JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Nusantara telah dipilih Presiden Joko Widodo sebagai nama ibu kota negara (IKN) yang baru. Namun, suara-suara ketidakpuasan atas pemilihan nama itu masih terdengar.
Salah satunya dari kalangan akademisi di Kalimantan Timur (Kaltim), provinsi lokasi IKN berada. Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Kaltim, Isradi Zainal menganggap, Nusantara bukan pilihan yang pas. “Karena akan mengecilkan istilah Nusantara dalam arti sesungguhnya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Kaltim Post, kemarin (18/1).
Selain itu, pemberian nama yang secara tiba-tiba tersebut, menurut dia, tidak mendukung iklim demokrasi. Juga mengesampingkan nama yang pernah diusulkan saat konsultasi publik yang dilakukan Pansus IKN beberapa waktu lalu.
Selain itu, penamaan Nusantara kurang menggambarkan nama dan lokasi calon IKN di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), dan beberapa kecamatan di Kutai Kartanegara (Kukar). “Oleh karena pengusulan nama, kami sampaikan secara resmi melalui forum pansus. Kami mohon penjelasan terkait dengan penolakan nama yang kami usulkan,” tegas dia.
Dia berharap, Presiden Joko Widodo mempertimbangkan usulan nama Pakunagara untuk calon IKN baru. Alasannya, Pakunagara merupakan akronim dari Penajam Paser Utara (Pa) dan Kutai Kartanegara (Kunegara). “Jika nama IKN adalah Pakunagara, istilah ini dibagi menjadi paku dan nagara. Paku merupakan akronim dari Paser dan Kutai. Atau, Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara yang merupakan lokasi IKN,” jelas rektor Universitas Balikpapan (Uniba) tersebut.
Selain itu, istilah paku bisa berarti penguat. Nagara merupakan akronim dari Nagari Rimba Nusantara. Nagari berarti pusat pemerintahan, rimba berarti forest city atau green city, dan Nusantara bermakna berbasis daratan dan perairan (sungai dan laut). “Nama Pakunegara atau Pakunagara merupakan usulan dari sejumlah rektor dan akademisi, termasuk Forum Dekan Teknik Indonesia (FDTI). Usulan ini kami sampaikan sebagai bagian dari masyarakat yang mendukung pemindahan IKN dan yang mencintai IKN,” ujarnya.
Sementara itu, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, memberikan catatan khusus untuk Pansus IKN. Dalam rilisnya, Fakultas Hukum Unmul membedah UU IKN ini dan menemukan banyak kejanggalan. Mereka berpendapat bahwa RUU IKN belum layak untuk disahkan.
“Karena terdapat banyak aspek fundamental dalam ketatanegaraan yang tidak sesuai dan berdampak besar pada keberlangsungan pemerintahan ibu kota negara ke depan,” ungkap Dekan Fakultas Hukum Unmul Mahendra Putra Kurnia dalam rilisnya.
Ada beberapa catatan hukum atas RUU IKN ini. Salah satunya, posisi kewenangan. Pasal 4 ayat 2 RUU IKN, misalnya, menyebutkan, dalam menjalankan fungsi sebagai ibu kota negara sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, IKN memiliki bentuk pemerintahan, tugas, dan wewenang yang diatur secara khusus.
Namun, lanjut dia, pasal 11 justru menyatakan ketentuan tentang struktur organisasi, tugas, wewenang, dan tata kerja pemerintahan khusus IKN yang diatur dalam peraturan presiden. Jadi, pasal 4 dinilai tidak koheren dengan pasal 11.
Lalu, pemberian pengaturan kewenangan berdasar peraturan presiden dinilainya sebagai bentuk executive heavy. Yang akan mengantarkan kebijakan pembangunan IKN pada dominasi pemerintah pusat.
Lalu, dalam pasal 1 ayat 8, ketentuan umum mengartikan pemerintahan khusus IKN adalah pemerintahan yang bersifat khusus IKN yang diatur dengan UU ini. Konsep penyelenggaraan pemerintahan khusus oleh otorita tidak dikenal dalam UUD 1945.
Kedudukan otorita IKN sebagai lembaga pemerintahan setingkat menteri dianggap memicu pertanyaan tentang kedudukan kepala otorita terhadap menteri. (nyc/kip/riz/c14/ttg/jpc)