25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Jabatan Kada Hanya 4 Tahun, Ganggu Kinerja Kada Terpilih

Dr Arifin Saleh Siregar SSos MSP Dekan Fisip UMSU

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemangkasan masa jabatan kepala daerah terpilih pada Pilkada 2020 menjadi maksimal 4 tahun, dinilai bakal mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan visi dan misinya. Pasalnya, visi dan misi itu disusun untuk lima tahun. Jika dipangkas, visi dan misinya bisa tidak terealisasi, yang bakal berdampak pada penilaian negatif di mata publik.

PENGAMAT politik dari Universitas Muhammadiah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar menilai, penerapan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota secara langsung terkesan kaku dan tidak professional. Sehingga menyebabkan kinerja kepala daerah tidak maksimal.

“Artinya, ini akan mengganggu citra pemerintah. Terkesan, periodesasi kepala daerah seperti permainan. Jika ini dipaksakan, akan berdampak negatif di mata publikn

Seharusnya, periodesasi itu sakral, mengikuti masa jabatan selama 5 tahun. Bukan dipangkas menjadi 4 tahun demi Pemilu Serentak 2024,” ungkap Arifin kepada Sumut Pos, Kamis (22/8).

Meskipun dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 itu diatur soal kompensasi bagi kepala daerah yang dipangkas masa jabatannya, namun menurut Arifin, bukan di situ persoalannya. Tetapi bagaimana kinerja kepala daerah dalam menjalankan visi dan misinya jika periodesasinya dipangkas. “Jelas ini akan mengganggu kinerja kepala daerah terpilih nantinya. Mereka tidak dapat menjalankan visi dan misi yang sudah disusun untuk lima tahun ke depan secara maksimal. Apalagi visi dan misi itu juga merupakan janji kepala daerah kepada rakyatnya saat kampanye,” tegas Dekan FISIP UMSU ini.

Arifin juga mengaku heran, mengapa Pilkada 270 daerah itu harus diserentakkan. Dia menilai, hal ini ada indikasi pemaksaan pemerintah. “Selama lima tahun itulah kita mengukur berhasil tidaknya kepala daerah itu memimpin suatu daerah. Lucu juga kalau masa jabatan kepala daerah itu ada yang 5 tahun, 4 tahun, bahkan ada yang cuma 3,5 tahun,” ungkap Arifin sambil tertawa.

Harusnya, lanjut Arifin, pemerintah jangan terlalu memaksakan Pemilu serentak 2024. Pasalnya, berdasarkan pengalaman, Pemilu serentak 2019 tercatat sebagai penyelenggaraan pesta demokrasi terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Apalagi banyak petugas KPPS, PPS, dan PPK yang meninggal dunia karena kelelahan. “Apalagi nanti di 2024 semua menjadi satu. Ini jelas akan merepotkan penyelenggara pemilu dan masyarakat sendiri. Kebijakan itu harus betul-betul matang disiapkan untuk dilaksanakan. Karena demokrasi harus mempermudah kita dan memberi kepuasan bagi masyarakat juga. Akhirnya, dapat menyejahterakan rakyatnya,” pungkas Arifin.

Kurang Sosialisasi

Regulasi pemangkasan masa jabatan kepala daerah terpilih pada Pilkada 2020 ini, ternyata belum diketahui sejumlah pimpinan partai di Kota Medan. Dua partai dengan perolehan suara terbesar di Kota Medan, PDIP dan Gerindra sama-sama mengaku belum mengetahui regulasi itu.

“Saya justru baru tahu ini. Kok bisa begitu ya?” kata Ketua DPC PDIP Medan, Hasyim SE yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan kepada Sumut Pos, Kamis (22/8).

Hasyim sangat menyayangkan kurangnya sosialisasi dari penyelenggara Pemilu kepada tiap-tiap parpol dan masyarakat luas terkait hal ini. “Harusnya sosialisasinya gencarlah. Seperti ini ‘kan kurang bagus. Setiap parpol ‘kan punya pertimbangan masing-masing,” ujarnya.

