26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

LPAI Sumut Berharap Atensi Kapolri, Anak Korban KDRT Oknum Polisi Jadi Tersangka

PEMATANGSIANTAR, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami MFA (16) warga Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematangsiantar sesuai Laporan Polisi Nomor : LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tertanggal 3 Desember 2020 berbuntut panjang.

DIDAMPINGI: Keluarga korban didampingi LPAI Sumut, menunjukkan foto korban penganiayaan oknum polisi, Minggu (17/10). agusman/sumut pos.

Alih-alih mendapat keadilan atas peristiwa traumatis yang dialaminya, MFA korban kekerasan anak dan KDRT yang dilakukan ayah kandungnya sendiri malah berstatus tersangka atas laporan balik pelaku berinisial PJSP yang merupakan oknum anggota Polri berpangkat Ipda di Polres Pematangsiantar sesuai Laporan Polisi No : LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 Januari 2021.

“Hal ini tentunya sangat ironis bagi kami di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut. Bayangkan, anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan ayah kandungnya sendiri malah menjadi tersangka atas laporan balik ayahnya yang notabene merupakan oknum anggota Polri berpangkat Ipda di Polres Pematangsiantar,” ujar Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut, Komalasari didampingi tim advokasi, Ahmad Fadhly Roza, Agung Harja, Minggu (17/10).

Dalam konferensi pers tim advokasi Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut di Medan, Komalasari yang mendampingi ibu korban inisial Y (50) menyebutkan, selain adanya indikasi kejanggalan dalam proses hukum kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT Nomor : LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tanggal 3 Desember 2020 yang dilaporkan ibu korban, tim advokasi LPAI Sumut juga menilai adanya diskriminasi hukum serta keberpihakan yang mengarah kepada upaya kriminalisasi terhadap korban MFA.

Diskriminasi hukum dan keberpihakan penegak hukum tersebut, menurut tim advokasi LPAI Sumut, terbukti sejak awal upaya Y sebagai ibu korban melaporkan kasus itu ke Polres Pematangsiantar pada 2 Desember 2020 lalu.

Setelah diarahkan bertemu sejumlah pejabat utama seperti Wakapolres dan Kasi Propam, tanpa alasan yang jelas laporan kasus tersebut tidak diproses oleh Polres Pematangsiantar.

“Laporan itu tidak diproses di Polres Pematangsiantar. Pelapor dan korban yang datang ke sana malah diarahkan bertemu Wakapolres dan Kasi Propam yang menurut kita justru mengintimidasi korban dan orang tuanya agar tidak melaporkan kasus itu. Karena itu orang tua korban mengadu ke LPAI dan mendapat pendampingan membuat laporan kasus itu ke Polda Sumut pada 3 desember 2020 sehari setelah peristiwa kekerasan itu terjadi,” ungkapnya.

Lebih lanjut kata Komalasari, atas laporan tersebut pihak penyidik Unit 1 Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumut mengundang pelapor dan korban untuk mediasi pada 11 januari 2021.

Namun, upaya mediasi tersebut ditolak pelapor dan korban melalui surat tertulis yang disampaikan ke pihak Unit I Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumut atas pertimbangan karena kekerasan serupa yang dilakukan pelaku kerap dialami korban dan kakak-kakaknya selama bertahun-tahun.

“Nah, dari penolakan mediasi itu lah kemudian korban dan pelapor Yusmawati ini kerap diancam dan diintimidasi oleh pelaku, Ipda PJSP yang merupakan mantan suaminya. Menurut korban, pelaku sempat bilang kalau memang mau melanjutkan kasus itu ke proses hukum, polisi lebih jago mengolah hukum,” bebernya.

Benar saja, pelaku IPDA PJSP yang menurut informasi menjabat Kanit di Satuan Intelkam Polres Pematangsiantar melaporkan balik korban atas tudingan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga yang tertuang dalam bukti laporan polisi nomor : LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 januari 2021.

Pasca laporan balik tersebut, tepat pada 16 Februari 2021 berkas perkara laporan kasus kekerasan dan KDRT yang dialami korban sesuai Nomor : LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tanggal 3 Desember 2020 dilimpahkan penanganannya dari Polda Sumut ke Polres Pematangsiantar.

Atas laporan balik pelaku tersebut, korban dan pelapor kemudian juga harus memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan yang pada prosesnya diwarnai intimidasi.

