26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jakarta Tolak Babi dari Sumut

DPRD Sumut Siap Perjuangkan Ganti Rugi Bagi Pertenak

RAPAT: Suasana RDP Komisi B DPRD Sumut membahas penanggulangan kematian babi yang diduga wabah ASF, di DPRD Sumut, Selasa (7/1). 
PRAN HASIBUAN/SUMUT POS
RAPAT: Suasana RDP Komisi B DPRD Sumut membahas penanggulangan kematian babi yang diduga wabah ASF, di DPRD Sumut, Selasa (7/1). PRAN HASIBUAN/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Para peternak babi yang ternaknya mati karena virus African Swine Fever (demam babi Afrika), berharap ada solusi dari pemerintah atas wabah penyakit yang menyerang puluhan ribu babi di Sumatera Utara.

Tidak hanya untuk babi-babi yang sudah mati, tapi juga babi yang masih hidup. Mereka berharap agar tidak dibiarkan, hanya bisa pasrah menerima keadaan.

Hal itu disampaikan para peternak babi yang tergabung dalam Asosiasi Peternak Babi (Asperba) Sumut dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Sumut, Selasa (7/1). Ketua Asperba Hendri Duin Sembiring didampingi anggotanya menyebutkan, para peternak dibuat bingung bukan hanya karena ternak mereka yang mati, tapi juga bingung mendefinisikan penyakit yang menimpa ternak mereka.

“Awalnya disebut hog cholera, kemudian suspek ASF. Sekarang wabah ASF. Harapan kami kalau sudah diketahui masalahnya, lakukanlah langkah-langkah. Jangan kami dibiarkan pasrah. Kami berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang tepat, sampai saat ini obat ASF belum ada, kami realistis, kalau minta pemerintah menyediakan obat itu, seperti meminta pemerintah membuat dua matahari, karena memang tidak mungkin,” katanya.

Namun pihaknya menginginkan ada tindakan pemerintah mengatasi kerugian yang dialami masyarakat. Kelompok ternak saat ini terbagi menjadi empat kategori, yaitu ternak yang terlanjur mati, ternak yang sedang sakit, ternak yang masih sehat tapi berada di zona terinfeksi virus dan terakhir ternak yang berada di kabupaten/kota yang belum terinfeksi virus. Jangan sampai pemerintah sibuk mengatasi zona merah dan membiarkan zona hijau.

“Kami ingin (ternak) yang mati ada ganti ruginya, kami tidak berharap ganti untung, ganti rugi saja pun jadi. Lalu ternak yang sakit bagaimana penanganannya, yang sehat juga bagaimana. Kami yakin keuangan pemerintah terbatas, maka menurut kami solusi terhadap ternak yang masih hidup dan sehat, agar bisa tetap dijual ke Provinsi DKI Jakarta,” katanya.

Saat ini DKI Jakarta menutup pintu terhadap babi dari Sumut. Pihaknya berharap Pemprovsu mampu bernegosiasi dengan Pemprov DKI agar babi yang sehat, yang telah benar-benar diperiksa dapat diterima. Sehingga masyarakat tidak mengalami kerugian beruntun.

Anggota Komisi B DPRDSU, Tuani Lumban Tobing menegaskan agar Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Sumut menganggarkan ganti rugi terhadap babi-babi yang mati tersebut dan mendata secara selektif khususnya bagi peternak rumahan. “Buat kesimpulan berapa mau dibayarkan, Rp10 miliar, Rp50 miliar, nanti kami akan rekomendasikan. Kita akan perjuangkan,” katanya.

Kepala DKPP Sumut, Azhar Harahap mengatakan, kewenangan menetapkan suatu wabah atau penyakit ada di Kementerian Pertanian. Pihaknya baru menerima SK resmi dari Kementan mengenai penetapan wabah ASF ini pada 3 Januari 2020. SK tersebut sendiri keluar pada 12 Desember, namun menurutnya Kementan harus terlebih dahulu mendapat pengakuan dari OIE.

