MEDAN, SUMUTPOS.CO – Banjir masih menjadi satu masalah di Kota Medan yang tak kunjung selesai. Setiap tahun apalagi saat musim hujan tiba, banjir selalu saja terjadi. Sungai dan parit meluap, jalanan tergenang air, sekolah-sekolah dan tempat usaha juga tak luput dari genangan air. Karena itulah, Kota Medan saat ini butuh pemimpin yang mampu mengatasi banjir.
Menurut Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli, Luhut Sihombing, kerugian materi dan nonmateri akibat banjir sangatlah besar. “Aktivitas ekonomi dan sosial lumpuh akibat akses yang terputus. Belum lagi, kerusakan dan kerugian sektor infrastruktur serta kerugian sektor ekonomi produktif,” katanya kepada wartawan di Medan, Kamis (15/10).
Luhut menjelaskan, banjir mikro maupun makro di Medan merupakan buah dari disfungsionalnya salah satu sub-sistem dalam sistem bio-region yaitu manusia dan sumber daya. Peristiwa ini terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan, yang disebabkan terjadinya hujan melebihi kapasitas daya serap tanah dan kapasitas aliran air. Air tersebut akan menggenangi dari sekitarnya atau mengalir ke daerah yang lebih rendah lalu menggenangi jalanan, areal sekolah, rumah sakit, kampus, tempat usaha dan areal lainnya.
Kota Medan sendiri secara alami memiliki potensi bahaya banjir yang sangat besar, baik secara spasial maupun temporal. Artinya, walaupun Pemerintah Kota (Pemko) Medan mampu mengelola kotanya dengan baik, tetap memiliki potensi hazard banjir. Potensi tersebut akan menjadi kenyataan jika variabel alaminya teramplifikasi oleh faktor pembangunan sungai, kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, kesalahan konsep drainase, dan faktor kesalahan perilaku masyarakat terhadap komponen hidrologi-hidraulik.
Dikatakan Luhut, Kota Medan tidak boleh dikelola dengan biasa-biasa saja. Meletakkan anggaran untuk pencegahan banjir saja tidak cukup. Tapi, harus dapat memastikan anggaran tersebut sudah digunakan dengan baik dan benar. “Seperti yang diamanatkan oleh Presiden Jokowi, jangan hanya send-send saja tapi pastikan sudah delivered, yang berarti telah dirasakan masyarakat penerima manfaat,” katanya.
Selama ini, sambungnya, mitigasi banjir oleh Pemko Medan hanya sebatas perbaikan rutin. Padahal, langkah tersebut sudah terbukti tidak efektif dan terkesan buang-buang anggaran. Banjir tetap saja terjadi dan cenderung makin parah dari tahun ke tahun.
Lebih lanjut Luhut mengatakan, banjir perkotaan adalah bencana yang bisa dikalkulasi dan harusnya bisa dihindari. Untuk itu, perlu ada mitigasi baik mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Mitigasi banjir struktural berupa pembangunan fisik dan secara langsung, seperti pengaturan debit banjir, meresapkan air hujan sebanyak mungkin ke dalam tanah dengan sumur dalam sungai,jalan aspal berpori,menyediakan daerah terbuka hijau, dan mengalirkan air secepatnya ke sungai yang ada dengan perbaikan drainase secara komprehensif.
Mitigasi Banjir nonstruktural tidak secara fisik, misalnya dengan kebijakan- kebijakan tertentu seperti pengendalian tata ruang, pengaturan daerah rawan banjir, dan peningkatan peran masyarakat serta pengelolaan daerah tangkapan air yang sustainable.
Oleh karena itu, perlu pemimpin yang memiliki komitmen kuat untuk mengatasi masalah banjir di Medan. Pemimpin yang bukan hanya berorientasi pada perbaikan drainase atau aliran sungai, tapi bagaimana bisa menghadirkan inovasi yang lebih bermanfaat. Sebagai contoh seperti di Surabaya yang bisa membuat sumur dalam sungai, atau di beberapa negara yang bisa membangun jalan berpori berfungsi untuk serapan air.
“Jadi, yang paling penting adalah kota ini sedang menanti tangan baru, butuh tangan baru yang bisa membuat kota ini lebih baik, tidak banjir. Daerah ini butuh pemimpin yang bisa berkoordinasi dengan seluruh pihak, baik dari Pusat, Provinsi dan stakeholders lainnya dalam menangani masalah banjir,” tandas Luhut yang juga Wakil Rektor V USU. (ris/ila)