26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Tak Ada Alasan Meragukan Hasil Investigasi Komnas HAM

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinilai sudah bekerja secara profesional dalam menginvestigasi kematian enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI). Hasilnya menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut.

Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem Taufik Basari mengatakan, dari pemaparan kepada publik dan media jelas terlihat Komnas HAM melakukan investigasi yang mendalam, hati-hati, cermat, serta menggunakan pendekatan saintifik. Menurut Taufik, publik sepatutnya mengapresiasi upaya Komnas HAH.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Komnas HAM berhasil mengumpulkan barang bukti dan keterangan yang cukup lengkap. Meminta pendapat ahli atas bukti dan keterangan yang dimiliki sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun secara akademik karena sudah tepat metodologinya.

“Sehingga, tidak ada alasan untuk meragukan hasil investigasi tersebut,” kata Taufik saat dihubungi wartawan, Jumat (29/1/2021).

Namun demikian, menurut dia, tetap perlu ada tindak lanjut terhadap hasil investigasi tersebut, karena kewenangan Komnas HAM terbatas pada investigasi. Sedangkan penyidikan menjadi kewenangan Kepolisian.

“Karena bukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sehingga bukan menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM melainkan yurisdiksi pengadilan negeri. Maka kesimpulan Komnas HAM adalah menindaklanjuti kasus ini melalui pengadilan pidana,” imbuhnya.

Taufik menjelaskan bahwa menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam Pasal 9 dirumuskan unsur-unsur kejahatan kemanusiaan yang rigid dan limitatif, di antaranya ada unsur meluas atau sistematik. Menurut Taufik, Komnas HAM merujuk pada rumusan Undang-Undang tersebut.

“Kategori pelanggaran HAM berat sebenarnya mengarah kepada apakah suatu peristiwa pelanggaran HAM masuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 atau tidak, bukan apakah suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM yang ringan atau yang berat. Ini yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman,” ungkapnya.

Dia menegaskan, tidak ada yang namanya pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran HAM. Disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat, lanjut dia, hanya untuk melihat apakah masuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Menurut dia, Undang-Undang itu sebenarnya mengadopsi definisi yang termuat dalam Statuta International Criminal Court (ICC) atau Statuta Roma yang kala itu dibuat dalam rangka menghindari kasus Timor Timur tahun 1999 dibawa ke pengadilan internasional. Tetapi, kata dia, ada penerjemahan yang tidak tepat.

“Gross violation of human rights diterjemahkan sebagai pelanggaran HAM yang berat padahal mestinya pelanggaran berat HAM, akhirnya banyak orang menyangka ada pelanggaran HAM yang berat dan ada yang ringan padahal tidak begitu. Dalam peristiwa KM 50 Karawang Komnas HAM tegas menyatakan peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM, namun tidak termasuk kategori pelanggaran HAM Berat menurut UU,” tutur Taufik.

Taufik menyambut baik janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di Komisi III DPR akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM.

Di samping itu, dia menilai penyebaran opini sebagai pendapat sepanjang tidak disertai manipulasi fakta, fabrikasi bukti, tidak perlu sampai diproses hukum pidana, tetapi perlu untuk dibatasi, dilakukan bantahan dan klarifikasi yang jelas dan bernas.

“Namun jika penyebaran informasinya bukan merupakan pendapat melainkan sengaja dilakukan dengan memanipulasi fakta dan menciptakan berita bohong atau hoax, maka dapat dilakukan tindakan penegakan hukum,” tegasnya.

Menurut dia, penyebaran opini yang mengandung disinformasi merupakan upaya untuk menarik simpati kepada kelompok tertentu dan membangun ketidakpercayaan kepada institusi hukum, termasuk kepada Komnas HAM.

“Menurut saya penyikapannya adalah
pelurusan informasi dan memberikan penjelasan dan bantahan terhadap informasi-informasi yang keliru tersebut. Tidak perlu reaktif dan memberikan respon berlebihan cukup dengan melakukan edukasi publik dengan penjelasan yang lengkap dan mudah dipahami,” pungkasnya. (bbs/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinilai sudah bekerja secara profesional dalam menginvestigasi kematian enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI). Hasilnya menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut.

Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem Taufik Basari mengatakan, dari pemaparan kepada publik dan media jelas terlihat Komnas HAM melakukan investigasi yang mendalam, hati-hati, cermat, serta menggunakan pendekatan saintifik. Menurut Taufik, publik sepatutnya mengapresiasi upaya Komnas HAH.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Komnas HAM berhasil mengumpulkan barang bukti dan keterangan yang cukup lengkap. Meminta pendapat ahli atas bukti dan keterangan yang dimiliki sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun secara akademik karena sudah tepat metodologinya.

“Sehingga, tidak ada alasan untuk meragukan hasil investigasi tersebut,” kata Taufik saat dihubungi wartawan, Jumat (29/1/2021).

Namun demikian, menurut dia, tetap perlu ada tindak lanjut terhadap hasil investigasi tersebut, karena kewenangan Komnas HAM terbatas pada investigasi. Sedangkan penyidikan menjadi kewenangan Kepolisian.

“Karena bukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sehingga bukan menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM melainkan yurisdiksi pengadilan negeri. Maka kesimpulan Komnas HAM adalah menindaklanjuti kasus ini melalui pengadilan pidana,” imbuhnya.

Taufik menjelaskan bahwa menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam Pasal 9 dirumuskan unsur-unsur kejahatan kemanusiaan yang rigid dan limitatif, di antaranya ada unsur meluas atau sistematik. Menurut Taufik, Komnas HAM merujuk pada rumusan Undang-Undang tersebut.

“Kategori pelanggaran HAM berat sebenarnya mengarah kepada apakah suatu peristiwa pelanggaran HAM masuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 atau tidak, bukan apakah suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM yang ringan atau yang berat. Ini yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman,” ungkapnya.

Dia menegaskan, tidak ada yang namanya pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran HAM. Disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat, lanjut dia, hanya untuk melihat apakah masuk ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Menurut dia, Undang-Undang itu sebenarnya mengadopsi definisi yang termuat dalam Statuta International Criminal Court (ICC) atau Statuta Roma yang kala itu dibuat dalam rangka menghindari kasus Timor Timur tahun 1999 dibawa ke pengadilan internasional. Tetapi, kata dia, ada penerjemahan yang tidak tepat.

“Gross violation of human rights diterjemahkan sebagai pelanggaran HAM yang berat padahal mestinya pelanggaran berat HAM, akhirnya banyak orang menyangka ada pelanggaran HAM yang berat dan ada yang ringan padahal tidak begitu. Dalam peristiwa KM 50 Karawang Komnas HAM tegas menyatakan peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM, namun tidak termasuk kategori pelanggaran HAM Berat menurut UU,” tutur Taufik.

Taufik menyambut baik janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di Komisi III DPR akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM.

Di samping itu, dia menilai penyebaran opini sebagai pendapat sepanjang tidak disertai manipulasi fakta, fabrikasi bukti, tidak perlu sampai diproses hukum pidana, tetapi perlu untuk dibatasi, dilakukan bantahan dan klarifikasi yang jelas dan bernas.

“Namun jika penyebaran informasinya bukan merupakan pendapat melainkan sengaja dilakukan dengan memanipulasi fakta dan menciptakan berita bohong atau hoax, maka dapat dilakukan tindakan penegakan hukum,” tegasnya.

Menurut dia, penyebaran opini yang mengandung disinformasi merupakan upaya untuk menarik simpati kepada kelompok tertentu dan membangun ketidakpercayaan kepada institusi hukum, termasuk kepada Komnas HAM.

“Menurut saya penyikapannya adalah
pelurusan informasi dan memberikan penjelasan dan bantahan terhadap informasi-informasi yang keliru tersebut. Tidak perlu reaktif dan memberikan respon berlebihan cukup dengan melakukan edukasi publik dengan penjelasan yang lengkap dan mudah dipahami,” pungkasnya. (bbs/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/