Puncak kejanggalan dan diskriminasi hukum yang mengarah upaya kriminalisasi terhadap korban muncul berdasarkan Surat Ketetapan Polres Pematangsiantar No.Pol : Sprin-Dik/143/X/2021/Reskrim tanggal 8 oktober 2021 yang menetapkan MFA sebagai tersangka terkait laporan pelaku IPDA PJSP sesuai nomor : LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 Januari 2021.

“Dari proses panjang laporan kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT yang dialami korban MFA ini, kemudian muncul laporan balik dari pelaku yang kita simpulkan sebagai rekayasa dengan tujuan untuk menghentikan laporan Y dan MFA terhadap pelaku. Terlebih luka yang dialami pelaku dalam laporannya pada tanggal 14 januari 2021 itu soal peristiwa yang terjadi pada 2 desember 2020, kan aneh kalau laporan itu diterima,” urai tim advokasi LPAI Sumut.

Mengenai kronologis kekerasan yang dilakukan pelaku tersebut, ibu korban mengungkapkan, peristiwa itu bermula ketika pelaku datang ke rumah yang masih mereka tempati bersama untuk menanyakan perihal galon air mineral miliknya yang terlihat hanya ada satu.

“Karena dia (pelaku) nanya, anak laki-laki saya (korban MFA) ini ngasih tau ke pelaku kalau galon airnya cuma dibeli satu sama adiknya. ‘Ayah, galon ayah cuma satu yang dibeli, sisa uangnya Rp5000 ada sama adik Akli’ kata anak saya ini. Tapi dia emosi langsung ngambil sapu mukulin anak saya, bukan cuma mukul tapi sapu itu ditindihkan ke leher anak saya sampai jatuh,” jelas Y.

Tak puas sampai di situ, pelaku kemudian menarik leher korban dan membenturkan kepala korban ke tiang pilar berbahan beton hingga korban mengalami luka di bagian kening dan terpaksa dirawat 4 jahitan. Pelaku bahkan mengancam korban dan mengatakan hanya dengan 5 juta untuk menghabisi korban.

Ditambahkan Y, bahwa perlakukan kasar yang dilakukan pelaku sudah bertahun-tahun mereka alami. Selain dialami korban MFA, kekerasan juga dialami anak perempuannya sejak 2015 hingga akhirnya menikah dan tinggal terpisah. Hal tersebut yang kemudian menjadi pertimbangan bagi Y dan korban MFA untuk melanjutkan kasus tersebut agar pelaku berubah.

Atas persoalan tersebut Y, ibu korban dan tim advokasi LPAI Sumut berharap kepada petinggi Polri baik Kapolda Sumut dan Kapolri agar memberikan atensi terhadap kasus kekerasan anak yang dialami MFA.

Terlebih korban yang merupakan anak di bawah umur berupaya dikriminalisasi melalui rekayasa laporan yang dibuat pelaku yang notabene oknum anggota Polri yang seharusnya mengayomi masyarakat termasuk anggota keluarganya sendiri.

“Kita minta Kapolri memberikan atensi terhadap kasus kekerasan yang dialami adik kita yang masih dibawah umur ini. Apalagi kita menilai banyak kejanggalan dari proses hukum laporan yang dibuat pelaku yang bertujuan menghentikan proses hukum laporan korban yang justru seolah dikriminalisasi dan dijadikan tersangka. Kalau perlu Kapolri langsung copot Kapolres Pematangsiantar,” tegas Komalasari.

Sementara itu, salah satu anak pertama dari pelaku Ipda PJSP berinisial A yang juga pernah menjadi korban dugaan penganiayaan sewaktu masih duduk di bangku SMA. A mengatakan, kalau pihak kepolisian Polres Pematangsiantar sudah berbuat kriminalisasi kepada MFA yang merupakan adik kandungnya.

“Kami diancam agar tidak melaporkan kasus ini. Bahkan Kapolresnya yang menyuruh Ayah kami (PJSP) untuk membuat laporan balik. Kami ini anak dari seorang anggota polisi yang seharusnya dilindungi, bukan diperlukan seperti ini. Apalagi katanya ada luka, padahal kasus itu udah lama tapi saya lihat lukanya masih basah. Jadi saya minta agar yang mengeluarkan hasil visum diperiksa juga,” pungkasnya. (man/azw)

PEMATANGSIANTAR, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami MFA (16) warga Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematangsiantar sesuai Laporan Polisi Nomor : LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tertanggal 3 Desember 2020 berbuntut panjang.