Dampak dari penetapan wabah ini sangat besar, tidak hanya bagi Sumut, tetapi juga bagi Indonesia. Akibatnya, saat ini seluruh dunia tidak boleh lagi menerima ternak babi dari Indonesia. Permasalahan lainnya di Sumut, ternak babi yang sehat juga tidak diterima oleh daerah lain, sehingga pasokan babi yang ada baik di peternak maupun perusahaan menumpuk, tidak bisa dijual.

“Sumut tidak menutup perdagangan babi, tapi daerah lain yang menutup gerbang bagi ternak kita, sehingga para peternak susah. Kami mencari solusi dengan menerbitkan sertifikasi bagi ternak babi yang sehat agar bisa dipasarkan ke daerah lain, khususnya DKI Jakarta yang selama ini menampung 60 persen pasokan babi dari Sumut,” katanya.

Anggota Komisi B lainnya, Sugianto Makmur mengatakan, kejadian ini merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam rangka menjaga virus tersebut masuk ke dalam negeri. Padahal ada Balai Besar Karantina yang bertugas mencegah masuknya ASF ke Indonesia melalui bandara maupun pelabuhan. “Karena negara lalai, jadi negara wajib ganti rugi. Berikan solusi. Kalau masalah anggaran, ayo kita perjuangkan. Kami akan rekomendasikan harus ada ganti rugi,” katanya.

Hendri juga menekankan agar pemerintah menjelaskan ada atau tidaknya kompensasi terhadap ternak babi yang mati, agar pihaknya sebagai asosiasi peternak bisa melaporkan ke masyarakat. “Rasa pesimis mulai ada, apa yang harus kita tunggu? Kami berharap,” timpal dia.

Terkait ganti rugi, Azhar mengatakan pihaknya ada keterbatasan anggaran sehingga harus berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah agar dapat ditampung sebagai penanggulangan bencana. Pihaknya mengaku hanya mengalokasikan anggaran untuk desinfektan, bio security peternakan babi dan lainnya. “Kita akan menyusun langkah-langkah untuk mengakomodir harapan peternak termasuk kompensasi,” katanya.

Tak Ada Lagi Kasus di Medan

Diketahui, kasus kematian babi saat ini semakin meluas di Sumatera Utara. Tercatat, ada 18 daerah yang saat ini sudah termasuk dalam penyebaran virus mematikan bagi ternak babi tersebut. Namun, Dinas Pertanian dan Perikanan (DPP) Kota Medan justru mengklaim, saat ini kasus kematian babi sudah tidak ditemukan lagi di Kota Medan. “Sudah beberapa lama ini kita tidak ada lagi kasus matinya ternak babi di Kota Medan. Baik di peternakan, dibuang di sungai ataupun di jalan-jalan seperti waktu-waktu yang lalu,” kata Kadis Pertanian dan Perikanan Kota Medan, Ikhsar Risyad Marbun kepada Sumut Pos, Selasa (7/1).

Hal itu disebutkannya, sebab sejak beberapa waktu yang lalu pihaknya memang tidak ada menemukan kembali bangkai-bangkai babi yang dibuang di sejumlah sungai dan badan jalan di Kota Medan. “Di sejumlah wilayah di Kota Medan yang ada masyarakatnya memelihara babi juga sudah kita kunjungi, misalnya terakhir kita pantau di wilayah Tangguk Bongkar, tidak ada lagi kematian babi di sana. Ternak babi mereka sehat-sehat dan tidak ada masalah,” ujarnya.

Selain itu, kata Ikhsar, selama ini bangkai-bangkai babi yang banyak ditemukan di Kota Medan, mayoritas diantaranya justru bukanlah ternak babi yang ada di Kota Medan, melainkan ternak babi dari sejumlah wilayah yang ada di Kota Medan, antara lain dari Kabupaten Deliserdang. “Sebenarnya yang beberapa bulan lalu, bangkai-bangkai babi itu juga bukan dari Medan, tapi dari Deliserdang. Kalau ada dari Medan itu jumlahnya sangat kecil,” kata Ikhsar.

