memang aneh juga orang seperti dia (Fahrizal) yang punya masalah kejiwaan bisa menduduki jabatan sampai Wakapolres di Lombok. Ini bisa menjadi hal yang memalukan untuk Polda Sumut dan Mabes Polri,” katanya.
Belajar dari kasus ini, Neta berharap Polda Sumut dan Mabes Polri mereformasi rekrutmen polisi dan mengevaluasi jajaran pimpinan dalam struktur organisasinya. (man/ala)