HUMBAHAS, SUMUTPO.CO- Kelompok Study dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dihimbau tidak lagi melakukan provokasi kepada para petani dan masyarakat dengan isu tanah adat.
Demikian diungkapkan salah satu Ketua Kelompok Tani Hutan eks dampingan KSPPM dan AMAN Pinus Sitanggang, kepada sejumlah media belum lama ini.
Harapan tersebut disampaikan Pinus Sitanggang melihat kondisi masyarakat dan petani desa Natumingka Kecamatan Bobor, Kabupaten Toba, yang berselisih paham dengan perusahan pulp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL).
“Menurut saya KSPPM dan AMAN jangan lagi melakukan provokasi yang merugikan kepada petani dan masyarakat, isu tanah ada yang selalu dibawa hasilnya tidak pernah selesai dan tuntas. Cukuplah saya yang merasakan kerugian ini.
Hampir 10 tahun mereka mendampingi kelompok tani kami, isunya selalu soal tanah adat tapi tidak pernah tuntas hasilnya. Masyarakat yang akhirnya selalu menjadi korban, bahkan dengan sengaja dibentrokkan kepada pihak swasta yakni TPL,” ungkap Pinus Sitanggang ketika dikonfirmasi oleh sejumlah media, Kamis (10/6/2021).
Pinus Sitanggang mengaku tahun 2009 adalah awal mula dirinya membentuk Kelompok Tani Hutan Marsada, Desa Simataniari Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).
Saat itu kelompok tani mereka didampingi oleh pihak ketiga yakni KSPPM dan AMAN. Menurutnya kelompok tani hutan dibentuk untuk mempertahankan tanah adat tanpa bukti kepemilikan lahan yang sah.
Lebih jauh Pius Sitanggang mengungkapkan isu soal tanah adat memang menjadi fokus KSPPM dan AMAN ketika itu. Hanya dengan mengandalkan bukti dari peninggalan eks tanaman secara turun temurun, petani dan masyarakat diajak untuk melakukan penolakan kehadiran perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam hal ini TPL, dan berakhir dengan konflik.
Bahkan pada tahun 2016 atas arahan dari KSPPM dan AMAN, Pius Sitanggang dan kelompok tani yang dibentuknya pernah memberikan sejumlah berkas kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), namun hasilnya belum dapat dipenuhi.
Kemudian tahun 2018 dipanggil kembali untuk menerima Surat Kepemilikan lahan tanah adat, ternyata itu hanya kabar bohong untuk menyenangkan hati para petani.
“Kami pernah dipanggil lagi ke Jakarta oleh Kementerian LHK untuk membahas penyelesaian konflik masyarakat mengenai tanah adat. Ada sekitar 5 komunitas petani yang dihadirkan. Namun anehnya pada pertemuan tersebut tidak ada yang membahas tentang permasalahan tanah adat desa kami.
Atas dasar itulah akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari pendampingan KSPPM dan AMAN, karena menurut saya hanya membuang waktu, tenaga dan biaya.
Pada dasarnya prinsip kami para petani adalah dapat menjalani hidup dengan baik dan benar, bukan dengan cara kekerasan dan konflik yang berkepanjangan,” tegas Pius Sitanggang.
Menurutnya konflik antara masyarakat dan perusahaan tidak akan terjadi, bila tidak diboncengi oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan.
Pius mengatakan lebih baik bekerjasama dengan pihak swasta, dalam upaya peningkatan perekonomian para petani dan masyarakat, serta tidak melangar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Sudah dua tahun belakang ini saya dan kelompok tani saling menjali kerjasama dengan TPL, bantuan pembibitan cabai, kemenyan dan dukungan pertanian selalu diberikan oleh perusahaan dalam bentuk pendampingan dan mitra program pertanian perusahaan.
Semua hasil pertanian adalah milik para petani, dan perusahaan tidak pernah mengambil hasilnya, apalagi sampai mengambil tanah milik masyarakat,” katanya.
Dalam percakapan singkat dan padat tersebut, Pius Sitanggang hanya berharap kepada masyarakat untuk tidak melawan hukum dan menjalin kerjasama kemitraan pertanian.
Haslinya dapat dilihat dari pengalaman dua tahun Kelompok Tani Hutan Marsada. Dan saya juga berharap perusahaan TPL dapat lebih meningkatkan dukungannya kepada para petani, terutama yang berdekatan dengan operasional perusahaan. (rel/ram)