MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kisruh pemilihan Komisioner KPID Sumut 2021-2024 kian meruncing. Apalagi, terungkapnya soal SK perpanjangan komisioner KPID Sumut periode 2016-2019 yang dinilai cacat hukum. Dimana dua diantara komisioner tersebut ikut dalam seleksi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut.
Penasehat Hukum “Gerakan Penolakan Penetapan 7 Komisioner KPID Sumut 2021-2024”, Ranto Sibarani menegaskan, pihaknya akan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan untuk menguji secara hukum keabsahan SK perpanjangan tersebut.
Dugaan bahwa SK perpanjangan itu ‘abal-abal’ mengindikasikan dua komisioner KPID Sumut periode 2016-2019 yakni Muhammad Syahrir dan Ramses Simanullang tak punya hak legal-formal disebut calon petahana. “Pakar Hukum Tata Negara USU Dr Mirza sudah menjelaskan dasar hukumnya. Jika bukan incumbent, mereka harus berjuang seperti 19 calon komisioner lain, lolos berkas administrasi dan ikut tahapan seleksi. Kami akan gugat ke PTUN,” katanya, Rabu (9/2/2022).
Ranto menyebutkan, pihaknya sudah mempelajari salinan SK perpanjangan komisioner KPID Sumut 2016-2019 yang diteken Sekda Provsu Dr Ir Hj Sabrina. Faktanya, memang berpotensi melanggar hukum administrasi negara. “Jika SK perpanjangan itu terbukti melanggar hukum, maka ada potensi kerugian negara karena menggunakan anggaran negara. Hal tersebut akan berisiko adanya dugaan tindakan pidana korupsi. Kami akan adukan dugaan kerugian negara tersebut,” ujarnya.
Ranto menyatakan, dasar hukum paling kuat atas dugaan pelanggaran itu adalah Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.
Pada BAB V tentang ‘Masa Jabatan Anggota KPI’ di Pasal 27 ayat 4 berbunyi; ‘Apabila proses pemilihan dan penetapan Anggota KPI Pusat di DPR RI atau Anggota KPI Daerah di DPRD Provinsi tidak selesai pada waktunya, maka untuk menghindari kekosongan Anggota KPI masa jabatan berikutnya, KPI Pusat meminta kepada Presiden dengan tembusan kepada DPR RI dan KPI Daerah meminta Gubernur dengan tembusan kepada DPRD Provinsi untuk memperpanjang masa jabatan’. “Jelas disebutkan harus tekenan gubernur,” tegasnya.
Kata Ranto, SK perpanjangan KPID periode 2016-2019 itu pernah disoal Komisi A DPRD Sumut pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) setahun lalu. Bahkan, Ketua Komisi A Hendro Susanto mempertanyakan kenapa SK perpanjangan yang harusnya diteken gubernur malah berformat surat dinas bernomor. “Di media dia bilang perpanjangan komisioner yang 2016-2019 itu tidak sah karena yang menandatangani Sekda. Sebab mengacu peraturan perundang-undangan, perpanjangan itu harusnya SK gubernur. Itu langsung ucapan Hendro,” ungkapnya.
Ranto menyebutkan pihaknya akan menyusun argumentasi hukum yang cukup meyakinkan dan dikuatkan dengan pendapat para ahli antara lain Pakar Hukum Tata Negara USU Dr Mirza, SH., M.Hum. “Kawan-kawan calon komisioner kan rata-rata orang media, banyak kenal pakar hukum. Kita yakin banyak yang bantu perjuangan ini,” pungkasnya.
Diketahui, periode komisioner KPID 2016-2019 sebetulnya sudah berakhir pada 2019 lalu, namun proses seleksi tak kunjung dilakukan. Selama perpanjangan itu mereka sudah menghabiskan dana hibah hingga Rp3,6 miliar, yang sekitar Rp400 juta diantaranya akan dialokasikan untuk dana Timsel KPID periode berikutnya. Namun karena proses tak juga dilaksanakan, anggaran itu dikembalikan ke negara.(adz)