Namun begitu, kata Hasyim, pihaknya menghargai keputusan yang telah ditetapkan tersebut. “Kalau memang alasannya sebagai bentuk penyesuaian kebijakan Pemilu serentak 2024 agar Pilkada disamakan penyelenggaraannya dengan Pilpres dan Pileg, ya sudah, kita hargai. Saya yakin setiap sistem atau aturan pasti ada plus dan minusnya, kita hargai saja,” katanya.

Hal senada diungkapkan Ketua DPC Partai Gerindra Medan, Bobby O Zulkarnain. Bobby mengaku belum mengetahui hal itu dan menyayangkan kurangnya sosialisasi dari pihak penyelenggara. “Saya kurang tahu ya, apakah dalam mengambil keputusan itu setiap parpol sudah dilibatkan atau belum. Tapi kalau sosialisasi saya yakin itu sangat minim. Buktinya saja banyak pengurus di daerah yang belum mengetahui hal itu,” ucap Bobby kepada Sumut Pos, Kamis (22/8).

Dijelaskan Bobby, seharusnya sosialisasi terkait aturan itu dilakukan secara gencar sejak jauh-jauh hari. “Dan bukan hanya kepada setiap parpol, melainkan juga kepada masyarakat luas,” jelasnya.

Di sisi lain, kata Bobby, keputusan tersebut sedikit banyaknya akan merugikan pasangan calon terpilih. Di saat daerah lain atau pemimpin sebelumnya dapat menjabat dan berbuat selama 5 tahun. Tapi yang nanti terpilih di Pilkada Medan hanya akan menjabat dan berbuat untuk Kota Medan selama 4 tahun saja. “Ada selisih 1 tahun dan itu bukan waktu yang sedikit untuk berbuat bagi kemajuan Kota Medan. Selain itu ‘kan sama saja, yang menjabat 5 tahun dengan yang menjabat 4 tahun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat,” katanya.

Namun begitu, ujar Bobby, pihaknya menghargai keputusan tersebut sebagai sebuah kebijakan untuk menyerentakkan Pilkada dengan Pilpres dan Pileg di tahun 2024 mendatang. “Kita hanya bersikap dan berfikir positif, bahwa apa yang diputuskan itu merupakan hal yang ditujukan untuk sesuatu yang baik buat bangsa ini,” tutupnya.

Berbeda dengan Bobby, Sekretaris Partai Gerindra Sumut, Robert Lumban Tobing mengaku sudah mengetahui kebijakan tersebut. Dia menilai, aturan tersebut sebagai solusi atas sistem Pilkada serentak yang diterapkan di Indonesia. “Artinya begini, dalam rangka penyederhanaan pilkada yang nantinya bersifat serentak di seluruh Indonesia, maka konsekuensinya adalah ada masa jabatan yang terpotong tidak utuh sesuai UU yaitu lima tahun,” kata Robert Lumban Tobing menjawab Sumut Pos, Kamis (22/8).

Menurutnya, ini memang menjadi perdebatan karena di satu sisi UU menyatakan, masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah lima tahun. Namun di sisi lain dari aspek UU Pilkada serentak, mengakibatkan pengurangan masa jabatan dimaksud.

“Ketentuannya sudah begitu. Dan konsekuensi inilah diberikan kompensasi untuk sisa masa jabatan, maka diberikan gaji dan tunjangan lainnya. Apakah sesederhana itu juga? Hal ini tentu ditempatkanlah kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Aturan itu boleh saja menjadi solusi jalan tengahnya,” pungkasnya.

Ketua KPU Sumut, Herdensi Adnin mengatakan, aturan tersebut memang sekaitan Pemilu serentak 2024 mendatang. Namun ketentuan dimaksud, menurut dia, tidak bersinggungan langsung ke KPU tapi lebih mengikat pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah dan wakil kepala daerah di semua tingkatan. “Itu ketentuan mengikat pemda, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota,” katanya.

