JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tak semua pesta selalu berakhir dengan suka cita. Dalam hiruk pikuk ‘pesta demokrasi’ Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 menyisakan duka mendalam. Sedikitnya, 119 pahlawan demokrasi gugur dan 500 orang lebih terpaksa dirawat di rumah sakit, di tengah panasnya kontestasi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden.
SEMANGAT untuk membuat pemilu hemat dan bebas dari politik ‘dagang sapi’ tak diperkuat dengan sistem yang lebih detail, mencakup para petugas di lapangan. Mereka yang gugur tentu tak sepadan dengan apa yang diberikan oleh negara sebagai petugas pengawal demokrasi. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakann
meninggalnya sejumlah petugas KPPS karena kelelahan saat Pemilu 2019 sudah menjadi kekhawatiran sejak awal. JK menyebut, Pemilu 2019 sebagai pemilu paling rumit. “Itu yang kita khawatirkan sejak awal. Bahwa ini pemilu yang terumit. Ternyata ada korbannya, di kalangan KPPS, juga di Kepolisian ada korban,” ujar JK, kemarin.
Menurut JK, pemilu serentak yang berlangsung beberapa hari lalu perlu dievaluasi. Salah satunya agar pileg dan pilpres kembali dipisah. “Tentu harus evaluasi yang keras. Salah satu hasil evaluasi, dipisahkan antara pilpres dan pileg, itu supaya bebannya (petugas) jangan terlalu berat,” katanya.
Ditambahkannya, salah satu yang juga menjadi catatan adalah pemilihan caleg dilakukan secara tertutup. Caleg dapat dipilih oleh partai. “Termasuk juga caleg-caleg itu tertutup. Pilih partai saja, sehingga tidak terjadi keruwetan menghitung,” tuturnya.
Bawaslu mengakui, Pemilu serentak 2019 sangat kompleks. Saat ini, Bawaslu fokus untuk pengawasan Pemilu 2019, baru kemudian membahas wacana pemisahan pileg-pilpres di tahun 2024. “Prinsip kami begini, tugas ini belum selesai. Kami selesaikan dulu tugas pengawasan Pemilu 2019. Persoalan nanti bahwa pada tahapan akhir evaluasi seperti apa, tentu nanti kami sampaikan rekomendasinya,” kata Ketua Bawaslu Abhan, di kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (23/4).
Abhan merasa, jika pemilu kali ini memang kompleks. Terutama, karena melihat banyak anggota KPPS dan pengawas pemilu di tingkat kecamatan yang meninggal saat bertugas. “Ini begitu kompleksitas teknis, memang bisa kita rasakan. Satu hal misalnya, kalau di jajaran pemilu dan penyelenggara pemilu KPU, yang sampai meninggal dunia ada sekitar 90-an, di kami pun sampai saat ini sudah sampai 33 yang meninggal. Tentu ini menjadi satu pikiran juga,” ujar Abhan.
Sementara, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, pihaknya belum bisa memutuskan sikap terkait wacana pemisahan pileg dan pilpres. Fritz menuturkan, penambahan surat suara dalam pemilu kali ini memberikan perbedaan yang dalam pelaksanaan pemungutan suara di hari H pencoblosan.
“Kami belum bisa menjawab secara sempurna soal itu karena ini masih dalam kajian kita. Tapi kan kita bisa melihat bagaimana proses penambahan satu kertas surat suara dari empat jadi lima itu ternyata memberikan perbedaan luar biasa dalam pelaksanaan di hari pemungutan suara,” tutur Fritz di lokasi yang sama.
“Meskipun kita tahu bahwa jumlah DPT-nya sudah diperkecil jadi maksimal cuma 300 (per TPS), tetapi kan proses penghitungannya sampai pencatatan itu bisa sampai kepada tengah malam atau pagi atau sampai siang jam 12 begitu,” imbuhnya.
Berdasarkan data dari KPU hingga Selasa (23/4) sore, jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia saat proses rekapitulasi hasil Pemilu 2019 bertambah. Saat ini tercatat sebanyak 119 orang meninggal dunia. “Datanya bertambah, 119 meninggal dunia, 548 sakit, tersebar di 25 provinsi,” kata komisioner KPU Viryan Aziz di kantor KPU, Jakarta Pusat, Selasa (23/4).