Untuk itu, kata Ikhsar, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara agar tidak membiarkan masuknya ternak babi dari luar ke dalam Kota Medan. “Kita terus pantau itu, jangan ada babi yang masuk ke Medan dari luar daerah. Kalaupun ada yang masuk, itu harus dipotong di RPH (Rumah Potong Hewan), disana tentu sudah ada pemeriksaan langsung untuk ternak yang akan dipotong,” tandasnya.

Terpisah, anggota DPRD Medan sekaligus Ketua Asosiasi Peternak Babi (Asperba) Sumut, Hendri Duin kepada Sumut Pos mengatakan, saat ini pihaknya meminta gar Pemerintah Provinsi segera mengambil langkah nyata dalam menangani kasus kematian babi. “Ini sudah berlarut-larut sebenarnya. Harusnya ada langkah nyata, sebab semakin hari penyebarannya di Sumut memang semakin meluas,” katanya.

Selain itu, Hendri menyebutkan, pihaknya telah memprediksi bahwa dalam beberapa bulan ke depan Sumut akan mengalami kelangkaan babi. Selain akan berdampak kepada para peternak, hal ini tentu juga akan berdampak pada para pelaku usaha daging babi atau rumah makan yang menjual olahan daging babi.

Hendri Duin yang dikenal sebagai salah satu pengusaha rumah makan olahan daging babi di Kota Medan menyebutkan, karena hal itu pihaknya terpaksa akan melakukan langkah-langkah ekspansi usaha mereka ke luar Sumut. “Kalau babi sudah langka di Sumut, mau tidak mau kita harus ekspansi ke luar wilayah.

Saya pribadi rencananya akan membuka cabang di Jakarta dan Denpasar, mungkin teman-teman yang lain akan mengambil langkah yang sama. Karena prediksi kami, bulan April nanti Kota Medan sudah mengalami kelangkaan daging babi,” tutupnya. (prn/map)

DPRD Sumut Siap Perjuangkan Ganti Rugi Bagi Pertenak

RAPAT: Suasana RDP Komisi B DPRD Sumut membahas penanggulangan kematian babi yang diduga wabah ASF, di DPRD Sumut, Selasa (7/1). 
PRAN HASIBUAN/SUMUT POS
RAPAT: Suasana RDP Komisi B DPRD Sumut membahas penanggulangan kematian babi yang diduga wabah ASF, di DPRD Sumut, Selasa (7/1). PRAN HASIBUAN/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Para peternak babi yang ternaknya mati karena virus African Swine Fever (demam babi Afrika), berharap ada solusi dari pemerintah atas wabah penyakit yang menyerang puluhan ribu babi di Sumatera Utara.

Tidak hanya untuk babi-babi yang sudah mati, tapi juga babi yang masih hidup. Mereka berharap agar tidak dibiarkan, hanya bisa pasrah menerima keadaan.

Hal itu disampaikan para peternak babi yang tergabung dalam Asosiasi Peternak Babi (Asperba) Sumut dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Sumut, Selasa (7/1). Ketua Asperba Hendri Duin Sembiring didampingi anggotanya menyebutkan, para peternak dibuat bingung bukan hanya karena ternak mereka yang mati, tapi juga bingung mendefinisikan penyakit yang menimpa ternak mereka.

“Awalnya disebut hog cholera, kemudian suspek ASF. Sekarang wabah ASF. Harapan kami kalau sudah diketahui masalahnya, lakukanlah langkah-langkah. Jangan kami dibiarkan pasrah. Kami berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang tepat, sampai saat ini obat ASF belum ada, kami realistis, kalau minta pemerintah menyediakan obat itu, seperti meminta pemerintah membuat dua matahari, karena memang tidak mungkin,” katanya.

