25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

KJA Cemari Danau Toba, Perairan Haranggaol Paling Tercemar

KERAMBA
Sejumlah warga menumpangi boat bersandar tak jauh dari lokasi keramba jaring apung di Pelabuhan Tiga Ras, belum lama ini. Keramba-keramba jaring apung yang ada di perairan Danau Toba menjadi penyebab tercemarnya danau terbesar di Asia Tenggara ini.

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Pencemaran Danau Toba sudah berada pada fase yang mengkhawatirkan. Bahkan di sejumlah lokasi tingkat pencemarannya mencapai 80 persen. Terparah adalah perairan Haranggaol, Simalungun. Pencemaran disebabkan keberadaan keramba jaring apung yang bertebaran di Danau Toba.

DIREKTUR Utama Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT), Arie Prasetyo menyebutkan, pencemaran di danau terbesar di Asia Tenggara ini sudah menjadi perbincangan dan perhatian dari Kementerian Kemaritiman. Bahkan, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sudah mengundang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan kepala-kepala daerah di kawasan Danau Toba guna membahas soal kondisi air danau yang tercemar akibat keramba jaring apung di Universitas DEL di Kabupaten Samosir, Januari 2019 lalu.

“Rapat di DEL, data dari LIPI menjelaskan di mana area yang benar-benar tercemar. Salah satunya adalah di perairan Haranggaol. Tidak dihitung dari tingkat pencemarannya, tapi dihitung dari jumlah keramba per skueriter,” kata Arie Prasetyo kepada wartawan di Medan, Selasa (26/3).

Selain itu, ungkap Arie, masih ada area yang relatif aman atau airnya masih bersih. Karenanya, kondisi ini harus segera diperbaiki dengan mengurangi keramba jaring apung di perairan Danau Toba.

Menurutnya, BPODT akan menertibkan keramba jaring apung itu. Dan saat ini, pihaknya sudah memulai sosialisasi dampak buruk keberadaan keramba. Tidak hanya bagi air Danau oba, tetapi juga kehidupan masyarakat sekitar. “Jadi nanti action plan nantinya akan berbasis data, jadi biar lebih jelas. Tentu akan dikontrol (keramba) atau dikurangi secara signifikan,” ucapnya.

Tapi, lanjut Arie, yang perlu disiapkan sekarang bukan bagaimana mengurangi KJA. Namun, bagaimana pemerintah menyiapkan mitigasinya terhadap masyarakat yang dulu jadi petani sekarang jadi apa? Termasuk memindahkan KJA ke daratan. “Kenapa kita pindahkan ke darat? Karena segala sesuatu yang ada di danau itu lebih susah di kontrol. Seperti kita buka restoran apung, itu susah kita mengontrol limbahnya. Karena kita tidak bisa setiap hari mengontrol itu. Namun jika dipindahkan ke darat, kita lebih mudah untuk mengontrol limbahnya yang masuk ke danau,” beber Arien

Kemudian ia mengungkapkan, pemerintah juga akan menyiapkan sejumlah langkah untuk melakukan relokasi untuk penertiban KJA. Hal ini, merupakan salah satu opsi untuk masyarakat yang masih ingin meneruskan KJA sebagai budidaya ikan. “Tetapi juga disiapkan skema-skema lainnya misalnya terkait pariwisata untuk budidaya yang lain atau pelaku pariwisata,” jelasnya.

Jadi, kata Arie, di tahun ini juga penertiban KJA akan action. Kemudian, dari semua peraturan (Pergub) yang dikeluarkan akan diberi waktu lima tahun sampai dengan eksekusinya untuk mengurangi dampak pencemaran air Danau Toba. “Dan kita sudah meninjau di Sirundungun milik Aquafarm, kita sudah lihat bagaimana di sana. Ada tiga mereka di sana. Satu perusahaan lain Tanjung Unta dan milik masyarakat. Jadi ada yang punya perusahaan dan ada milik masyarakat. Dan ini butuh waktu untuk semuanya,” kata Arie.

Ia menambahkan, LIPI sudah mendata, menghitung dan melihat juga secara penginderaan jarak jauh atau remote censing dari foto udara jumlah KJA totalnya kira-kira ada ribuan. “Contohnya dari perusahaan Swiss, mereka ada tiga farm, tiga lokasi. Di mana per lokasi itu mereka punya 80 kotak keramba. Jadi kalau tiga itu ada 240 keramba plus satu perusahaan lagi ada 80 keramba dan totalnya ada sekitar 300 keramba serta punya masyarakat yang lain,” ungkap Arie.

