BANDA ACEH-Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terus diuji. Setelah rentetan penembakan, penggergajian tower SUTT milik PLN, dan teror di rumah balon bupati Aceh Utara, kemarin dini hari Aceh digoyang gempa.
Gempa yang sempat dikabarkan menimbulkan tsunami ini berkekuatan 7,6 skala richter (SR), Rabu (11/1) dini hari sekitar pukul 01.36 WIB, menggoyang hampir seluruh kawasan Aceh. Tercatat beberapa gempa susulan dari gempa utama yang terjadi karena lempeng samudra berusaha masuk ke bawah lempeng benua Eurasia (Sumatera) itu.
Tidak ada korban jiwa pada kejadian itu. Namun, beberapa warga di Aceh sempat kocar-kacir dan berhamburan ke luar rumah.
Bagaimanapun, memori pada 26 Desember 2004 masih membekas. Sebagian warga yang bermukim di kawasan pesisir dekat kawasan pantai (laut) di Kota Banda Aceh, mengungsi ke daerah yang dianggap aman dari tsunami. Pantauan Rakyat Aceh (grup Sumut Pos), dini hari itu, warga yang sedang nyenyak tidur terkejut dan langsung keluar rumah. Mereka pun mengendarai kenderaan bermotor mengungsi. Warga yang mengungsi berasal dari Gampong Lampaseh, Lampulo, dan warga dari Kecamatan Syiah Kuala, Kutaraja, Jaya Baru. Sejumlah ruas jalan yang menghubungkan kawasan pesisir ke arah kawasan pusat kota banyak dilalui kenderaan bermotor warga yang pergi menghindar setelah gempa. Mereka ini mengungsi ke kawasan Lueng Bata, Lambaro dan Mata Ie yang agak tinggi.
Begitupun dengan warga yang berada di Pantai Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa Banda Aceh. Mereka terus mengamati kondisi laut dari jarak jauh.
“Iya air laut surut. Tapi, rupanya surutnya air laut bukan karena gempa melainkan karena pasang kering,” jelas seorang warga, Roni.
Daerah ini pascatsunami 2004 telah dibangun gedung Escape Building di desa Deah Glumbang
Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Gedung itu merupakan gedung penyelamatan tsunami yang dibangun oleh Jepang. Namun gedung tersebut saat ini kosong. Menurutnya tidak ada warga yang memanfaatkan gedung itu untuk penyelamatan diri. Padahal gedung itu didesain khusus untuk penyelamatan warga saat tsunami. Gedung itu juga telah didesain tahan gempa hingga 9 SR. Kemarin malam, warga malah lebih memilih mengungsi ke tempat lain, walaupun gedung itu juga cukup tinggi dan difasilitasi empat lantai. Selain itu, lantai atas bisa untuk landasan pesawat helikopter.
Dini hari itu, gedung Escape Building di desa Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh juga sepi dari warga. Sebagian warga masih bertahan di Jembatan Pante Pirak Banda Aceh dan tidak berani kembali rumahnya.
Keadaan mulai berubah ketika peringatan tsunami dicabut BMKG pada pukul 01:36:57 WIB. Meski masih ada yang bertahan di luar rumah sembari menyiagakan kendaraan untuk menyelamatkan diri, situasi mulai terkendali. “Gempa terasa hingga Mandailing Natal. Di Medan getaran memang kurang terasa,” terang Kepala Bidang Data dan Informasi Gempa Balai Besar BMKG Wilayah I Medan, Hendra, Rabu (11/1) siang.
Tahapan Pemilukada Aceh Bukan Urusan MK
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memberi sinyal tidak akan membuat keputusan lagi terkait masalah tahapan Pemilukada Aceh. Mahfud mengatakan, MK hanya akan menyidangkan perkara sengketa hasil Pemilukada Aceh saja.Menurut Mahfud, apa yang menjadi persoalan di Pemilukada Aceh saat ini bukan termasuk sengketa perselisihan hasil Pemilukada. “Tapi, jika sudah dilaksanakan dan ternyata ada yang memperkarakan, MK akan membuat putusan,” tegas Mahfud MD, kemarin.
Seperti diberitakan, pada Selasa (10/1), Mendagri Gamawan Fauzi mengajukan gugatan judical review ke MK terhadap pasal di UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang tahapan penyelenggaraan pemilukada. Gamawan berharap, MK memberikan perlakukan khusus untuk pemilukada di Aceh, dimana dimungkinkan ada pendaftaran calon susulan, khususnya calon dari Partai Aceh, meski pada 2 Januari 2012 tahapan pemilukada sudah masuk tahap pengundian nomor urut empat pasangan cagub-cawagub Aceh.