DIDAMPINGI: Keluarga korban didampingi LPAI Sumut, menunjukkan foto korban penganiayaan oknum polisi, Minggu (17/10). agusman/sumut pos.

Alih-alih mendapat keadilan atas peristiwa traumatis yang dialaminya, MFA korban kekerasan anak dan KDRT yang dilakukan ayah kandungnya sendiri malah berstatus tersangka atas laporan balik pelaku berinisial PJSP yang merupakan oknum anggota Polri berpangkat Ipda di Polres Pematangsiantar sesuai Laporan Polisi No : LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 Januari 2021.

“Hal ini tentunya sangat ironis bagi kami di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut. Bayangkan, anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan ayah kandungnya sendiri malah menjadi tersangka atas laporan balik ayahnya yang notabene merupakan oknum anggota Polri berpangkat Ipda di Polres Pematangsiantar,” ujar Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut, Komalasari didampingi tim advokasi, Ahmad Fadhly Roza, Agung Harja, Minggu (17/10).

Dalam konferensi pers tim advokasi Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut di Medan, Komalasari yang mendampingi ibu korban inisial Y (50) menyebutkan, selain adanya indikasi kejanggalan dalam proses hukum kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT Nomor : LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tanggal 3 Desember 2020 yang dilaporkan ibu korban, tim advokasi LPAI Sumut juga menilai adanya diskriminasi hukum serta keberpihakan yang mengarah kepada upaya kriminalisasi terhadap korban MFA.

Diskriminasi hukum dan keberpihakan penegak hukum tersebut, menurut tim advokasi LPAI Sumut, terbukti sejak awal upaya Y sebagai ibu korban melaporkan kasus itu ke Polres Pematangsiantar pada 2 Desember 2020 lalu.

Setelah diarahkan bertemu sejumlah pejabat utama seperti Wakapolres dan Kasi Propam, tanpa alasan yang jelas laporan kasus tersebut tidak diproses oleh Polres Pematangsiantar.

“Laporan itu tidak diproses di Polres Pematangsiantar. Pelapor dan korban yang datang ke sana malah diarahkan bertemu Wakapolres dan Kasi Propam yang menurut kita justru mengintimidasi korban dan orang tuanya agar tidak melaporkan kasus itu. Karena itu orang tua korban mengadu ke LPAI dan mendapat pendampingan membuat laporan kasus itu ke Polda Sumut pada 3 desember 2020 sehari setelah peristiwa kekerasan itu terjadi,” ungkapnya.

Lebih lanjut kata Komalasari, atas laporan tersebut pihak penyidik Unit 1 Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumut mengundang pelapor dan korban untuk mediasi pada 11 januari 2021.

Namun, upaya mediasi tersebut ditolak pelapor dan korban melalui surat tertulis yang disampaikan ke pihak Unit I Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumut atas pertimbangan karena kekerasan serupa yang dilakukan pelaku kerap dialami korban dan kakak-kakaknya selama bertahun-tahun.

“Nah, dari penolakan mediasi itu lah kemudian korban dan pelapor Yusmawati ini kerap diancam dan diintimidasi oleh pelaku, Ipda PJSP yang merupakan mantan suaminya. Menurut korban, pelaku sempat bilang kalau memang mau melanjutkan kasus itu ke proses hukum, polisi lebih jago mengolah hukum,” bebernya.

Benar saja, pelaku IPDA PJSP yang menurut informasi menjabat Kanit di Satuan Intelkam Polres Pematangsiantar melaporkan balik korban atas tudingan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga yang tertuang dalam bukti laporan polisi nomor : LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 januari 2021.

Pasca laporan balik tersebut, tepat pada 16 Februari 2021 berkas perkara laporan kasus kekerasan dan KDRT yang dialami korban sesuai Nomor : LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tanggal 3 Desember 2020 dilimpahkan penanganannya dari Polda Sumut ke Polres Pematangsiantar.

Atas laporan balik pelaku tersebut, korban dan pelapor kemudian juga harus memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan yang pada prosesnya diwarnai intimidasi.