Pihaknya juga sudah mengetahui tentang kabar regulasi baru tersebut. Namun, apakah KPU Sumut nanti akan menyosialisasikan regulasi baru itu ke seluruh parpol ataupun pemda? Herdensi menjawab normatif. “Parpol sepertinya sudah memahami soal ini. Apalagi itu terkait Pemilu serentak 2024,” katanya.

Diketahui, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 hanya akan memiliki jabatan maksimal empat tahun. Kendati demikian, para kepala daerah tersebut akan mendapat ganti rugi berupa gaji karena tak menjalankan tugas secara penuh selama lima tahun.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik mengungkapkan hal tersebut seiring dengan perubahan kebijakan Pilkada yang akan dilakukan serentak pada 2024, bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan juga Pemilihan Umum Legislatif.

“Soal masa jabatan hanya empat tahun ataupun kurang dari empat tahun merupakan konsekunsi yang harus ditanggung bersama karena regulasi yang berlaku,” kata Akmal dalam keterangan Sekretariat Kabinet, dikutip Rabu (21/8).

Menurut dia, sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, para kepala daerah yang masa jabatannya tidak penuh akan memperoleh ganti rugi gaji. Namun, ia mengaku dibutuhkan sosialisasi terkait masa jabatan yang tidak penuhi ini agar tidak menimbulkan kendala ke depan.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus mengantisipasi kemungkinan pengisian jabatan pada masa transisi jabatan. Apalagi, banyak masalah yang kerap muncul dalam Pilkada. Ia mencontohkan mahalnya ongkos kandidat kepala daerah, dana Pilkada yang menggerus anggaran pemda, kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersaing, politisasi birokrasi, politik dinasti, calon tunggal dukungan partai politik, hingga eks narapidana yang ikut Pilkada.

Pilkada serentak 2020 rencananya akan berlangsung 23 September 2020. Sebanyak 270 daerah l akan menyelenggarakan pemilihan terdiri dari 9 pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 224 pemilihan bupati dan wakil bupati, serta 37 pemilihan wali kota dan wakil wali kota. (gus/map/prn)

Dr Arifin Saleh Siregar SSos MSP Dekan Fisip UMSU

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemangkasan masa jabatan kepala daerah terpilih pada Pilkada 2020 menjadi maksimal 4 tahun, dinilai bakal mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan visi dan misinya. Pasalnya, visi dan misi itu disusun untuk lima tahun. Jika dipangkas, visi dan misinya bisa tidak terealisasi, yang bakal berdampak pada penilaian negatif di mata publik.

PENGAMAT politik dari Universitas Muhammadiah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar menilai, penerapan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota secara langsung terkesan kaku dan tidak professional. Sehingga menyebabkan kinerja kepala daerah tidak maksimal.

“Artinya, ini akan mengganggu citra pemerintah. Terkesan, periodesasi kepala daerah seperti permainan. Jika ini dipaksakan, akan berdampak negatif di mata publikn

Seharusnya, periodesasi itu sakral, mengikuti masa jabatan selama 5 tahun. Bukan dipangkas menjadi 4 tahun demi Pemilu Serentak 2024,” ungkap Arifin kepada Sumut Pos, Kamis (22/8).

Meskipun dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 itu diatur soal kompensasi bagi kepala daerah yang dipangkas masa jabatannya, namun menurut Arifin, bukan di situ persoalannya. Tetapi bagaimana kinerja kepala daerah dalam menjalankan visi dan misinya jika periodesasinya dipangkas. “Jelas ini akan mengganggu kinerja kepala daerah terpilih nantinya. Mereka tidak dapat menjalankan visi dan misi yang sudah disusun untuk lima tahun ke depan secara maksimal. Apalagi visi dan misi itu juga merupakan janji kepala daerah kepada rakyatnya saat kampanye,” tegas Dekan FISIP UMSU ini.