“Yang saya gugat KPU agar KPU memberi waktu kepada partai-partai yang berhak ikut, sehingga diperpanjang waktunya,” ujar Gamawan Fauzi kepada wartawan di kantornya, Selasa (10/1) lalu.
Mahfud sendiri tak mau komentar banyak ditanya soal itu. “Saya tak mau nanggapi masalah itu, bukan urusan MK,” cetus Mahfud.
Bisa dimaklumi jika Mahfud enggan berkomentar soal kisruh Aceh ini. Pasalnya, sudah beberapa kali MK memutuskan perkara yang terkait dengan Pemilukada Aceh. Termasuk salah satunya, pada 2 November 2011 mengeluarkan putusan sela terhadap gugatan yang diajukan pasangan TA Khalid-Fadhullah. Dalam putusan selanya, MK memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk memperpanjang masa pendaftaran selama tujuh hari.
Hanya saja, meski KIP Aceh sudah memperpanjang masa pendaftaran, tetap saja Partai Aceh tidak ikut mendaftarkan calonnya. Belakangan, setelah pada 2 Januari 2012 tahapan Pemilukada sudah masuk tahap pengundian nomor urut empat pasangan cagub-cawagub Aceh, Partai Aceh ingin agar diberi kesempatan mendaftarkan calonnya.
KPU dan Bawaslu sudah menggelar rapat pleno dan tidak mengambil keputusan apa pun. Gamawan Fauzi lantas membuat terobosan untuk mencari dasar hukum yang memungkinkan Partai Aceh menyusul mendaftarkan calonnya, yakni dengan mengajukan gugatan ke MK.
Sedangkan Juru Bicara MK Akil Mochtar mengatakan, persidangan gugatan pasal di UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang tahapan Pemilukada yang diajukan Gamawan Fauzi terhadap KPU akan digelar Jumat (13/1). Namun kata Akil, gugatan itu lebih kepada Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (SKLN) daripada uji Undang-Undang seperti yang dimohonkan.
Karena itu, pihaknya menilai kritikan DPR yang menilai gugatan Mendagri itu salah alamat sebab MK tidak punya kewenangan untuk menyidangkan, hal itu tidak perlu ditanggapi. “Yang pasti Jumat digelar sidang perdana. Kami belum bisa mengomentari lebih lanjut,” kata Akil di Jakarta.
Sementara, panitera pengganti MK Kasianur Sidauruk menyatakan kalau gugatan Mendagri terhadap KPU didaftarkan ke MK pada Rabu (4/1). Karena proses Pemilukada Aceh berlangsung pada 16 Februari 2012, pihaknya bakal menyelenggarakan sidang lebih cepat.
Jangan Lagi Ada Korban
Terkait dengan kisruh Aceh, seorang pedagang warung kopi (warkop) di kawasan Jalan Krakatau, Zainul (39), mengatakan NAD saat ini seperti jaman Daerah Operasi Militer (DOM). “Yah, kondisinya pun sudah tidak aman,” ungkapnya.
Warga Takengon ini meminta agar di Serambih Mekkah tidak ada lagi warga yang tidak berdosa menjadi korban. “Jangan lagi terjadi penembakan yang membuat jatuh korban dan darah di NAD,” tegasnya.
Senada dengan Zainul, Tifany Yolanda (21) Mahasiswi Ilmu Komunikasi Fisip UMSU juga berharap yang sama. Mahasiswi asal Lhokseumawe ini prihatin dengan kampung halamannya yang seakan diobok-obok oleh pihak tertentu. “Mungkin ada kaitan dengan Pemilukada. Jangan menambah atau memanfaati situasi ini untuk kepetingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan rakyat aceh, “ cetusnya.
Sejurus dengan dua warga Aceh yang berada di Medan, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh pun menginginkan kedamaian di Tanah Rencong. Menurutnya, konflik yang terjadi saat ini pasti ada penyebab utamanya dan itulah yang harus menjadi tugas pokok dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, sama seperti halnya dengan konflik yang terjadi saat ini di Aceh. Maka dari itu pemerintah jangan hanya duduk dan tidak turun ke daerah,” sebutnya. Saat dihubungi Sumut Pos, kemarin.
Lebih lanjut, konflik yang terjadi saat ini mungkin saja disebabkan adanya miskomunikasi. Namun, tegasnya, masalah miskomunikasi ini jika tidak diselesaikan dengan cara musyawarah maka akan terjadi masalah besar. “Haruslah dicari jalan keluar dari masalah konflik yang terjadi di Aceh,” ujarnya. (sud/din/ria/mag-38/net/jpnn/sam/gus/jon)