Puncak kejanggalan dan diskriminasi hukum yang mengarah upaya kriminalisasi terhadap korban muncul berdasarkan Surat Ketetapan Polres Pematangsiantar No.Pol : Sprin-Dik/143/X/2021/Reskrim tanggal 8 oktober 2021 yang menetapkan MFA sebagai tersangka terkait laporan pelaku IPDA PJSP sesuai nomor : LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 Januari 2021.

“Dari proses panjang laporan kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT yang dialami korban MFA ini, kemudian muncul laporan balik dari pelaku yang kita simpulkan sebagai rekayasa dengan tujuan untuk menghentikan laporan Y dan MFA terhadap pelaku. Terlebih luka yang dialami pelaku dalam laporannya pada tanggal 14 januari 2021 itu soal peristiwa yang terjadi pada 2 desember 2020, kan aneh kalau laporan itu diterima,” urai tim advokasi LPAI Sumut.

Mengenai kronologis kekerasan yang dilakukan pelaku tersebut, ibu korban mengungkapkan, peristiwa itu bermula ketika pelaku datang ke rumah yang masih mereka tempati bersama untuk menanyakan perihal galon air mineral miliknya yang terlihat hanya ada satu.

“Karena dia (pelaku) nanya, anak laki-laki saya (korban MFA) ini ngasih tau ke pelaku kalau galon airnya cuma dibeli satu sama adiknya. ‘Ayah, galon ayah cuma satu yang dibeli, sisa uangnya Rp5000 ada sama adik Akli’ kata anak saya ini. Tapi dia emosi langsung ngambil sapu mukulin anak saya, bukan cuma mukul tapi sapu itu ditindihkan ke leher anak saya sampai jatuh,” jelas Y.

Tak puas sampai di situ, pelaku kemudian menarik leher korban dan membenturkan kepala korban ke tiang pilar berbahan beton hingga korban mengalami luka di bagian kening dan terpaksa dirawat 4 jahitan. Pelaku bahkan mengancam korban dan mengatakan hanya dengan 5 juta untuk menghabisi korban.

Ditambahkan Y, bahwa perlakukan kasar yang dilakukan pelaku sudah bertahun-tahun mereka alami. Selain dialami korban MFA, kekerasan juga dialami anak perempuannya sejak 2015 hingga akhirnya menikah dan tinggal terpisah. Hal tersebut yang kemudian menjadi pertimbangan bagi Y dan korban MFA untuk melanjutkan kasus tersebut agar pelaku berubah.

Atas persoalan tersebut Y, ibu korban dan tim advokasi LPAI Sumut berharap kepada petinggi Polri baik Kapolda Sumut dan Kapolri agar memberikan atensi terhadap kasus kekerasan anak yang dialami MFA.

Terlebih korban yang merupakan anak di bawah umur berupaya dikriminalisasi melalui rekayasa laporan yang dibuat pelaku yang notabene oknum anggota Polri yang seharusnya mengayomi masyarakat termasuk anggota keluarganya sendiri.

“Kita minta Kapolri memberikan atensi terhadap kasus kekerasan yang dialami adik kita yang masih dibawah umur ini. Apalagi kita menilai banyak kejanggalan dari proses hukum laporan yang dibuat pelaku yang bertujuan menghentikan proses hukum laporan korban yang justru seolah dikriminalisasi dan dijadikan tersangka. Kalau perlu Kapolri langsung copot Kapolres Pematangsiantar,” tegas Komalasari.

Sementara itu, salah satu anak pertama dari pelaku Ipda PJSP berinisial A yang juga pernah menjadi korban dugaan penganiayaan sewaktu masih duduk di bangku SMA. A mengatakan, kalau pihak kepolisian Polres Pematangsiantar sudah berbuat kriminalisasi kepada MFA yang merupakan adik kandungnya.

“Kami diancam agar tidak melaporkan kasus ini. Bahkan Kapolresnya yang menyuruh Ayah kami (PJSP) untuk membuat laporan balik. Kami ini anak dari seorang anggota polisi yang seharusnya dilindungi, bukan diperlukan seperti ini. Apalagi katanya ada luka, padahal kasus itu udah lama tapi saya lihat lukanya masih basah. Jadi saya minta agar yang mengeluarkan hasil visum diperiksa juga,” pungkasnya. (man/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/