Arie menjelaskan, dengan skema yang akan dibuat tersebut, rata-rata paling parah itu bisa 80 persen dan sisa 20 persen. Karena dari angka produksi punya perusahaan lebih produktif dari punya masyarakat. “Karena mereka punya yang lebih efektif. Mungkin penurunannya bisa mencapai di bawah 50 persen secara total. Untuk kembali normal kondisi airnya memerlukan waktu cukup lama juga lah,” pungkasnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Simalungun Pahala Sinaga tidak menampik kondisi Danau Toba Haranggaol yang dipenuhi Keramba Jaring Apung (KJA) dan berbau busuk bangkai ikan, mengurangi minat pengunjung ke sana. Bahkan, Pahala mengaku tingkat kunjungan wisatawan ke Haranggaol jauh sedikit dari sisi Danau Toba yang ada di Kabupaten Simalungun.

Selain KJA, penyebab minimnya wisatawan ke Haranggaol, sebut Pahala, karena di sana tidak memiliki spot menarik. Ia membandingkan dengan Parapat dan Bukit Indah Simanjarunjung (BIS). “Kalau di BIS ada yang dilihat. Kalau Haranggaol jauh ke bawah lagi (sehingga sedikit pengunjung),” ujarnya.

Pahala sempat melemparkan masalah bau busuk yang diduga dari keramba jaring apung (KJA), ikan mati dan pakan ikan (pelet) ke Dinas Pertanian dan Perikanan. Ia menilai sudah beberapa kali mengingatkan dinas itu untuk mengurangi KJA untuk peningkatan pariwisata.

Pahala menyebutkan untuk mengurangi KJA akan dilakukan secara bertahap.

Menurutnya, Pemkab Simalungun terbatas dalam mengaplikasikan pengurangan KJA. “Pada prinsipnya kita ingin meningkatkan kawasan Danau Toba. Bertahap, kita kan terbatas juga. Kita sedang progres (mengurangi KJA). Tak bisa langsung kita bersihkan,” katanya.

Pahala juga menyebutkan, keberadaan keramba berhubungan erat dengan faktor ekonomi masyarakat. Diketahui, pengunjung merasa risih dengan bau busuk yang menguap di Danau Toba Haranggaol. (gus/bbs)

KERAMBA
Sejumlah warga menumpangi boat bersandar tak jauh dari lokasi keramba jaring apung di Pelabuhan Tiga Ras, belum lama ini. Keramba-keramba jaring apung yang ada di perairan Danau Toba menjadi penyebab tercemarnya danau terbesar di Asia Tenggara ini.

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Pencemaran Danau Toba sudah berada pada fase yang mengkhawatirkan. Bahkan di sejumlah lokasi tingkat pencemarannya mencapai 80 persen. Terparah adalah perairan Haranggaol, Simalungun. Pencemaran disebabkan keberadaan keramba jaring apung yang bertebaran di Danau Toba.

DIREKTUR Utama Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT), Arie Prasetyo menyebutkan, pencemaran di danau terbesar di Asia Tenggara ini sudah menjadi perbincangan dan perhatian dari Kementerian Kemaritiman. Bahkan, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sudah mengundang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan kepala-kepala daerah di kawasan Danau Toba guna membahas soal kondisi air danau yang tercemar akibat keramba jaring apung di Universitas DEL di Kabupaten Samosir, Januari 2019 lalu.

“Rapat di DEL, data dari LIPI menjelaskan di mana area yang benar-benar tercemar. Salah satunya adalah di perairan Haranggaol. Tidak dihitung dari tingkat pencemarannya, tapi dihitung dari jumlah keramba per skueriter,” kata Arie Prasetyo kepada wartawan di Medan, Selasa (26/3).

Selain itu, ungkap Arie, masih ada area yang relatif aman atau airnya masih bersih. Karenanya, kondisi ini harus segera diperbaiki dengan mengurangi keramba jaring apung di perairan Danau Toba.

Menurutnya, BPODT akan menertibkan keramba jaring apung itu. Dan saat ini, pihaknya sudah memulai sosialisasi dampak buruk keberadaan keramba. Tidak hanya bagi air Danau oba, tetapi juga kehidupan masyarakat sekitar. “Jadi nanti action plan nantinya akan berbasis data, jadi biar lebih jelas. Tentu akan dikontrol (keramba) atau dikurangi secara signifikan,” ucapnya.