Viryan mengatakan, total petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit sejumlah 667 orang. Dia menyebut data ini berdasarkan update terbaru hari ini hingga pukul 16.30 WIB. “Berdasarkan data yang kami himpun hingga pukul 16.30 WIB, petugas kami yang mengalami kedukaan ada 667 orang,” ujar Viryan.
Melihat kenyataan ini, Viryan pun mengatakan, pemilu serentak cukup dilaksanakan satu kali ini saja. Dia beralasan, beban pemilu serentak melebihi kemampuan yang dimiliki. “Dengan menyertakan lima surat suara atau lima kelompok, pemilihan sudah terbukti paling tidak saat ini melebihi kapasitas kita untuk mewujudkan pemilihan umum serentak yang efektif dan berintegtritas serta damai,” sambungnya.
Viryan mengatakan, dalam pelaksanaan pemilu kali ini telah dirasakan oleh pelaksana dan peserta pemilu. Dia meminta penyelenggara pemilu dapat fokus menyelesaikan kerja. “Karena kita sudah sama-sama menjalaninya, peserta pemilu pun merasakan kami juga sangat merasakan khususnya teman-teman kami di daerah. Itukan harga yang sangat mahal untuk demokrasi, nah kami berharap semua pihak di daerah PPK, PPS, KPPS tegar dan fokus menyelesaikan kerjanya,” kata Viryan.
Menurut Viryan, pihaknya akan mengusulkan untuk melakukan dua pengelompokan jenis pemilu untuk pemilu selanjutnya. Pengelompokan atau pemisahan tersebut yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. “Kita usulkan ke depan, saya pikir ini juga sudah disampaikan oleh pihak lain pendekatan pengelompokan pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal,” kata Viryan.
Sebelumnya, KPU sudah melakukan riset evaluasi pelaksanaan pemilu serentak. Salah satu rekomendasinya, yaitu dilakukannya pemilu serentak dengan dua jenis. Riset evaluasi ini dilakukan berdasarkan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. KPU mengatakan dua jenis pemilu tersebut, yaitu pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
“Pemilu serentak nasional untuk Pilpres, Pemilu DPR dan DPD memilih pejabat tingkat nasional. Pemilu serentak daerah untuk pilkada gubernur dan bupati/wali kota dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota (memilih pejabat tingkat daerah provinsi/kabupaten/kota),” ujar Komisioner KPU Hasyim Asyari.
Kapolres Nisel Sakit
Pengamanan Pemilu serentak 2019 yang banyak menguras tenaga, juga membuat Kapolres Nias AKBP Deni Kurniawan harus mendapat perawatan medis. Perwira berpangkat dua melati emas di pundak ini mengatakan, ia kelelahan lantaran kurang istirahat. Begitupun, dirinya tetap memantau situasi keamanan di rumah sakit dengan tangan tertancap selang infus.
“Saya sudah dua malam dirawat di rumah sakit. Setelah melakukan pengamanan yang serba ekstra, akhirnya saya ‘tumbang’ juga. Yang namanya tanggungjawab, selagi masih bisa saya tanggungjawab,” katanya, Selasa (23/4).
Dari cek kesehatan yang dilakukan dokter, Deni kelelahan sehingga dirinya terserang penyakit. “Dokter bilang saya terkena tipes karena kecapean dan kurang istirahat,” ujarnya.
Seperti diketahui, bukan hanya Kapolres Nias AKBP Deni Kurniawan saja yang sakit karena melakukan pengamanan Pemilu 2019. Ada beberapa anggota Polri seperti di Polres Sidimpuan izin pulang karena badan kurang sehat dan di jalan, anggota polri yang diketahui bernama Aiptu Martin Sembiring tersebut ditabrak mobil dan tidak sadarkan diri sampai sekarang.
Sama halnya dengan personel Polres Dairi Aiptu Jonter Siringoringo yang menghembuskan nafas terakhir karena kecapean saat melakukan pengamanan Pemilu 2019 dan mendapat penghargaan Ipda Anumerta Jonter Siringoringo. (bbs/dvs/dtc/adz)