MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wacana alih fungsi atau pengembalian lahan Merdeka Walk menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang diusulkan Gubernur Sumut (Gubsu) Edy Rahmayadi, sepertinya belum akan terealisasi. Pasalnya, selain menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) cukup besar dan terikat perjanjian kontrak kerja, Merdeka Walk juga merupakan ikon Kota Medan.
Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin, mengatakan saat ini kontrak kerja antara Pemerintah Kota (Pemko) Medan dengan pihak swasta selaku pengelola Merdeka Walk, masih berjalan. Kontraknya, baru selesai tahun 2031. Saat ini, pihaknya sedang mengkaji prospek Merdeka Walk ke depan.
“Yang perlu diketahui, Merdeka Walk itu sudah menjadi ikon Kota Medan. Sambil berjalan, akan kita lihat prospeknya bagaimana. Mudah-mudahan kita bisa saling mengerti satu sama lain. Nanti enggak ada lagi tempat orang ketemuan, bagaimana?” ujarnya baru-baru ini.
Eldin menyebutkan, saat ini yang datang ke Merdeka Walk bukan hanya warga Kota Medan dan wisatawan lokal saja. Melainkan juga dari luar negeri. Bahkan wisatawan asing yang datang ke Medan, kerap mencari Merdeka Walk. “Bukan hanya masyarakat Indonesia saja yang ke sana (Merdeka Walk), orang luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan Hongkong juga sering ke sana. Kalau sudah datang ke Medan, yang dicari biasanya Merdeka Walk,” ucapnya.
Menurut Eldin, PAD Merdeka Walk tidak selalu menjanjikan. Namun karena ada investor yang ingin membangun Kota Medan, kenapa tidak?
“Dulu sebenarnya bukan itu (PAD) yang kita pikirkan. Karena PAD-nya tidak selalu menjanjikan sebenarnya. Jadi, yang kita pikirkan dulu ada investor yang mau membenahi kota kita. Itulah yang kita jadikan tempat kuliner yang baik,” sebutnya.
Disinggung apakah Pemko Medan akan mempertahankan Merdeka Walk, Eldin tidak menjawab secara pasti. Namun yang jelas, secara perjanjian Pemko Medan masih terikat. “Kita mempertahankan, karena masih dalam perjanjian,” jawabnya.
Kata Eldin, lokasi Merdeka Walk dulunya merupakan lahan parkir taksi gelap dan kehidupan malam Kota Medan. “Dulu kerap dijadikan sebagai lokasi kenakalan yang tidak bisa dikontrol. Yang dibangun menjadi Merdeka Walk itu adalah tempat yang dulu dijadikan parkiran taksi-taksi gelap, dan kehidupan malam yang kita tidak tahu,” bebernya.
Adapun kawasan berolahraga, menurutnya, sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Merdeka Walk. Sebab sejak dulu lahan itu memang tidak dipergunakan sebagai sarana berolahraga. “Insya Allah nanti kita koordinasikanlah. Beliau (Gubsu) cuma bercerita bagaimana Merdeka Walk itu. Mungkin ‘kan dari satu sisi beliau ditanya-tanya oleh siapa, dan yang mungkin dijawab seperti itu,” tukas Eldin.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kota Medan, Suherman mengaku, potensi pajak yang dihasilkan dari Merdeka Walk sebesar Rp6 miliar. Pajak yang dihasilkan merupakan pajak restoran dan beberapa pajak atau retribusi lainnya. “Jika Merdeka Walk ditutup, pastinya akan mempengaruhi PAD Kota Medan. Selama ini, pajak restorannya menjadi pemasukan yang cukup besar dan rutin membayar,” katanya.
Suherman mengakui, Merdeka Walk sudah menjadi ikon Kota Medan. Banyak wisatawan lokal, domestik hingga mancanegara yang berkunjung ke sana. “Sangat disayangkan jika ditutup karena sudah menjadi salah satu ikon. Jadi, harus dipertimbangkan juga termasuk kontribusi pajaknya terhadap PAD,” pungkasnya.
Pengamat tata kota, Rafriandi Nasution, mengakui memang Merdeka Walk sudah menjadi ikon Kota Medan. Mulai dari warga Medan sendiri, luar Medan hingga turis asing, nama Merdeka Walk sudah terdengar familiar.
“Kalau memang kebutuhan RTH mendesak, patut jadi pertimbangan. Tetapi perlu jadi catatan, ada terikat kontrak dengan pihak yang mengelola Merdeka Walk. Pemko Medan pasti tidak akan mau melanggar hukum. Paling tidak, dinegosiasikan kepada pengelola dengan menawarkan win-win solution (solusi) kalau memang mau dikembalikan fungsinya jadi RTH,” ujar Rafriandi.
Salah satu kemungkinan solusi yang bisa dilakukan, sebut dia, Pemko Medan merelokasi pengusaha kuliner di Merdeka Walk ke tempat lain. Namun, harus ada kesepakatan dulu dengan pihak pengelola. “Asalkan ada kesepakatan dan kompensasinya sesuai., mungkin saja bisa. Apalagi, kalau demi kepentingan umum, pengusaha akan bisa memaklumi dan jangan sampai merugikan,” tandasnya. (ris)