Arifin juga mengaku heran, mengapa Pilkada 270 daerah itu harus diserentakkan. Dia menilai, hal ini ada indikasi pemaksaan pemerintah. “Selama lima tahun itulah kita mengukur berhasil tidaknya kepala daerah itu memimpin suatu daerah. Lucu juga kalau masa jabatan kepala daerah itu ada yang 5 tahun, 4 tahun, bahkan ada yang cuma 3,5 tahun,” ungkap Arifin sambil tertawa.

Harusnya, lanjut Arifin, pemerintah jangan terlalu memaksakan Pemilu serentak 2024. Pasalnya, berdasarkan pengalaman, Pemilu serentak 2019 tercatat sebagai penyelenggaraan pesta demokrasi terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Apalagi banyak petugas KPPS, PPS, dan PPK yang meninggal dunia karena kelelahan. “Apalagi nanti di 2024 semua menjadi satu. Ini jelas akan merepotkan penyelenggara pemilu dan masyarakat sendiri. Kebijakan itu harus betul-betul matang disiapkan untuk dilaksanakan. Karena demokrasi harus mempermudah kita dan memberi kepuasan bagi masyarakat juga. Akhirnya, dapat menyejahterakan rakyatnya,” pungkas Arifin.

Kurang Sosialisasi

Regulasi pemangkasan masa jabatan kepala daerah terpilih pada Pilkada 2020 ini, ternyata belum diketahui sejumlah pimpinan partai di Kota Medan. Dua partai dengan perolehan suara terbesar di Kota Medan, PDIP dan Gerindra sama-sama mengaku belum mengetahui regulasi itu.

“Saya justru baru tahu ini. Kok bisa begitu ya?” kata Ketua DPC PDIP Medan, Hasyim SE yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan kepada Sumut Pos, Kamis (22/8).

Hasyim sangat menyayangkan kurangnya sosialisasi dari penyelenggara Pemilu kepada tiap-tiap parpol dan masyarakat luas terkait hal ini. “Harusnya sosialisasinya gencarlah. Seperti ini ‘kan kurang bagus. Setiap parpol ‘kan punya pertimbangan masing-masing,” ujarnya.

Namun begitu, kata Hasyim, pihaknya menghargai keputusan yang telah ditetapkan tersebut. “Kalau memang alasannya sebagai bentuk penyesuaian kebijakan Pemilu serentak 2024 agar Pilkada disamakan penyelenggaraannya dengan Pilpres dan Pileg, ya sudah, kita hargai. Saya yakin setiap sistem atau aturan pasti ada plus dan minusnya, kita hargai saja,” katanya.

Hal senada diungkapkan Ketua DPC Partai Gerindra Medan, Bobby O Zulkarnain. Bobby mengaku belum mengetahui hal itu dan menyayangkan kurangnya sosialisasi dari pihak penyelenggara. “Saya kurang tahu ya, apakah dalam mengambil keputusan itu setiap parpol sudah dilibatkan atau belum. Tapi kalau sosialisasi saya yakin itu sangat minim. Buktinya saja banyak pengurus di daerah yang belum mengetahui hal itu,” ucap Bobby kepada Sumut Pos, Kamis (22/8).

Dijelaskan Bobby, seharusnya sosialisasi terkait aturan itu dilakukan secara gencar sejak jauh-jauh hari. “Dan bukan hanya kepada setiap parpol, melainkan juga kepada masyarakat luas,” jelasnya.

Di sisi lain, kata Bobby, keputusan tersebut sedikit banyaknya akan merugikan pasangan calon terpilih. Di saat daerah lain atau pemimpin sebelumnya dapat menjabat dan berbuat selama 5 tahun. Tapi yang nanti terpilih di Pilkada Medan hanya akan menjabat dan berbuat untuk Kota Medan selama 4 tahun saja. “Ada selisih 1 tahun dan itu bukan waktu yang sedikit untuk berbuat bagi kemajuan Kota Medan. Selain itu ‘kan sama saja, yang menjabat 5 tahun dengan yang menjabat 4 tahun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat,” katanya.