Namun pihaknya menginginkan ada tindakan pemerintah mengatasi kerugian yang dialami masyarakat. Kelompok ternak saat ini terbagi menjadi empat kategori, yaitu ternak yang terlanjur mati, ternak yang sedang sakit, ternak yang masih sehat tapi berada di zona terinfeksi virus dan terakhir ternak yang berada di kabupaten/kota yang belum terinfeksi virus. Jangan sampai pemerintah sibuk mengatasi zona merah dan membiarkan zona hijau.

“Kami ingin (ternak) yang mati ada ganti ruginya, kami tidak berharap ganti untung, ganti rugi saja pun jadi. Lalu ternak yang sakit bagaimana penanganannya, yang sehat juga bagaimana. Kami yakin keuangan pemerintah terbatas, maka menurut kami solusi terhadap ternak yang masih hidup dan sehat, agar bisa tetap dijual ke Provinsi DKI Jakarta,” katanya.

Saat ini DKI Jakarta menutup pintu terhadap babi dari Sumut. Pihaknya berharap Pemprovsu mampu bernegosiasi dengan Pemprov DKI agar babi yang sehat, yang telah benar-benar diperiksa dapat diterima. Sehingga masyarakat tidak mengalami kerugian beruntun.

Anggota Komisi B DPRDSU, Tuani Lumban Tobing menegaskan agar Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Sumut menganggarkan ganti rugi terhadap babi-babi yang mati tersebut dan mendata secara selektif khususnya bagi peternak rumahan. “Buat kesimpulan berapa mau dibayarkan, Rp10 miliar, Rp50 miliar, nanti kami akan rekomendasikan. Kita akan perjuangkan,” katanya.

Kepala DKPP Sumut, Azhar Harahap mengatakan, kewenangan menetapkan suatu wabah atau penyakit ada di Kementerian Pertanian. Pihaknya baru menerima SK resmi dari Kementan mengenai penetapan wabah ASF ini pada 3 Januari 2020. SK tersebut sendiri keluar pada 12 Desember, namun menurutnya Kementan harus terlebih dahulu mendapat pengakuan dari OIE.

Dampak dari penetapan wabah ini sangat besar, tidak hanya bagi Sumut, tetapi juga bagi Indonesia. Akibatnya, saat ini seluruh dunia tidak boleh lagi menerima ternak babi dari Indonesia. Permasalahan lainnya di Sumut, ternak babi yang sehat juga tidak diterima oleh daerah lain, sehingga pasokan babi yang ada baik di peternak maupun perusahaan menumpuk, tidak bisa dijual.

“Sumut tidak menutup perdagangan babi, tapi daerah lain yang menutup gerbang bagi ternak kita, sehingga para peternak susah. Kami mencari solusi dengan menerbitkan sertifikasi bagi ternak babi yang sehat agar bisa dipasarkan ke daerah lain, khususnya DKI Jakarta yang selama ini menampung 60 persen pasokan babi dari Sumut,” katanya.

Anggota Komisi B lainnya, Sugianto Makmur mengatakan, kejadian ini merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam rangka menjaga virus tersebut masuk ke dalam negeri. Padahal ada Balai Besar Karantina yang bertugas mencegah masuknya ASF ke Indonesia melalui bandara maupun pelabuhan. “Karena negara lalai, jadi negara wajib ganti rugi. Berikan solusi. Kalau masalah anggaran, ayo kita perjuangkan. Kami akan rekomendasikan harus ada ganti rugi,” katanya.

Hendri juga menekankan agar pemerintah menjelaskan ada atau tidaknya kompensasi terhadap ternak babi yang mati, agar pihaknya sebagai asosiasi peternak bisa melaporkan ke masyarakat. “Rasa pesimis mulai ada, apa yang harus kita tunggu? Kami berharap,” timpal dia.

Terkait ganti rugi, Azhar mengatakan pihaknya ada keterbatasan anggaran sehingga harus berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah agar dapat ditampung sebagai penanggulangan bencana. Pihaknya mengaku hanya mengalokasikan anggaran untuk desinfektan, bio security peternakan babi dan lainnya. “Kita akan menyusun langkah-langkah untuk mengakomodir harapan peternak termasuk kompensasi,” katanya.

