MEDAN, SUMUTPOS.CO – Seiring dengan berkembangnya zaman, penderita depresi tak lagi di usia 40 tahun ke atas, tapi kini semakin muda. Usia remaja, sekitar 16 tahun, sudah banyak yang mengalami depresi. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan bagi banyak kalangan, khususnya bagi para orang tua. Remaja yang mengalami depresi dapat bermasalah dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Psikolog Irna Minauli mengungkapkan, pada kasus gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, mulai banyak menimpa remaja dan anak-anak.
Penyebabnya macam-macam, seperti tekanan yang mereka alami akibat bullying, atau trauma yang tidak ditangani dengan baik, dapat mengarah pada berbagai gangguan, seperti post-traumatic stress disorder, atau gangguan kecemasan (anxiety disorder).
“Kurangnya kemampuan untuk melakukan coping stress (mengatasi stres) membuat banyak anak atau remaja ketika mengalami stres, akan melakukan tindakan melukai diri sendiri (self-harm atau self-injury),” ungkap Irna, baru-baru ini.
Irna juga menyebutkan, kurangnya dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan sosial, menyebabkan mereka merasa kesepian dan kurang mendapat perhatian. Pada banyak kasus bunuh diri, kurangnya dukungan sosial sering menjadi pencetus terjadinya bunuh diri ini. Ketika seseorang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan pertemanannya, maka akan membentuk harga diri yang lebih positif. Mereka merasa diterima dan dicintai.
“Karena itu, perlu digalakkan lagi masalah kepedulian terhadap orang lain, khususnya mereka yang sedang bermasalah,” imbau Irna.
Lebih lanjut Irna mengatakan, saat ini banyak orangtua yang selalu melindungi dan membantu anaknya. Orangtua selalu hadir dan siap membela anaknya. Mereka seolah tidak ingin anaknya sedih atau terbebani.
Namun tanpa disadari, pola asuh seperti itu, parent’s there, orangtua yang selalu hadir dan membantu anaknya, membuat anak kurang mampu mengatasi masalahnya sendiri. Mereka kurang mengembangkan kemampuan untuk coping stress atau mengatasi masalah secara tepat.
“Anak merasa lemah kalau tidak ada orangtuanya. Mereka sering menjadi terkejut ketika menjumpai, orang lain ternyata tidak sebaik ibunya atau orangtuanya, yang selalu mendukung dan membantu,” tutur Irna lagi.
Dengan demikian, lanjut Irna, faktor orangtua sangat berperan dalam melatih anak untuk mampu mengatasi masalah ketika mereka remaja dan dewasa.
“Orangtua sering memberikan vaksinasi untuk membuat tubuh anak menjadi imun terhadap berbagai penyakit. Namun, mereka sering lupa memberikan ‘vaksinasi jiwa’ yang membuat anak menjadi lebih tahan dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupannya,” sebutnya.
Dia juga membeberkan tips sederhana, meskipun terkesan klise, namun terbukti orangtua harus lebih memahami anaknya.
“Orangtua harus mengajarkan ‘life skills’ atau keterampilan, agar anak dapat bertahan hidup tanpa bantuan orang tuanya,” pungkas Irna. (ris/saz)