Namun begitu, ujar Bobby, pihaknya menghargai keputusan tersebut sebagai sebuah kebijakan untuk menyerentakkan Pilkada dengan Pilpres dan Pileg di tahun 2024 mendatang. “Kita hanya bersikap dan berfikir positif, bahwa apa yang diputuskan itu merupakan hal yang ditujukan untuk sesuatu yang baik buat bangsa ini,” tutupnya.

Berbeda dengan Bobby, Sekretaris Partai Gerindra Sumut, Robert Lumban Tobing mengaku sudah mengetahui kebijakan tersebut. Dia menilai, aturan tersebut sebagai solusi atas sistem Pilkada serentak yang diterapkan di Indonesia. “Artinya begini, dalam rangka penyederhanaan pilkada yang nantinya bersifat serentak di seluruh Indonesia, maka konsekuensinya adalah ada masa jabatan yang terpotong tidak utuh sesuai UU yaitu lima tahun,” kata Robert Lumban Tobing menjawab Sumut Pos, Kamis (22/8).

Menurutnya, ini memang menjadi perdebatan karena di satu sisi UU menyatakan, masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah lima tahun. Namun di sisi lain dari aspek UU Pilkada serentak, mengakibatkan pengurangan masa jabatan dimaksud.

“Ketentuannya sudah begitu. Dan konsekuensi inilah diberikan kompensasi untuk sisa masa jabatan, maka diberikan gaji dan tunjangan lainnya. Apakah sesederhana itu juga? Hal ini tentu ditempatkanlah kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Aturan itu boleh saja menjadi solusi jalan tengahnya,” pungkasnya.

Ketua KPU Sumut, Herdensi Adnin mengatakan, aturan tersebut memang sekaitan Pemilu serentak 2024 mendatang. Namun ketentuan dimaksud, menurut dia, tidak bersinggungan langsung ke KPU tapi lebih mengikat pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah dan wakil kepala daerah di semua tingkatan. “Itu ketentuan mengikat pemda, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota,” katanya.

Pihaknya juga sudah mengetahui tentang kabar regulasi baru tersebut. Namun, apakah KPU Sumut nanti akan menyosialisasikan regulasi baru itu ke seluruh parpol ataupun pemda? Herdensi menjawab normatif. “Parpol sepertinya sudah memahami soal ini. Apalagi itu terkait Pemilu serentak 2024,” katanya.

Diketahui, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 hanya akan memiliki jabatan maksimal empat tahun. Kendati demikian, para kepala daerah tersebut akan mendapat ganti rugi berupa gaji karena tak menjalankan tugas secara penuh selama lima tahun.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik mengungkapkan hal tersebut seiring dengan perubahan kebijakan Pilkada yang akan dilakukan serentak pada 2024, bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan juga Pemilihan Umum Legislatif.

“Soal masa jabatan hanya empat tahun ataupun kurang dari empat tahun merupakan konsekunsi yang harus ditanggung bersama karena regulasi yang berlaku,” kata Akmal dalam keterangan Sekretariat Kabinet, dikutip Rabu (21/8).

Menurut dia, sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, para kepala daerah yang masa jabatannya tidak penuh akan memperoleh ganti rugi gaji. Namun, ia mengaku dibutuhkan sosialisasi terkait masa jabatan yang tidak penuhi ini agar tidak menimbulkan kendala ke depan.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus mengantisipasi kemungkinan pengisian jabatan pada masa transisi jabatan. Apalagi, banyak masalah yang kerap muncul dalam Pilkada. Ia mencontohkan mahalnya ongkos kandidat kepala daerah, dana Pilkada yang menggerus anggaran pemda, kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersaing, politisasi birokrasi, politik dinasti, calon tunggal dukungan partai politik, hingga eks narapidana yang ikut Pilkada.

Pilkada serentak 2020 rencananya akan berlangsung 23 September 2020. Sebanyak 270 daerah l akan menyelenggarakan pemilihan terdiri dari 9 pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 224 pemilihan bupati dan wakil bupati, serta 37 pemilihan wali kota dan wakil wali kota. (gus/map/prn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/