Tapi, lanjut Arie, yang perlu disiapkan sekarang bukan bagaimana mengurangi KJA. Namun, bagaimana pemerintah menyiapkan mitigasinya terhadap masyarakat yang dulu jadi petani sekarang jadi apa? Termasuk memindahkan KJA ke daratan. “Kenapa kita pindahkan ke darat? Karena segala sesuatu yang ada di danau itu lebih susah di kontrol. Seperti kita buka restoran apung, itu susah kita mengontrol limbahnya. Karena kita tidak bisa setiap hari mengontrol itu. Namun jika dipindahkan ke darat, kita lebih mudah untuk mengontrol limbahnya yang masuk ke danau,” beber Arien

Kemudian ia mengungkapkan, pemerintah juga akan menyiapkan sejumlah langkah untuk melakukan relokasi untuk penertiban KJA. Hal ini, merupakan salah satu opsi untuk masyarakat yang masih ingin meneruskan KJA sebagai budidaya ikan. “Tetapi juga disiapkan skema-skema lainnya misalnya terkait pariwisata untuk budidaya yang lain atau pelaku pariwisata,” jelasnya.

Jadi, kata Arie, di tahun ini juga penertiban KJA akan action. Kemudian, dari semua peraturan (Pergub) yang dikeluarkan akan diberi waktu lima tahun sampai dengan eksekusinya untuk mengurangi dampak pencemaran air Danau Toba. “Dan kita sudah meninjau di Sirundungun milik Aquafarm, kita sudah lihat bagaimana di sana. Ada tiga mereka di sana. Satu perusahaan lain Tanjung Unta dan milik masyarakat. Jadi ada yang punya perusahaan dan ada milik masyarakat. Dan ini butuh waktu untuk semuanya,” kata Arie.

Ia menambahkan, LIPI sudah mendata, menghitung dan melihat juga secara penginderaan jarak jauh atau remote censing dari foto udara jumlah KJA totalnya kira-kira ada ribuan. “Contohnya dari perusahaan Swiss, mereka ada tiga farm, tiga lokasi. Di mana per lokasi itu mereka punya 80 kotak keramba. Jadi kalau tiga itu ada 240 keramba plus satu perusahaan lagi ada 80 keramba dan totalnya ada sekitar 300 keramba serta punya masyarakat yang lain,” ungkap Arie.

Arie menjelaskan, dengan skema yang akan dibuat tersebut, rata-rata paling parah itu bisa 80 persen dan sisa 20 persen. Karena dari angka produksi punya perusahaan lebih produktif dari punya masyarakat. “Karena mereka punya yang lebih efektif. Mungkin penurunannya bisa mencapai di bawah 50 persen secara total. Untuk kembali normal kondisi airnya memerlukan waktu cukup lama juga lah,” pungkasnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Simalungun Pahala Sinaga tidak menampik kondisi Danau Toba Haranggaol yang dipenuhi Keramba Jaring Apung (KJA) dan berbau busuk bangkai ikan, mengurangi minat pengunjung ke sana. Bahkan, Pahala mengaku tingkat kunjungan wisatawan ke Haranggaol jauh sedikit dari sisi Danau Toba yang ada di Kabupaten Simalungun.

Selain KJA, penyebab minimnya wisatawan ke Haranggaol, sebut Pahala, karena di sana tidak memiliki spot menarik. Ia membandingkan dengan Parapat dan Bukit Indah Simanjarunjung (BIS). “Kalau di BIS ada yang dilihat. Kalau Haranggaol jauh ke bawah lagi (sehingga sedikit pengunjung),” ujarnya.

Pahala sempat melemparkan masalah bau busuk yang diduga dari keramba jaring apung (KJA), ikan mati dan pakan ikan (pelet) ke Dinas Pertanian dan Perikanan. Ia menilai sudah beberapa kali mengingatkan dinas itu untuk mengurangi KJA untuk peningkatan pariwisata.

Pahala menyebutkan untuk mengurangi KJA akan dilakukan secara bertahap.

Menurutnya, Pemkab Simalungun terbatas dalam mengaplikasikan pengurangan KJA. “Pada prinsipnya kita ingin meningkatkan kawasan Danau Toba. Bertahap, kita kan terbatas juga. Kita sedang progres (mengurangi KJA). Tak bisa langsung kita bersihkan,” katanya.

Pahala juga menyebutkan, keberadaan keramba berhubungan erat dengan faktor ekonomi masyarakat. Diketahui, pengunjung merasa risih dengan bau busuk yang menguap di Danau Toba Haranggaol. (gus/bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/