MEDAN, SUMUTPOS.CO – Munculnya media sosial, mulai dari Facebook, Instagram dan lainnya, ternyata mampu menyebabkan perceraian antara pasangan suami istri. Sebab, dari media sosial tersebut, sering terjadi perselingkuhan sang suami yang berkenalan dengan wanita lain.
Karenanya, sepanjang tahun 2018, Pengadilan Agama Medan Kelas I A menerima 2.620 gugatan cerai yang dilayangkan istri, sementara gugatan cerai yang dilayangkan suami sebanyak 755 perkara.
“Tahun 2018, kita menerima sebanyak 3.126 perkara ditambah sisa perkara pada tahun 2017 yaitu sebanyak 575 perkara sehingga totalnya ada 3.701 perkara,” ujar Humas Pengadilan Agama Kelas I Medan melalui Panitera Pengadilan Agama Medan, Muslih, Selasa (12/2).
Dijelaskan Muslih, dari 3.701 tersebut sebanyak 3.268 kasus sudah selesai (diputus) dengan beberapa kategori putusan. “Pada tahun 2018 sebanyak 3.268 kasus sudah diselesaikan, sehingga ada 433 sisa kasus yang akan kita selesaikan di tahun 2019,” kata Muslih.
Sedangkan mengenai jenis perkara yang paling menonjol masuk ke Pengadilan Agama di tahun 2018, lanjut Muslih, yang paling dominan yaitu angka perceraian yang dilayangkan pihak isteri. Sisanya urusan pengajuan harta gono-gini (pembagian harta bersama), pembatalan perkawinan, izin poligami, hak pengasuhan anak, hak perwalian, pengesahan nikah, warisan dan perkara ekonomi syariah.
Selanjutnya, diterangkan Muslih, faktor paling dominan penyebab perceraian yakni perselisihan atau pertengkaran yang diakibatkan pengaruh Narkoba, disusul faktor ekonomi. “Faktor media sosial juga ikut memicu kecemburuan yang berakibat gugatan perceraian. Tidak bisa dipungkiri faktor media sosial juga memicu kecemburuan yang berakibat pada gugatan perceraian. Hanya saja itu kan bukan ranah saya menerangkan lebih jauh soal itu. Mungkin ranahnya lebih ke pengamat sosial,” pungkasnya.
Tidak Terbangun Komunikasi Dua Arah
Menanggapi jumlah kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Medan Klas I A tersebut, Pengamat Sosial Dr Bahrulkhair Amal mengatakan, kasus perceraian terjadi dikarenakan tidak terbangunnya komunikasi dua arah didalam sebuah rumah tangga.
Selain itu, sebutnya, faktor ekonomi dan juga masalah hukum juga menjadi penyebab perceraian terjadi. Apalagi, kasus perceraian didominasi oleh istri yang menggugat cerai suami.
“Berarti ada ketidakpuasan perempuan terhadap pasangannya. Apakah ketidakpuasan dalam biologisnya, ketidakpuasan terhadap kasih sayangnya, atau kepuasan dalam kehidupan rumah tangga,” terang Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unimed ini.
Sebaiknya, terang Bahrulkhair, agar tidak terjadi kasus perceraian diperlukan komunikasi dua arah tanpa melibatkan orang lain. “Intinya adalah komunikasi dua arah, duduk bersama menyelesaikan rumah tangga tanpa orang lain. Kalau dalam agama kan selesaikan dulu antara laki-laki dan perempuan. Perlu ruang pencairan suasana, ruang keterbukaan, ruang komunikasi dua arah memahami dan dipahami apa yang menjadi akar masalahnya,” jelasnya.
Selain itu, katanya, yang rugi dalam kasus perceraian adalah pihak perempuan. Sebab, perempuan akan sulit untuk menikah lagi. Sementara, akibat dari perceraian di dalam rumah tangga, yang menjadi korban adalah anak.
“Yang korban dari perceraian ini adalah anak, sebaik-baiknya orangtua berpisah baik-baik untuk memberikan perhatian tapi anak adalah korban pertama dalam rumah tangga. Yang terjadi anak diperngaruhi oleh orang dewasa, saling membenci diantara orang dewasa. Siapa yang rugi? Orang dewasa itukan. Dia tidak mungkin memburukkan anaknya, padahal dia lahir dari kasih sayang orangtuanya,” pungkasnya. (man/ila)