Tak Ada Lagi Kasus di Medan

Diketahui, kasus kematian babi saat ini semakin meluas di Sumatera Utara. Tercatat, ada 18 daerah yang saat ini sudah termasuk dalam penyebaran virus mematikan bagi ternak babi tersebut. Namun, Dinas Pertanian dan Perikanan (DPP) Kota Medan justru mengklaim, saat ini kasus kematian babi sudah tidak ditemukan lagi di Kota Medan. “Sudah beberapa lama ini kita tidak ada lagi kasus matinya ternak babi di Kota Medan. Baik di peternakan, dibuang di sungai ataupun di jalan-jalan seperti waktu-waktu yang lalu,” kata Kadis Pertanian dan Perikanan Kota Medan, Ikhsar Risyad Marbun kepada Sumut Pos, Selasa (7/1).

Hal itu disebutkannya, sebab sejak beberapa waktu yang lalu pihaknya memang tidak ada menemukan kembali bangkai-bangkai babi yang dibuang di sejumlah sungai dan badan jalan di Kota Medan. “Di sejumlah wilayah di Kota Medan yang ada masyarakatnya memelihara babi juga sudah kita kunjungi, misalnya terakhir kita pantau di wilayah Tangguk Bongkar, tidak ada lagi kematian babi di sana. Ternak babi mereka sehat-sehat dan tidak ada masalah,” ujarnya.

Selain itu, kata Ikhsar, selama ini bangkai-bangkai babi yang banyak ditemukan di Kota Medan, mayoritas diantaranya justru bukanlah ternak babi yang ada di Kota Medan, melainkan ternak babi dari sejumlah wilayah yang ada di Kota Medan, antara lain dari Kabupaten Deliserdang. “Sebenarnya yang beberapa bulan lalu, bangkai-bangkai babi itu juga bukan dari Medan, tapi dari Deliserdang. Kalau ada dari Medan itu jumlahnya sangat kecil,” kata Ikhsar.

Untuk itu, kata Ikhsar, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara agar tidak membiarkan masuknya ternak babi dari luar ke dalam Kota Medan. “Kita terus pantau itu, jangan ada babi yang masuk ke Medan dari luar daerah. Kalaupun ada yang masuk, itu harus dipotong di RPH (Rumah Potong Hewan), disana tentu sudah ada pemeriksaan langsung untuk ternak yang akan dipotong,” tandasnya.

Terpisah, anggota DPRD Medan sekaligus Ketua Asosiasi Peternak Babi (Asperba) Sumut, Hendri Duin kepada Sumut Pos mengatakan, saat ini pihaknya meminta gar Pemerintah Provinsi segera mengambil langkah nyata dalam menangani kasus kematian babi. “Ini sudah berlarut-larut sebenarnya. Harusnya ada langkah nyata, sebab semakin hari penyebarannya di Sumut memang semakin meluas,” katanya.

Selain itu, Hendri menyebutkan, pihaknya telah memprediksi bahwa dalam beberapa bulan ke depan Sumut akan mengalami kelangkaan babi. Selain akan berdampak kepada para peternak, hal ini tentu juga akan berdampak pada para pelaku usaha daging babi atau rumah makan yang menjual olahan daging babi.

Hendri Duin yang dikenal sebagai salah satu pengusaha rumah makan olahan daging babi di Kota Medan menyebutkan, karena hal itu pihaknya terpaksa akan melakukan langkah-langkah ekspansi usaha mereka ke luar Sumut. “Kalau babi sudah langka di Sumut, mau tidak mau kita harus ekspansi ke luar wilayah.

Saya pribadi rencananya akan membuka cabang di Jakarta dan Denpasar, mungkin teman-teman yang lain akan mengambil langkah yang sama. Karena prediksi kami, bulan April nanti Kota Medan sudah mengalami kelangkaan daging babi,” tutupnya. (prn/map)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/